Cerita Motor Kustom Indonesia yang Jadi Bintang di Amerika
Nama Thrive Motorcycle mungkin masih asing bagi sebagian besar telinga orang Indonesia. Meski begitu karya-karya bengkel kustomasi sepeda motor yang satu ini, sudah mendapat pengakuan dari banyak media internasional.
Puncak pencapaian mereka --setidaknya sampai saat ini-- karyanya tampil di Petersen Automotive Museum, Los Angeles, Amerika Serikat. Tak hanya itu, T-005 Cross menjadi satu dari 25 karya motor kustom dari seluruh dunia yang masuk dalam pameran bertajuk 'Custom Revolution' tersebut.
"Ini adalah aliran kustom yang terhitung baru dalam 10 tahun terakhir, dan ini adalah gaya yang universal. Variasi dalam mesin sangat luar biasa, tapi yang paling mengagumkan adalah kualitas dari desain dan kualitas eksekusi motor-motor ini," ujar kurator dari pameran ini Paul D'Orléans.
"Custom revolution atau --kami menyebutnya-- gerakan kustom alternatif, tidak ada aturan di sini, kamu bisa membuat apa saja yang kamu mau," terang Paul mengenai karya-karya yang ada di pameran ini termasuk di antaranya T-005 Cross.
---
Awal tahun 2013 adalah awal mula Thrive Motorcycle berdiri. Lima sekawan: Erlangga Djojosaputro, Barata Dwiputra, Putra Agung, Indra Pratama, dan Dimas Raditya, punya mimpi besar untuk membuat sepeda motor yang setara dengan karya-karya builder internasional.
"Tahun itu belum ada bengkel representative seperti sekarang, kami lihat Bike EXIF, lihat Pipe Burn, lihat Deus, 'kok enggak ada di Indonesia yang bisa bikin motor dengan ekspektasi seperti itu?', pada saat itu kami punya mimpi untuk ke situ," cerita Erlangga yang selain menjadi salah seorang pendiri, kini juga menjabat sebagai COO Thrive Motorcycle.
Berangkat dari mimpi besar itu, mereka mulai berkarya. Bengkel di wilayah Jakarta Selatan yang merupakan hasil patungan, dari kelima pemuda ini mulai beroperasi. Proyek awal dimulai dari unit motor milik salah seorang dari mereka.
"Pada saat itu, tahun 2013, pertama kali kami jalan, pertama kali kami bikin dari motor kami sendiri dulu, dari motor kami pribadi. Karena sebaik apapun manajemen yang kami buat, sebaik apapun bisnis yang kami tawarkan, tapi saat itu, kami belum punya portofolio yang mumpuni jadi siapa yang mau percaya sama kami?" cerita pria dengan latar belakang ilmu desain grafis yang karib disapa Angga.
Sadar diri tidak punya kemampuan perbengkelan kelas atas kala itu, konsep ide adalah jualan utama mereka dalam membuat karya awal yang juga berbasiskan Yamaha Scorpio. Karya pertama yang lahir dari bengkel mereka bernama T-003 Kaku.
"Yang mengurus desain dan industrial desain itu si Indra, dia punya banyak influence dan masukan dari desain-desain motor Jepang sama kamen rider. Jadilah ini ada unsur itu dua," cerita Angga tentang kisah di balik 'bayi pertama' mereka itu.
Bermodal nekat dan demi menggapai mimpi membuat motor yang bisa diapresiasi masyarakat dunia, Thrive pun mengunggah data-data mengenai karya mereka ini ke sebuah portal media khusus motor modifikasi yang ada di Sydney, Pipeburn. Tak diduga-duga hasilnya sangat memuaskan. Karya mereka tersebut mendapat apresiasi dan bisa masuk di situ.
"Serunya adalah mungkin karena saat itu kita adalah builder Indonesia pertama yang bisa dibahas di situ. Bukan karena karyanya itu baik, tapi karena kami punya keinginan yang kuat dan kami coba saja dan ternyata masuk. Motor itu punya banyak argumen ya, dari ada yang suka banget , ada yang enggak suka, tapi akhirnya itu yang membuat orang sadar dan membangun brand Thrive itu sendiri sebenarnya," jelas Angga.
Tidak sampai di situ, sensasi dari desain motor-motor yang kian unik karya mereka, kemudian tercium juga sampai negara-negara barat. Tahun 2013 itu juga, pendiri majalah The Vintagent, Paul D'Orléans, menerbitkan sebuah buku yang berjudul 'The Ride: New Custom Motorcycles and Their Builders'. Buku itu berisikan karya-karya motor hasil modifikasi, yang dianggap merepresentasikan 'New Wave of Motorcycle'.
"Kami jadi orang Indonesia pertama yang masuk buku ini. Jadi gue bisa langsung ada di level itu saat buku ini rilis, dan ini juga jadi pride tersendiri karena motor ini berangkatnya dari keterbatasan," cerita Angga lagi.
Menurut Angga, buku terbitan dari Gestalten ini pun kemudian laris manis di pasaran. Dampaknya T-003 Kaku dan Thrive makin eksis dan jadi bahan perbincangan, dan mendapat ekspos berkali-kali dari beragam media internasional, mulai dari media otomotif sampai yang berbasiskan desain.
Nyatanya perhatian massive yang didapat T-003 Kaku hanya permulaan dari gaung Thrive di dunia kustomasi. Bermodal karya yang menembus pasar internasional, meski tidak sebesar di luar negeri, gaung Thrive mulai terdengar. Beberapa penggiat kustom pun mempercayakan motor mereka untuk digarap Thrive.
Dua tahun berselang, lanjutan kedua dari buku The Ride direncanakan terbit. Thrive kembali mendapat perhatian. Kali ini, karya milik salah satu klien mereka dalam wujud T-005 Cross yang menarik perhatian hingga ke Petersen Automotive Museum, Los Angeles, Amerika Serikat.
"Kebetulan saat itu dari Indonesia yang dipilih motor kami yang si T-005 Cross itu, karena dianggap motor ini menjadi sesuatu yang menarik, argumen atau perdebatan yang mungkin mewakili pameran itu," terang Angga mengenai pencapaiannya itu.
Lewat capaian-apain ini juga sebenarnya mimpi Thrive, untuk dapat menembus pasar internasional bisa dibilang tercapai. Mereka pun berharap semakin banyak builder yang mengikuti jejak mereka, masuk ke pasar internasional lewat karya.
"Kami sih percaya, ada orang-orang seperti Thrive yang coba mendorong industri ini ke arah lebih jauh, mungkin bekerjasama dengan industri lain selain sepeda motor, pastinya akan membuka mata lebih banyak orang tentang industri otomotif ini," ujarnya.
---
Ikuti cerita lainnya di kumparan tentang prestasi anak muda Indonesia di motor kustom dengan follow topikIndonesia Juara Motor Kustom.