Dunkirk, Menikmati Mahakarya Sinema Lewat 3 Sudut Pandang
Semoga tidak terlalu berlebihan menyebut bahwa ”Dunkirk” adalah mahakarya sinema. Di dalamnya termuat segala jenis keindahan yang membuat kita meragukan kenyataan bahwa di dunia ini ada film seperti ”Dunkirk”.
Dari sekian banyak elaborasi karya agung seni dalam ”Dunkirk”, satu yang harus digarisbawahi adalah narasi jenius Christopher Nolan selaku sutradara sekaligus penulisnya.
Visinya mengisahkan serangkaian kejadian dalam 3 sudut pandang yaitu darat, laut, dan udara terasa unik walaupun memang bukan hal baru.
Di udara, kita diajak masuk ke sempitnya ruang kokpit pesawat Spitfire yang legendaris milik angkatan udara Kerajaan Inggris. Farrier (Tom Hardy) yang duduk di ruang kemudi memandu kita dalam perjalanan super singkat mendengarkan nyanyian sunyi pahlawan tak dikenal.
Di darat, sejumlah prajurit dan para perwira seperti Tommy (Fionn Whitehead), Alex (Harry Styles), Gibson (Aneurin Barnard), Komandan Bolton (Kenneth Branagh) meneguhkan hati dan pikiran bahwa harapan selalu ada. Jikapun tidak ada, harapan akan datang dalam bentuk yang bahkan sukar dimengerti.
Di laut, patriotisme datang menerjang penuh semangat bersama gelombang. Warga sipil, Dawson yang diperankan aktor pemenang Oscar, Mark Rylance bersama anaknya, Peter (Tom Glynn-Carney), dan teman Peter, George (Barry Keoghan) mendapati diri mereka berada di tengah situasi bahwa perang tak terhindarakan. Pilihannya, jika mereka tak pergi menuju perang, peranglah yang akan datang mengetuk pintu rumah mereka di kemudian hari.
Lewat ketiga sudut pandang itu, Christopher Nolan meramu semuanya menjadi jalinan cerita utuh yang menyiratkan bahwa pertempuran tak bisa dimenangi hanya dengan taktik dan strategi. Tindakan-tindakan irasional dan inisiatif lebih banyak turun tangan. Walaupun toh, tak ada kubu yang menang pula dalam perang.
Tiga sudut pandang itu sejatinya berkutat pada satu kejadian dalam Perang Dunia II yang dalam buku-buku sejarah dikenal sebagai evakuasi Dunkirk.
Evakuasi Dunkrik adalah upaya Inggris mengapalkan sekitar 400.000 tentara Inggris, Prancis, Belgia, dan Kanada yang terkepung di pantai Dunkirk, Prancis utara. Hal tersebut dilakukan guna menghindari desakan tentara Nazi-Jerman yang sedikit demi sedikit menguasai kota.
Peristiwa yang terjadi pada 26 Mei sampai 4 Juni 1940 itu disebut oleh Perdana Menteri Inggris kala itu, Winston Churchill sebagai ”bencana besar dalam militer”. Namun setelah penarikan mundur berjalan baik, dia menyebutnya sebagai ”keajaiban penyelamatan”.
Peristiwa evakuasi di pantai Dunkirk hanyalah secuil horor Perang Dunia II tetapi punya makna yang sangat menentukan bagi kemenagan Sekutu. Momentum yang kemudian mengubah alur perang.
Kesuksesan evakuasi tersebut membuktikan bahwa kemenangan moral dan kabar yang membakar semangat juang jauh lebih penting dari memenangi pertempuran di medan perang. Hingga, lima tahun setelahnya, Sekutu balik menyerang dan menguasai jantung kota Berlin.
Seperti lazimnya film-film khas Christopher Nolan, beberapa menit pertama ”Dunkirk” menjelaskan akan seperti apa filmnya. Semuanya berlangsung serba mendadak dan cepat. Tak ada kematian dramatis. Serdadu mati adalah harga yang tak bisa ditawar dalam perang.
Suara detak jarum jam yang menjadi latar berhasil membuat nafas tersengal tak beraturan. Ditambah lagi visualisasi ketegangan yang dingin namun syahdu, bak menyaksikan ”Paths of Glory” (1957) dalam sapuan kuas sinematografi yang sudah serba modern.
Apakah cerita Perang Dunia terutama Perang Dunia II sudah habis diceritakan? Tidak akan pernah.
Belum 100 tahun sejak berakhir, Perang Dunia II mulai meretas jalan menjadi serupa kisah-kisah pewayangan nan adiluhung karya Walmiki maupun epos-epos Homer.
Seribu tahun ke depan, jika dunia ini masih ada, Perang Dunia II akan terus dikisahkan, dimitoskan, dimaknai, dikisahkan lagi secara berulang dan mengundang sanjung puja. ”Dunkirk”, tak bisa ditampik, turut ambil bagian dalam hal itu.
Satu hal lagi,soal Harry Styles, dia tampil meyakinkan. Agaknya, dia tidak akan menjadi korban kritik kejam di dunia maya seperti yang dialami Ed Sheeran karena muncul di ”Game of Thrones” maupun Iqbaal yang didapuk memerankan Dilan, padahal fimnya pun belum dibuat.***