Cerita Saksi Hidup Letusan Dahsyat Gunung Agung 1963

pada 7 tahun lalu - by

Ketua Umum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menjadi salah satu saksi hidup letusan Gunung Agung pada 18 Februari 1963-27 Januari 1964. Ida, yang kala itu berusia delapan tahun, masih ingat dengan detail kejadian yang dialami keluarganya dan seluruh masyarakat Klungkung.

Masyarakat Klungkung sangat dekat dengan bencana alam bersejarah tersebut karena wilayah tersebut hanya berjarak 20 kilometer dari Gunung Agung. Karena itu, rumah-rumah dan balap banjar di Klungkung banyak dipakai sebagai tempat penampungan pengungsi.

Menurut ahli geologi, letusan Gunung Agung saat itu merupakan yang terdahsyat dari seluruh letusan yang pernah terjadi. Sebelumnya, Gunung Agung beristirahat selama 120 tahun.

Hampir setiap hari, masyarakat Klungkung dan Karangasem menyaksikan letusan Gunung Agung, dihujani abu, dan menyaksikan banjir lahar dingin di Tukad Unda. Masyarakat juga menyaksikan rumah-rumah, pura-pura tenggelam diurug batu dan pasir di Desa Tangkas dan Gunaksa.

"Itu juga termasuk rumah dan pura keluarga besar kami, Pura Merajan Agung Sukahet di Jalan Yos Sudarso, Klungkung," katanya.

Bangunan-bangunan berjatuhan karena sebagian besar tidak memakai rangka besi sebagai tulang, tidak dicampur beton, pasir, dan semen, melainkan hanya batu bata cetakan, yaitu batu bata yang masih mentah, belum dibakar. Perekat bangunan juga hanya terbuat dari campuran kapur dan tumbukan batu bata. Semua bangunan pura memakai enceran tanah halur (nyanyad) sebagai perekat, termasuk bangunan Pura Besakih.

Sukahet bercerita menjelang letusan hebat Gunung Agung, masyarakat Hindu menyelenggarakan upacara terbesar, Eka Dasa Rudra, pada 8 Maret 1963. Eka Dasa Rudra merupakan upacara agama terbesar umat Hindu Bali yang diselenggarakan di pura terbesar, Pura Besakih.

Sukahet menjelaskan upacara Eka Dasar Rudra hingga selesai berlangsung di tengah letusan Gunung Agung. Ribuan umat Hindu dari seluruh Bali, bahkan seluruh Indonesia datang ke Pura Besakih yang berada di kaki Gunung Agung. 

Sukahet bersama orang tua, kakak, dan saudara-saudaranya juga ikut 'ngayah' ke pura yang merupakan ibu dari segala pura tersebut. "Selama proses upacara, Gunung Agung tengah meletus. Hujan abu, pasir, dan kerikil berjatuhan di sekitar Pura Besakih," katanya kepada awak media, Selasa (25/9).

David J Stuart Fox dalam bukunya 'Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali' (2010) menuliskan lebih kurang 10 ribu orang menghadiri upacara tersebut, termasuk gubernur, kepala pemerintahan daerah, dan tokoh-tokoh terkemuka Bali. 

Sejumlah alasan yang disampaikan para ahli gunung berapi belum mampu meyakinkan masyarakat untuk mengosongkan Besakih. Setelah Eka Dasa Rudra dilaksanakan, beberapa hari setelahnya masih berdatangan lima ribu orang ke Pura Besakih di tengah hujan debu dan kerikil. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret 1963, dua hari hari sebelum letusan besar pertama terjadi.

Kala itu, Sukahet bercerita, informasi Gunung Agung akan meletus saat itu masih sangat minim atau tidak masif seperti sekarang. Bahkan, masyarakat nyaris tidak sadar gunung suci mereka akan meletus. 

Sukahet bercerita tidak ada tahapan status waspada, siaga, dan awas saat itu. Belum ada televisi, bahkan radio pun hanya radio kecil. Kondisinya sangat berbeda dengan sekarang di mana informasi dan tahap kesiapsiagaan sudah disiarkan langsung setiap hari. Pemerintah sekarang pun sudah siap dan kian cepat mengantisipasi bencana.

Ketika itu, Pura Besakih sepanjang masa letusan, yakni hampir satu tahun, hanya mengalami kerusakan kecil. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh. Demikian juga pada letusan besar kedua, 16 Mei 1963. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Pura ini rusak parah justru karena gempa tektonik berkekuatan enam skala richter yang mengguncang Bali pada 18 Mei 1963.

Kini, setelah tertidur 54 tahun kemudian, Gunung Agung kembali menunjukkan peningkatan aktivitas. Gunung ini sudah berstatus awas atau level empat. Masyarakat di kaki Gunung Agung memiliki kesadaran tinggi untuk mengevakuasi diri dan keluarganya secara mandiri.

Jumlah pengungsi Gunung Agung menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencapai 34.931 jiwa per Ahad (24/9) pukul 12.00 WITA. Mereka tersebar di 238 titik.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho merinci data pengungsi. Sebanyak 328 jiwa tersebar di tiga titik Kabupaten Badung. Kedua, 2.883 jiwa tersebar di 23 titik di Bangli. Ketiga, 4.649 jiwa menyebar di 13 titik di Buleleng.

Keempat, 297 jiwa di lima titik Kota Denpasar. Kelima, 161 jiwa di 12 titik di Gianyar. Keenam, 15.129 jiwa di 81 titik di Karangasem. Terakhir, 11.484 jiwa berada di 101 titik di Klungkung.