Film Ziarah Melawan Bunuh Diri

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Sangkan Paraning Dumadi

Filosofi kejawen itu menjadi pembuka film Ziarah. Sebuah film yang mengajarkan sebuah filosofi, ketahuilah asalmu dan ke mana tujuan hidupmu.

Ketika harapan tidak bersambut, beberapa orang mengambil pilihan untuk mengakhiri hidupnya. WHO mencatat 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri atau 1,4 persen dari seluruh penyebab kematian. 

Meski angka bunuh diri dan keinginan untuk mengakhiri hidup masih banyak, inisiatif-inisiatif untuk mentertawakan manusia yang pupus harapan pun masih tinggi. Salah satunya adalah Film Ziarah karya BW Purbanegara. 

Film Ziarah masuk ke bioskop pada 18 Mei 2017 dengan mengusung kisah Mbah Sri yang telah lama tidak bertemu suaminya sejak Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Pak Pawiro, suami Mbah Sri dikisahkan sebagai intelijen tentara Indonesia kala Agresi Militer Belanda II pecah di Yogyakarta.

Film yang berangkat dari festival demi festival ini mengisahkan seorang nenek yang masih terus membawa harapannya meski masa lalunya pelik. 

Masalah mengelola konflik hidup menjadi refleksi BW selama ia menjalani proses kreatif pembuatan naskah. “Di balik angka bunuh diri yang tinggi, masyarakat Gunung Kidul itu tangguh. Dalam keadaan gersang kering tapi daya juangnya tinggi. Itu penting untuk dibicarakan agar yang buruk dipendam dengan hal yang baik,” cerita BW ketika ditemui kumparan (kumparan.com) di Yogyakarta pada Kamis (24/5).  

 

BW tidak sedang berandai-andai. Gunung Kidul merupakan kabupaten dengan angka bunuh diri yang cukup tinggi. Disertasi doktoral Drs. I Wayan Sumena M.Hum di Universitas Gadjah Mada mencatat dalam kurun 10 tahun terakhir terjadi peningkatan rasio bunuh diri di Gunung Kidul. 

Khusus Gunung Kidul, terdapat 330 kasus bunuh diri selama rentang waktu 2003-2014. Bahkan, di tahun 2016 sendiri terdapat 30 kasus bunuh diri. 

Penelitian Sumena menjelaskan bahwa bunuh diri di Gunung Kidul disebabkan oleh faktor depresi yang sedikit banyak dibalut oleh faktor kultural. Di Gunung Kidul ada istilah Pulung Gantung, suatu dialog mistis manusia yang sedang berharap. Jika tidak ada balasan, maka ia harus mati untuk mencari jawaban tersebut. 

“Orang-orang yang mengalami kegagalan berkomunikasi tersebut melakukan kegagalan, kesalahan, kekeliruan, maupun kesesatan pula saat melakukan signifikansi pada pulung gantung,” terang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udaya yang dikutip kumparan (kumparan.com) dari laman UGM. 

 

Menyambung harapan adalah salah satu dimensi yang ditawarkan Film Ziarah. Dengan fenomena bunuh diri yang terjadi begitu dekat dengannya, ia berusaha merefleksikan skenario filmnya agar memiliki pesan yang dapat meruntuhkan pakem tersebut.  

BW kemudian menceritakan adegan salah satu tokoh yang menceritakan tetangganya yang mati bunuh diri karena mengetahui perselingkuhan pasangannya yang terjadi 30 tahun yang lalu. Kisah itu diangkat sebagai pembanding bahwa ada kisah Mbah Sri dengan masa lalunya dan orang yang mati bunuh diri. 

“Saya ingin menertawakan orang yang pada akhirnya bunuh diri karena mengetahui pasangannya selingkuh. Padahal perselingkuhan 30 tahun yang lalu. Meski terjadi di masa lalu, dia stress, lalu memilih bunuh diri,” bebernya. 

Ketika narasi yang lebih banyak beredar adalah tentang bunuh diri, BW dan filmnya ingin menunjukkan bahwa ada cara lain untuk mengelola masa lalu. 

“Yang ingin saya ketengahkan itu hakikat pasrah yang didalami oleh masyarakat Jawa terwakili oleh Mbah Sri. Pasrah itu bukan berarti kalah. Pasrah adalah salah satu bentuk ikhlas meski dalam keadaan yang sangat sakit.”

 

Lewat kisah Mbah Sri, BW mengajak penonton belajar. Bagaimana bisa hidup terpisah dari orang yang anda cintai tanpa kabar sedikitpun dan mampu bertahan lebih dari setengah abad? Kisah Mbah Sri yang menjadi jawabannya. 

“Se-terpuruk-terpuruknya kisah mbah Sri, saya ingin tunjukkan bahwa ia tokoh berwibawa. Saya tidak ingin membuat tokoh ini jatuh dalam kesedihan yang tanpa ujung. Ada satu harapan kecil untuk menjadi penawar rasa sakit. Penting untuk tidak terlarut dan jatuh,” imbuh BW. 

BW menutup obrolan dengan mengutip salah satu dialog di Novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia. Sebuah percakapan antara Nyai Ontosoroh dan Minke. 

"Kita kalah, Ma," bisik Minke.

Nyai Ontosoroh menjawab, "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."