Darurat Revenge Porn di Australia

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Pemerintah Australia rela merogoh kocek dan menghabiskan 2,8 juta poundsterling “hanya” untuk sebuah portal pengaduan. Angka tersebut sama dengan uang sebesar Rp 50 miliar --bujet yang bisa digunakan untuk membeli 416 apartemen tipe studio di Meikarta. 

Pertanyaannya, apa yang mendorong Pemerintah Australia menghabiskan uang sebanyak hanya untuk sebuah situs pengaduan?

Yang jelas, website ini bukan sekadar situs yang menyediakan informasi, klarifikasi, maupun acara ramah-tamah remeh-temeh pejabat negara yang biasanya ada di website resmi mereka. Uang Rp 50 miliar ini dikucurkan demi sebuah website pengaduan, untuk satu masalah paling kritis dan punya dampak cukup besar ke kehidupan warga Australia.

Peneliti dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) dan Monash University membuktikan kekhawatiran ini. Dalam penelitian yang dilakukan kepada 4.274 responden berusia 16 sampai 49 tahun di Australia, mereka mendapatkan beberapa angka yang mencengangkan.

“Satu dari lima responden kami mengemukakan, foto atau video telanjang atau saat mereka berhubungan seksual telah diambil tanpa sepengetahuan maupun izin dari mereka,” ucap Nicola Henry, salah satu peneliti dari RMIT.

Dimilikinya sebuah foto atau video privat ke tangan orang lain jelas merupakan kerugian bagi seseorang. Karena, di kemudian hari, 9 persen dari responden tersebut pernah mengalami “sextortion” --dipaksa melakukan sesuatu hal apabila tidak ingin gambar/video mereka disebarluaskan. 

Lebih peliknya, angka di lapangan diduga lebih tinggi ketimbang temuan penelitian tersebut. Dari mereka yang pernah mengalamirevenge porn, hanya satu dari empat orang yang melakukan sesuatu untuk mencoba menyelesaikan permasalahannya. Bahkan, 22 persen korbanrevenge porndi Australia tak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Risa (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu yang celaka. Awal tahun ini, ia menjadi salah satu dari ratusan korbanrevenge porndi Australia. Foto serta video eksplisit Risa tersebar secara online tanpa sepengetahuannya. 

Semua materi visual ini didapat dengan cara meretas album foto online milik pacar Risa, yang sebenarnya terkunci, namun entah bagaimana dapat dibobol orang-orang tak bertanggung jawab. 

Bahkan, tak hanya foto dan video, tersebar pula nama dan alamat rumah Risa. Ini membuat Risa tak hanya terkena malu lewat foto dan video yang tersebar, namun harus menghadapi parastalker(penguntit) yang beberapa kali ia rasakan mengikutinya hingga lokasi dekat rumahnya.

Pencurian ini pertama kali diketahui oleh pacar Risa sendiri, yang mendapatkan informasi dari teman-temannya yang mengaku melihat beberapa foto dan video eksplisit Risa. Akhirnya, Risa dan pacarnya melaporkan kejadian ini pada kepolisian lokal di tempat mereka tinggal. 

Awalnya, keduanya kesulitan untuk dapat melacak sejauh mana foto dan video itu beredar, pun kesulitan saat ingin menghapusnya dari internet. Meski begitu, keputusan pacar Risa menghubungi Komisioner eSafety Australia memberikan titik terang. Investigasi dilangsungkan dan eSafety mendesak situs-situs tempat materi visual itu tersebar untuk segera menghapusnya. 

Kini, menurut pacarnya, Risa telah mampu menghadapi permasalahan tersebut dengan lebih baik. Meski begitu, ia masih kerap mengalami mimpi buruk, ketidaknyamanan untuk melakukan kegiatan seksual, dan kerap terguncang beberapa kali saat mengingat kejadian tersebut. 

Dan karena ini, Komisioner eSafety ngotot mendesak pemerintah federal Australia untuk mengucurkan berapapun dana yang dibutuhkan untuk membentuk portal pengaduanrevenge porn. Dan tak hanya pengaduan, portal tersebut akan memberikan informasi dan konseling untuk mereka yang membutuhkan perhatian khusus akibat masalah ini.

