Ekspedisi Memburu Biang Tsunami Selat Sunda
Jejak kerusakan akibat empasan tsunami terlihat di sepanjang Jalan Raya Anyer, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (26/12). Mobil yang kami tumpangi melintasi reruntuhan bangunan, pohon-pohon tumbang, dan kendaraan-kendaraan yang berserakan.
Empat hari sebelumnya, Sabtu malam (22/12), Pantai Anyer yang tenang itu dihantam tsunami. Tak ada peringatan datang lebih dulu.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak menerima sinyal pemicu tsunami, dan Badan Geologi tak melihat gelagat aneh Gunung Anak Krakatau,
Pendeknya, tsunami menyelinap senyap, dan sekejap menyeret ratusan orang ke dalam gelombangnya.
Sore itu, raungan Gunung Anak Krakatau menguasai langit. Setiap satu dentuman selalu diiringi kilatan petir.
Mendengar gelegar dan melihat halilintar itu dari kejauhan, kami sepenuhnya sadar: gunung di Selat Sunda itu garang bukan main.
Ia dianggap bertanggung jawab atas tsunami yang menghantam pesisir Banten dan Lampung, termasuk Pantai Anyer yang kami lalui.
Saat itu, kami—sejumlah wartawankumparan—memacu mobil untuk bergabung bersama tim peneliti yang akan melakukan riset dan pengumpulan data tsunami di lapangan.
Nah, itu mereka. Abdul Muhari yang peneliti tsunami Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Fumihiko Imamura yang menjabat Kepala International Research Institute of Disaster Science di Universitas Tohoku, dan Taro Arikawa yang juga peneliti tsunami dari Universitas Chuo, Jepang.
Ketiganya ragu Gunung Anak Krakatau adalah satu-satunya biang kerok Tsunami Selat Sunda.
Meski pangkal tsunami berasal dari area Gunung Anak Krakatau, belum ada penjelasan pasti tentang bagaimana tsunami itu terjadi. Jadi, mereka ingin mencari tahu dengan turun langsung ke lapangan.
Tim peneliti ini akan menyusuri jejak tsunami Selat Sunda di 10 lokasi. Mereka ingin mendapatkan keterangan saksi mata, dan menghitung numerik ketinggian gelombang serta laju tsunami.
Pengetahuan soal itu, menurut Abdul Muhari yang biasa disapa Aam, berguna untuk membantu menentukanemergency responsedan daerah prioritas ketika tsunami menerjang lagi.
Dari 10 titik yang akan dikunjungi, lima titik pertama berada di sepanjang pesisir barat Banten, dan lima titik lainnya di seputar Gunung Anak Krakatau. Jadi, perjalanan akan melalui darat, laut, dan udara.
Keesokannya, Kamis (27/12), kami tak langsung ikut berkeliling bersama tim peneliti. Kami berpisah jalur dulu untuk mencari tahu, kenapa penanggulangan bencana di pesisir Banten itu tak berjalan selayaknya.
Jawabannya terpampang sepanjang jalan. Di sana, berbagai sisa petunjuk arah jalur evakuasi tsunami, teronggok begitu saja. Jangankan melihat tanda itu, sebagian warga setempat sudah tak sanggup lagi berlari ketika tsunami tiba.
Ketiadaan rasa waspada, ditambah ketiadaan sirene atau peringatan dini, membuat orang-orang dengan mudah digulung ombak raksasa.
Di Desa Wanasalam, Labuan, Pandeglang, sebuah bangunan tiga lantai seluas 2.456 meter persegi berdiri kosong melompong. Ia seharusnya jadi tempat perlindungan ketika sirene peringatan tsunami berbunyi.
Namun alih-alih melindungi, ia justru bisa bikin celaka. Bangunan itu terlihat rapuh, tak memenuhi standar gedung layak. Dindingnya dipenuhi coretan, lantainya becek, dan lampunya tak berfungsi.
Kondisi bangunan seperti ini sudah tentu membuat orang malas datang. Mereka akan berpikir dua kali untuk cari selamat di gedung tak jelas ini.
Kombinasi fasilitas buruk dan ketiadaan peringatan tsunami, jadi catatan penting dalam perjalanan ini.
Hari berikutnya, Jumat (28/12), kami merapah Tanjung Lesung di Kecamatan Panimbang, lalu Kecamatan Sumur, Kecamatan Labuan, Kecamatan Anyer, sampai kota Cirebon.
Iring-iringan mobil kami juga singgah di Pantai Tanjung Jaya, Pandeglang. Di tempat itu, sejauh mata memandang, tak ada bangunan berdiri tegak.
Di sana sini, tampak sisa-sisa bangunan warung semipermanen porak poranda. Tak satu tiang pun berdiri, termasuk tiang-tiang listri dari beton yang roboh ke tanah.
Sesudah memarkir mobil di pinggir jalan, tim peneliti keluar dengan menenteng sejumlah peralatan. Mereka dengan sigap menuju ke sejumlah titik untuk melakukan pengamatan.
