Gwarosa, Tren Kerja Keras Sampai Mati di Korea Selatan

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Jika orang Indonesia punya ungkapan 'kerja keras bagai kuda,' maka orangKorea Selatanpunya 'tren' baru 'kerja keras sampai meninggal.'

Dalam bahasa Korea, 'gwarosa' berarti meninggal karena terlalu lelah bekerja. Ironis, namun ini benar-benar terjadi.

Park Hyun-suk menjadi janda setelah Chae Soo-hong, suaminya meninggal dunia karena bekerja terlalu keras.


Chae bekerja sebagai seorangsuppliermakanan, khususnya jangjorim, makanan khas Korea yang terbuat dari daging sapi yang dimasak dalam kecap.

Tugas utamanya adalah untuk memastikan kualitas makanan tepat dan produksi tepat waktu. Dalam seminggu dia akan bepergian ke pabrik-pabrik perusahaan di berbagai tempat dan mengawasi produksi. Sabtu akhir pekan dia akan tetap pergi ke kantor utama untuk bekerja.

Sesampainya di rumah, tugasnya belum selesai. Dia seringkali menghabiskan malamnya untuk menerima telepon dari karyawan pabrik, terutama pada pekerja migran yang butuh bantuannya untuk menyesuaikan hidup di Korea Selatan. Itu bukan tugasnya, tapi itu menjadi tugas 'terselubungnya.' Dalam seminggu, Chae menghabiskan 180 jam untuk bekerja.

"Ketika dia pertama kali masuk ke perusahaan pada 2015, mereka hanya punya 30 pekerja. Sampai dia meninggal, perusahaan berkembang dan punya 80 pegawai tapi tugasnya juga makin banyak," kata Park kepadaCNN.

Pekerjaan Chae yang menyita waktu ini juga membuat tubuhnya makin kelelahan. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk tidur.

"Dia mungkin berpikir kalau bekerja seperti itu adalah hal normal. Dia adalah bagian dari generasibaby boomeryang menjadikan dia seorang pekerja keras karena dia adalah kepala keluarga. Dia tidak mengeluh dan tak istirahat."

"Korea adalah lingkungan yang menuntut kerja lembur dan kerja keras. Mereka menuntut Anda untuk bekerja lebih dari jam kerja. Mereka pikir bekerja lebih lama berarti bekerja lebih baik dan produktif."

Pagi hari sebelum meninggal, Chae bersiap ke kantor, seperti hari-hari biasanya. Dia pun mengeluh lelah, tapi istrinya tak ambil pusing. Toh, Chae memang selalu kelelahan setiap hari.

"Saya seharusnya melihat tanda bahwa dia sakit," kata Park. "Dia tak pulang hari itu."


Kolega Chae menemukan dirinya pingsan di lantai kantornya. Chae meninggal dunia sekitar pukul 19.00 pada Agustus 2017 lalu. Namun penyebab pasti meninggalnya Chae sampai sekarang tak pernah diketahui.

Satu dari ratusan

Menurut data pemerintah Korea, Chae adalah satu dari ratusan orang yang meninggal dunia karena kelelahan bekerja pada 2017.

Di antara negara OECD, orang Korea Selatan bekerja lebih lama beberapa jam lebih lama per minggunya dibanding negara lainnya. Lamanya mereka bekerja ini juga 50 persen lebih lama dibanding negara industri terkenal, Jerman.

Pada Juli lalu, dewan legislatif mengurangi jumlah jam kerja maksimum dari 68 jam per minggu menjadi 40 jam, dan 12 jam lembur akan mendapat bayaran.

Presuden Moon Jae-in sempat mengatakan bahwa ini akan menjadi kesempatan untuk mengurangi orang jadi antisosial karena lembut dan meningkatkan waktu untuk bersama keluarga.

"Hal yang paling penting adalah adanya solusi fundamental untuk melindungi hidup dan keamanan orang dengan mengurangi jumlah orang yang meninggal karena kelelahan kerja, kecelakaan industri, dan menyetir sambil mengantuk," kata Moon.

Namun untuk keluarga yang sudah menderita karena kehilangan orang tersayang akibat kelelahan bekerja, masih punya masalah lain. Mereka masih harus bertarung untuk mendapatkan kompensasi.

Karena Chae meninggal di kantor, Park berasumsi bahwa meninggalnya Chae akan diklasifikasikan dengan kecelakaan kerja dan mendapatkan kompensasi.

Namun hal ini jauh lebih sulit dari anggapan Park. Korea Workers Compensation and Welfare Service (COMWEL) dari lembaga pemerintah memintanya untuk membuktikan kalau Chae memang meninggal saat bekerja.

"Ini sulit. Dia biasanya berangkat pukul 07.00. dan pulang pukul 22.00 tapi tak ada data kerja yang menunjukkan jam kerjanya."

Berita Terkait