Hari Musik Nasional, Ayo Kenali Ahli Mamaos Cianjuran Khas Jabar
Banyak cara untuk memperingati Hari Musik Nasional. Presiden Joko Widodo sendiri mengundang para musisi ke Istana Negara untuk berdialog mengenai kondisi industri musik di Indonesia. Namun, ada satu hal yang mungkin dilupakan, yaitu menziarahi kembali seniman musik tradisi. Sebab, musik Indonesia sendiri kini sudah mulai banyak dipengaruhi oleh warna-warna luar negeri.
Salah satu seni musik khas Jawa Barat adalah Mamaos Cianjuran, atau yang sering masyarakat identifikasi sebagai kecapi-suling. Seni ini tercipta di Cianjur pada saat masa Dalem Pancaniti (Raden Aria Adipati Kusumhaningrat). Proses Dalem Pancaniti dalam menciptakan rumpaka Cianjuran sangat mengagumkan. Rumpaka (lirik) tembang-tembang Cianjuran diciptakan sebagai hasil dari perenungan mendalam atas relasinya dengan Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Diceritakan dalam buku “Bunga Rampai dari Cianjur” karangan Denny R. Natamihardja, ketika menciptakan rumpaka Mamaos Cianjuran, Dalem Pancaniti sering berada dalam sebuah ruangan khusus. Di sana ia khusyuk bersamadi hingga pembantu-pembantunya terkadang sulit untuk hanya sekadar mengantarkan makanan dan minuman kepadanya karena takut mengganggu konsentrasi Dalemnya. Dalem Pancaniti akan terus memusatkan perhatian kepada Gusti, hingga hatinya tergetar untuk menuliskan hasil perenungan. Jika selesai, Dalem Pancaniti biasanya hanya batuk kecil. Pembantunya sudah mengerti, mereka kemudian masuk memberi makan, dan dia pun pindah tempat ke sebuah Paviliun bernama Paviliun Pancaniti.
Sebagai pemimpin yang bijak, tembang-tembang Cianjuran itu pun terus dikembangkan. Tentu untuk mengembangkannya Dalem Pancaniti tidak seorang diri. Di antaranya, Rd. H. Abdul Palil (Ayah dari Rd. Etje Madjid), Rd. Askaen, Rd. Jaya Uhi. Mereka mendiskusikan tembang Mamaos yang baru selesai diciptakan dan mulai berlatih secara kekeluargaan dalam suasana sakral. Di antara para seniman yang mengembangkan Mamaos Cianjuran, dikenal Rd. Etje Madjid.
Masih dikutip dari buku “Bunga Rampai dari Cianjur”, sebagai putra dari Rd. H. Abdul Palil, relasi antara Rd. Etje dan Kedaleman Cianjur masih terus terjaga. Dalem Alibasyah yang merupakan anak sekaligus pengganti dari Dalem Pancaniti pun menjalin kedekatan dengan para seniman Mamaos, diantaranya Rd. Etje.
Pada masa kepemimpinan Dalem Alibasyah, Rd. Etje banyak membantuk menyebar luaskan Mamaos hingga dikenal dan disukai kalangan rakyat kebanyakan. Selain ahli dalam mengarang rumpaka, Rd. Etje terampil menyanyikan tembang bernada tinggi, juga ahli memainkan segala bentuk tetabuhan bahkan piano sebagai alat musik modern.
Pengembangan Mamaos ke tengah warga terus berlanjut. Pada masa beralihnya kepemimpinan Cianjur dari Dalem Alibasyah ke R.A.A Wiranatakusumah atau Dalem Haji, Rd. Etje tetap setia pada Mamaos. Ia mendampingi Dalem Haji. Bahkan saat Dalem Haji menjadi Bupati Bandung, Rd. Etje turut diboyong dari Cianjur dan semakin mengembangkan Mamaos Cianjuran dikembangkan di sana. Dari Bandung, Mamaos Cianjuran semakin dikenal ke seluruh tatar Priangan.
Kini, bagi para seniman Mamaos Cianjuran dan pemerhati sejarah Sunda, Rd. Etje Madjid dikenang sebagai salah seorang seniman yang banyak melahirkan tembang sunda Mamaos Cianjuran termasuk dedegungan (degung) dan rancangan, disamping lagu-lagu Mamaos karya Dalem Pancaniti. Lagu-lagunya hingga kini masih terus ditembangkan. Tembang karya Rd. Etje Madjid itu menjadi suara lain dari suara-suara kehidupan, suara-suara kedamaian di tengah hiruk-pikuk kemajuan dan musik yang diimpor luar tatar sunda. (Muhammad Fasha Rouf)***