Ekonom: Harga BBM Premium Harus Naik

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dirasa masih dalam batas normal. Meski demikian, Ekonom Energi UGM Fahmy Radhi menekankan agar pemerintah tidak terus menahan harga premium, jika memang harga minyak dunia sudah terlampau tinggi.

"Tidak bisa selamanya tidak dinaikkan. Apa yang jadi batas? Yang jadi batas adalah harga minyak dunia, kalau sekarang masih USD 83 saya kira Pertamina masih mampulah untuk menahan tadi (harga Premium). Tapi kalau harga minyak sudah USD 100 (per barel), maka bebannya akan berat sekali baik Pertamina atau APBN," ucapnya saat Diskusi Publik dengan tema 'BBM dan Situasi Kita' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/10).

Fahmy menambahkan, saat harga minyak dunia telah menyentuh USD 100 per barel, ini akan menjadi beban Pertamina jika harga BBM bersubsidi (Premium dan Solar) tidak disesuaikan. Pertamina akan menanggung dana subsidi terlalu besar. Di sisi lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga akan membengkak.

"Karena pemerintah akan menambah untuk subsidi solar gitu ya dalam jumlah yang besar. Saya setuju ini tidak dinaikkan tapi ada batasnya. Sampaicut off-nya itu USD 100, mau tidak mau ya harus naik (BBM Subsidi)," lanjutnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Economic Action (Econact) Indonesia Ronny P Sasmita menambahkan, pemerintah harus menyiapkan berbagai skenario untuk mengantisipasi tren harga minyak dunia yang tinggi dan imbasnya pada rupiah. Lantaran adanya risiko tambahan seperti beban defisit transaksi berjalan yang kian lebar dan akan berdampak pada pelemahan rupiah.

"Risiko lainnya, defisit minyak diperkirakan akan kian lebar yang akan membuat defisit transaksi berjalan bisa menembus 3,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi tersebut akan menjadi faktor pendorong arus keluar modal asing yang akan membuat nilai tukar rupiah berpotensi melemah ke kisaran Rp 16.000-Rp 16.500 per dolar AS," ucapnya kepadakumparan, Sabtu (13/10).

Premium Harus Naik

Kebijakan menaikkan harga BBM jenis Premium memang dilematis bagi pemerintah. Sebenarnya, kata Ronny, pemerintah bisa menjelaskan kepada publik beban yang ditanggung oleh pemerintah karena kenaikan harga minyak dunia. Memang benar jika perubahan harga Premium harus mengacu Peraturan Presiden Nomor 43 tahun 2018. Dalam aturan itu ada tiga pertimbangan sebelum menentukan harga Premium yakni kemampuan keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, dan ekonomi riil dan sosial masyarakat.

Selain itu, Ronny menjelaskan, persoalan yang paling masuk akal bagi pemerintah adalah menjelaskan kepada publik kemampuan keuangan negara saat ini. Sebab, beban kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi akan ditanggung negara kalau PT Pertamina (Persero) tidak menaikkan harga BBM. 

"Jika pemerintah menggunakan alasan daya beli, saya mengira pemerintah sedang membantah justifikasinya selama ini. Soalnya, pemerintah selalu berargumen bahwa tidak ada persoalan dengan daya beli masyarakat kita, jika pemerintah menggunakan argumen itu, pemerintah justru sedang membenarkan pandangan oposisi bahwa ekonomi kita sedang bermasalah," lanjutnya.

Asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar USD 48 per barel. Sementara saat ini harga minyak dunia naik menjadi USD 83 per barel, bahkan berpotensi hingga USD 100 per barel.

Untuk itu, kata Ronny, ada dua pilihan bagi pemerintah untuk menekan selisih harga minyak mentah dunia. Pertama menaikkan harga jual BBM (Premium) lalu kedua menambah subsidi energi, terutama untuk Pertamina dan PT PLN (Persero).

Menurut catatanya, subsidi energi sebesar selama semester I 2018 Rp 59,51 triliun. Sementara proyeksi untuk semester II 2018 mencapai Rp 103,98 triliun.

"Jika tidak menaikkan harga, maka angka subsidi tentu akan membengkak. Dan dalam situasi fiskal saat ini, rasanya penambahan subsidi untuk Pertamina dan PLN akan semakin menggerus keuangan negara," pungkasnya.