Penelitian MRIT dan Monash University itu juga menunjukkan banyak hal lain. Misalnya saja, terdapat 63 persen kejadianrevenge pornyang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka. Rinciannya: 29 persen adalah teman, 13 persen mantan pasangan, 12 persen pasangan saat ini, dan 10 persen anggota keluarga sendiri. 

Dari situ, keadaan jadi lebih runyam ketimbang masalah ‘melaporkan’ atau ‘tidak melaporkan’. Maka dari itu, ketimbang hanya menjadi portal pelaporan, situs buatan pemerintah Australia ini nanti akan menawarkan berbagai macam bentuk dukungan yang bisa didapatkan seorang korbanrevenge porn.

“Memahami bahwa orang-orang yang akan menghubungi kami berada dalam kondisi tertekan, portal kami akan menyediakan informasi yang jelas tentang bagaimana seorang korban dapat mengurangi dampak dari kejadian tersebut,” ucap Inman Grant, anggota Komisioner eSafety Australia. 

Ini amat penting karena satu dari tiga korban mengaku kejadian yang menimpa mereka punya dampak buruk kepada kesehatan fisik mereka. Sementara, satu dari empat korban mengatakan hubungan intim ia dan pasangannya juga terganggu akibat gangguan ini. 

Belum lagi, 27 persen kejadian yang dilaporkan membuktikan bahwa pelaku tak hanya puas dengan menyebar media porno tersebut. Mereka juga melakukan penguntitan, bahkan mengancam setelah foto atau video korban disebarkan.

“Portal ini akan menjadi tujuan para korban ketika mereka butuh bantuan,” imbuh Grant, berharap tak akan ada lagi korban yang tak tahu harus berbuat apa ketikarevenge pornmenimpa mereka.

Pada semua media penyebaran, para pelaku paling sering melakukanrevenge porndi Facebook. Dari semua kasus yang terjadi, 53 persennya mengambil Facebook sebagai wahana penyebaran. 

Untuk fakta tersebut, Facebook justru lebih dulu menyadari pentingnya melakukan sesuatu untuk menghadapirevenge porn. Perusahaan milik Mark Zuckerberg itu bakal menggunakan sebuah sistem pencocokan foto, yang dapat mencegah foto-foto intim dibagikan tanpa izin di Facebook, Messenger, atau Instagram. 

Ketika sebuah foto sebelumnya telah dilaporkan sebagai konten negatif dan dihapus Facebook, maka foto tersebut akan ditandai oleh sistem dan pihak yang membagikan foto tersebut akan diberi peringatan. 

“Jika seseorang mencoba untuk menyebar foto itu lagi setelah dihapus, kami akan memperingatkan mereka telah melanggar kebijakan kami dan kami harus menghentikan upaya pengguna untuk menyebarnya,” kata Facebook dalam blog resmi mereka, April lalu.

Angka di Balik Revenge Porn di Australia

Laporan

  • Sejak 1 Juli 2016, Komisioner eSafety telah menerima 400 laporan soalrevenge porn.
  • 141 investigasi berhasil menghapus kontenrevenge pornitu dari internet.

Platform Penyebaran

  • Facebook dan Messenger: 53 persen
  • SMS/multimedia: 30 persen
  • Snapchat: 11 persen
  • Email: 11 persen
  • Website porno: 3 persen
  • Website khususrevenge porn: 2 persen

Dampak ke Korban

  • Berpengaruh ke kesehatan fisik: 33 persen
  • Berpengaruh ke hubungan pertemanan: 33 persen
  • Berpengaruh ke hubungan intim dengan pasangan: 28 persen
  • Berpengaruh ke hubungan dengan keluarga: 27 persen
  • Berpengaruh ke performa kerja atau belajar: 28 persen

Gender Pelaku

  • Laki-laki: 49 persen
  • Perempuan: 35 persen

Frekuensi Kejadian Tiap Orang

  • Sekali: 68 persen
  • Lebih dari sekali: 14 persen

Minoritas

  • Kaum minoritas lebih kerap mengalamirevenge porn.
  • Orang asli Australia dua kali lebih sering mengalamirevenge pornketimbang yang bukan. 
  • Seperlima dari kelompok LGBT yang menjadi responden mengaku pernah mengalami.
  • Seperlima dari pengguna bahasa non-Inggris pernah mengalamirevenge porn.