Chevrolet: Kurang Amerika, Gak Indonesia, Akhirnya Binasa

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id- Apa salah Chevrolet sampai dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat ngos-ngosan dan akhirnya menyerah. Mereka menyatakan tutup mulai Maret 2020.

Bicara merek, siapa yang gak kenal General Motors? Atau kalau GM masih terlalu asing, barangkali nama besar Chevrolet hampir diketahui banyak orang di Indonesia.

Secara produk pun, sebenernya gak ada yang jelek. Kita ambil contoh mobil-mbil kekinian Chevrolet yang dijual di Indonesia; Trax, Spark, TrailBlazer sampai Orlando dan Captiva.

VIDEO Test Drive Toyota Calya, 5 Pertimbangan Sebelum Beli:

Tapi kenapa pada akhirnya GM gak kuat mengumpani Chevrolet di Indonesia sehingga akhirnya harus gulung tikar saat usianya di Indonesia hampir genap 100 tahun?

“Chevrolet berada di ceruk pasar (niche segment) dengan volume pasar yang terbatas yang tidak dapat memberikan keuntungan yang berkesinambungan,” ucap Director Communications & External Affairs GM Indonesia, Yuniadi Haksono Hartono.

Ditambah lagi, lanjut Yuniadi, faktor eksternal seperti pelemahan harga komoditas dan tekanan mata uang asing yang antara lain menjadi alasan keputusan bisnis tersebut.

Alasan tersebut sebenernya kurang cukup kuat sebagai alasan tutupnya Chevrolet di Indonesia. Pabrikan yang mengincar niche market kan gak cuma Chevrolet, dan mereka masih bertahan sampai sekarang.

Begitu juga dengan pelemahan harga komoditas dan tekanan mata uang asing. Kondisi ini terjadi memengaruhi hampir semua pabrikan di dunia, termasuk juga di Indonesia, dan masih banyak juga yang bertahan.

Salah satu alasan terbesar menyerahnya Chevrolet sebenernya udah dimulai cukup lama, yakni sejak era 1990an, saat mereka kembali berjaya di Indonesia dengan Blazer sebagai andalan.

Setelah itu, Chevrolet seolah gagap untuk melanjutkan dominasi dan eksistensi Blazer sebagai mobil besar yang khas Amerika. Apalagi serbuan merek Jepang semakin massif di era itu.

Kondisi ini juga sebenernya pengulangan dari sejarah Chevrolet di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.

Disaat serbuan mobil-mobil murah Jepang mulai menyerbu Indonesia pasca kemerdekaan, mobil-mobil besar, mewah, boros BBM, khas Amerika akhirnya gak lagi dilirik, karena di zaman serba susah kala itu, harga jual dan fungsi jadi nomor satu.

Kala itu GM gak mampu bersaing dengan sengitnya pabrikan Jepang menawarkan mobil multifungsi yang banderolnya serba murah.

Dan kondisi saat ini sebenernya lebih parah lagi. Selain harus melawan kemapanan pabrikan Jepang, Chevrolet juga semakin tergerus dengan serbuan mobil China di Indonesia.

Padahal, akar masalah kenapa mereka akhirnya mengibarkan bendera putih di Indonesia sangatlah sederhana. Chevrolet gagal memainkan sisi emosional pada produknya untuk ditularkan pada konsumennya.

Ya, sisi emosional. Citarasa Chevrolet yang memudar bahkan menghilang, karakter khas Amerika yang gak lagi ditemukan pada mobil-mobilnya Chevrolet--khususnya yang dijual di Indonesia.

Coba, kapan terakhir kita melihat dan merasakan aura Amerika pada sebuah mobil? Ya, itu ada pada sosok Blazer yang gagal digantikan oleh TrailBlazer karena dianggap terlalu Thailand.

Bahkan, Captiva yang baru, merupakan hasil rebadget dari produk China, yakni Wuling. Begitu juga Chevrolet Spark yang punya rasa Korea.

Lalu dimana Amerika-nya? Nah itu yang hilang dan perlahan ngebuat publik melupakan Chevrolet.

Gak ada lagi mobil Amerika yang terasa seliweran di jalanan Indonesia, meskipun kita tau mereknya Chevrolet.

Kalau gagal menjadi Amerika, GM sebenernya punya opsi kedua, yakni menjadi Indonesia, seperti para Jepang-Jepang itu sekarang, yang merasa lebih Indonesia dari Indonesia sendiri malahan.

Apakah itu juga udah dilakukan Chevrolet? Sudah, melalui Chevrolet Spin. Spin sendiri merupakan singkatan dari Spirit of Indonesia. Tuh, kurang Indonesia gimana coba? Berhasil? Enggak, malahan penjualan distop dan pabriknya ditutup.

Justru selain singkatan dari namanya, Chevrolet Spin adalah sebuah low MPV yang secara spesifikasi teknis bagus, tapi gagal mengidentifikasikan dirinya adalah sebuah low MPV Amerika, India, Korea atau Indonesia.

Jadi, ketika permasalah identitas ini gagal diperbaiki, maka bukan keheranan ketika akhirnya sebuah merek ditinggalkan. Chevrolet gagal mewujudkan citra merek yang kuat, identitas yang kuat pada produk-produknya.

Ketika urusan teknis udah bukan lagi jadi masalah, yang tersisa adalah sisi emosional dan psikologis, apalagi ketika pabrikan tersebut terjun di segmen niche yang memang mengidamkan sebuah mobil karena emosionalnya, bukan sekedar fungsi, apalagi harga.

Dan ketika Chevrolet gagal menampilkan citarasa Amerika dan gak juga menjadi Indonesia, maka akan binasa...