Gejolak Batin Buzzer, Dilema Antara Gaji dan Hati

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Ketegangan pilkada rasa pilpres. Itulah yang menggambarkan kondisi DKI Jakarta pada masa Pilkada 2017 silam. 

Perbedaan pilihan calon gubernur-wagub membuat masyarakat terpecah belah hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Pendukung Agus Harimurti Yudhoyono-Silviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno kerap berseteru.

Penyebabnya macam-macam. Dari hal sepele hingga menyangkut prinsip. Parahnya sempat ada warga yang menolak menyolatkan jenazah pendukung calon pemimpin nonmuslim.

Ketegangan yang terjadi di Ibu Kota ini dirasakan juga hingga di daerah-daerah, meski mereka tak ikut memilih calon pemimpin DKI. Sebab selain dalam kehidupan nyata, perpecahan juga begitu terasa di dunia maya, bahkan lebih dahsyat. Sehingga dampaknya terasa hingga berbagai penjuru tanah air.

Pilkada DKI 2017 juga lah yang memantik munculnya gerakan akbar 411, 212, dan sederet aksi lanjutannya. Hingga akhirnya Ahok dipenjara karena divonis melakukan penistaan agama.

Kondisi ini tentu tak sepenuhnya alami. Ada pihak-pihak yang memulai, terlepas apakah mereka berniat memecah belah atau tidak. Mereka kerap disebut dengan istilah buzzer politik.

Pengaruh buzzer begitu kuat dalam kontestasi politik di Tanah Air sejak Pilpres 2014. Terlebih saat ini zaman digital.

Seorang mantan buzzer salah satu pasangan cagub-cawagub DKI menceritakan pengalamannya kepada kumparan. Wanita berusia 24 tahun itu keberatan namanya dipublikasi, maka kita sebut saja Desi.

Desi mengaku bergabung dengan tim pemenangan atau tim sukses (timses) pasangan calon pada 2017. Saat itu ia baru saja lulus kuliah dan sempat bekerja kantoran selama sebulan. 

Iming-iming gaji Rp 6 juta membuatnya tak berpikir dua kali untuk bergabung dengan timses itu. Maklum, gajinya sebagai fresh graduate masih jauh di bawah angka tersebut.

“Awalnya mereka nyebutnya media konsultan,” ujar Desi membuka percakapan, Jumat (31/8) kepadakumparan

Seiring berjalannya waktu, ternyata posisi pekerjaan yang ditawarkan berbeda dengan kenyataan. Desi justru menjadi buzzer politik yang tugasnya menggiring isu positif paslon yang didukung agar terpilih.

Meski merasa pekerjaannya tak sesuai dengan tawaran awal, Desi memilih tetap menekuni profesi tersebut untuk menambah pengalaman dan jaringan. Terlebih gajinya juga memuaskan dan posisi Desi cukup strategis. Ia langsung menjabat sebagai ketua tim bidang media sosial.

Desi mengaku ia dan tim di Jakarta tak pernah membuat black campaign. Namun menurutnya ada banyak tim media sosial untuk paslon yang sama. Desi tak bisa memastikan apakah mereka membuat black campaign atau tidak.

Dengan menjadi seorang buzzer, Desi semakin memahami kondisi politik saat itu. Ia bisa langsung berkomunikasi dengan para petinggi partai hingga paslon yang akan dimenangkan tanpa susah payah. Dia juga mampu mempengaruhi banyak orang melalui postingan-postingannya.

“Kalau saya sendiri awalnya itu senang. Kenapa? Satu karena mungkin dari sisi gaji ya cukup gede untuk anak seumuran saya. Kedua saya bisa tahu kondisi politik itu dari ring pertama jadi kalau orang ini tuh kayak gini, ini kayak gini,” ujarnya.

Perlahan situasi mulai berubah. Dua bulan bekerja di posisi tersebut Desi merasa tersiksa dengan tekanan kerja sebagai buzzer. Pemberian gaji mulai tidak transparan dan sempat menunggak karena memang tak ada kontrak yang jelas. Jadwal kerja juga semakin berantakan.

Tak jarang ia berdebat hebat dengan keluarga karena pekerjaannya. Puncaknya adalah saat ia mengidap sebuah penyakit akibat terlalu sering begadang dan terkena asap rokok rekan kerjanya.

“Karena mungkin saya perempuan dan saya bukan perokok. Satu ruangan itu perokok semua, saya sampai kena kelenjar getah bening pas diperiksa waktu itu masalah ke paru-paru sih karena sering pulang malam terus sering kena asap rokok dan segala macam gitu,” ujarnya.

Bukannya semakin sejahtera dengan mendapatkan pekerjaan, Desi justru semakin menderita. Ia akhirnya memutuskan berhenti menjadi buzzer.

Desi juga menyebut pekerjaan sebagai buzzer tidak sehat karena mencederai demokrasi. Mereka kerap membentuk opini tidak berdasarkan fakta namun kepentingan pemilik modal.

“Mungkin kita butuh duit, dari buzzer juga gajinya gede enggak munafik lah. Tapi ya gimana caranya kita hidup berdemokrasi dengan baik kita enggak mempengaruhi pemikiran orang bukan berdasarkan kepentingan dari orang yang membayar kita itu aja sih pesan saya,” tutupnya.