Kami berlari-lari ke bibir pantai mengikuti gerakan gesit mereka.
Di tepi laut, para peneliti menyisir lokasi selangkah demi selangkah, memperhatikan kehancuran-kehancuran di situ secara rinci.
Imamura meneliti sisi pantai. Ia menemukan koral yang ia yakini terserat gelombang tsunami dari dasar laut. Koral yang tercabut dari dasar laut, menurut Imamura, menunjukkan seberapa kuat tsunami menyapu daratan.
Sementara Taro Arikawa mengamati serabut-serabut dan rumput yang menyangkut di pohon pisang, dedaunan, dan semak-semak. Ia mengatakan, pada tumbuhan-tumbuhan itu terlihat perbedaan antara daun-daun yang terkena tsunami dan tidak.
Agak menjorok ke darat, Aam mencermati pohon-pohon yang malang melintang. Menurut dia, arah jatuhnya pohon-pohon dan tiang listrik ke sisi laut, menandakan tarikan gelombang balik ke laut jauh lebih kuat dibanding ketika ia datang.
Petunjuk-petunjuk itu akan memberi mereka data soal sejauh, setinggi, dan sekuat apa gelombang tsunami menerjang daratan.
Ketika mendongak beberapa kali ke atas untuk melihat patahan-patahan dahan yang bisa jadi petunjuk soal ketinggian tsunami, Aam tiba-tiba berteriak memanggil Imamura dan Arikawa.
“Sensei,”teriak Aam sembari melambaikan tangan,“What do you think?”
Aam menunjukkan temuannya, dan meminta pendapat kedua peneliti Jepang itu. Mereka kemudian saling tatap dan bergumam berbarengan, sambil mengamati lebih detail.
Imamura seperti tak percaya dengan amatan itu, namun ia mengangguk,“Yes, I think so.”
Aam, Imamura, dan Arikawa berkali-kali saling memanggil untuk mencocokkan temuan dan perhitungan mereka. Setiap kali pula mereka tampak tak puas dan kembali melakukan pengamatan.
Penelitian di Pantai Tanjung Jaya ini memberikan hasil cukup mengejutkan: gelombang tsunami di tempat itu mencapai 8,5 meter, lebih tinggi dari angka yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (tiga meter).
Itu baru di Tanjung Jaya. Belum di lokasi lain. Diskusi dan perhitungan terus menyusul dilakukan sepanjang perjalanan. Pembahasan bahkan mencakup robohnya pohon pisang di satu titik observasi, apakah ia tumbang karena tsunami atau hujan belaka.
Sesampai di Pantai Tanjung Lesung tempatbandSeventeen tersapu tsunami, terlihat banyak bangunan permanen luluh lantak.
Imamura mendekati bangunan dua lantai seluas 50 meter persegi. Tembok depan bangunan itu hancur, tapi tembok belakang masih berdiri.
Reruntuhan bangunan itu kemudian kami kitari. Kami naik tangga yang hampir roboh menuju lantai dua.
Sembari melangkah hati-hati, Imamura memaparkan teorinya soal skenario masuknya air ke dalam bangunan itu hingga meruntuhkan tembok depan. Ucapannya disetujui para peneliti lain.
Hasil olah data di Tanjung Lesung ini sama mengagetkan seperti di Tanjung Jaya: ketinggian tsunami mencapai 8,5 meter, 10 meter, 12,5 meter, hingga 13,6 meter.
Perhitungan tersebut jauh melebihi perhitungan awal model algoritma BMKG yang menyebutkan tinggi gelombang tsunami maksimal mencapai 2-3 meter di darat.
“Tinggi gelombang 10 hingga 13 meter itu sangat besar walaupun hanya lokal,” kata Imamura.
Sementara para peneliti masih terperangah dengan temuan mereka, saya membayangkan gelombang setinggi 13 meter muncul tiba-tiba di hadapan kami.
Beberapa rekan saya yang tak datang ke lokasi bencana pun, bahkan sampai bermimpi dihampiri tsunami saking kami setiap hari meneliti soal ini.
“Saya kira kekuatan Tsunami Krakatau lebih besar dari Palu,” ujar Imamura.
Gelombang Tsunami Palu dua bulan sebelumnya, 28 September 2018, memiliki titik tertinggi 11,3 meter. Tak sampai 13 meter.
Hipotesis Imamura dan kawan-kawan itu harus dibuktikan dengan bertandang ke sekitar Anak Krakatau.
Di sinilah masalahnya, sebab gunung garang itu masih berbahaya untuk didekati.
Maka kami pulang ke Jakarta dengan tanda tanya besar. Apakah benar sumber tsunami lebih “besar” dari yang diperkirakan?
Semoga amuk Anak Krakatau mereda agar para peneliti dapat merampungkan tugasnya melakukan observasi langsung di sumber lokasi tsunami.