Ini Sebenarnya Persoalan yang Terjadi di Freeport Indonesia
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta PT Freeport Indonesia (FI) mengedepankan kepentingan masyarakat Papua dan Karyawan dalam bertindak. Staf khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid menilai jika perusahan tersebut menolak rekomendasi ekspor konsentrat, maka akan berdampak pada perekonomian setempat.
"Itu kan artinya mereka berhenti beroperasi, dan itu dampaknya adalah pada karyawan terjadi PHK, juga tehadap perekonomian di kabupaten Timika, di kabupaten Paniai, dan Papua secara umum, sehingga kita berharap PTFI tidak hanya semata-mata memikirkan keuntungan jangka pendek, dengan melupakan kepentingan yang lebih strategis dan lebih besar," ujar Hadi kepadaRepublika, Ahad (19/2).
Pemerintah, jelas Hadi, sudah berusaha mengakomodasi kemauan PTFI dengan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. PTFI, menurut dia meminta jaminan investasi dan kepastian fiskal."Nah itu kita akomodasi juga," tuturnya.
Hadi mengisahkan pada Senin (13/2) sudah ada pembicaraan antara pihak pemerintah dengan perwakilan PTFI di kantor Kementerian Keuangan. Pemerintah terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara. Sementara pihak Freeport diwakili oleh CEO Richard Adkerson.
Pertemuan tersebut membahas poin perubahan dari kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, bagi perusahaan tambang yang ingin mengekspor konsentrat wajib merubah status dari KK menjadi IUPK.
"Waktu itu bu Menteri (keuangan/Sri Mulyani) menegaskan silahkan PTFI merumuskan apa yang ingin dicantumkan di dalam IUPK itu, poin-poin apa di dalam KK yang ingin tetap dicantumkan dalam IUPK," tutur Hadi.
Ia melanjutkan setelah pertemuan itu, pada sore harinya, PTFI menyerahkan poin yang ingin dicantumkan dalam IUPK. Pemerintah, kata Hadi, kemudian mengakomodasi poin-poin tersebut dalam IUPK yang dikeluarkan. Keesokan harinya pada Selasa (14/2), perwakilan PTFI mengambil IUPK yang sudah ditandatangani Menteri ESDM Igansius Jonan.
"Ternyata dia menyatakan penolakan terhadap IUPK tersebut, dan dia kemudian tidak lagi menyinggung soal kepastian investasi atau fiskal, tetapi dia menuntut kembali ke KK tahun 1991, utuh," ujarnya.
Freeport menolak peraturan
Pada Kamis (16/2) isu pemogokan massal berhembus. Tapi pada siangnya, perwakilan PTFI mengajukan permohonan rekomendasi ekpsor kepada pemerintah bersama dengan PT Aman Mineral Nusa Tenggara. Dalam permohonan rekomendasi itu, terang Hadi PTFI melampirkan komitmen membangun smelter kemudian wajib mendivestasikan saham ke negara sebesar 51 persen.
Pada Jumat (17/2), Dirjen Minerba Kementerian ESDM mengeluarkan surat persetujuan ekspor untuk PTFI dan PT AMNT. Kedua perusahaan tersebut telah menerima surat rekomendasi yang diberikan. "Kemudiaan kita tidak tahu perkembangannya, kita juga baru dengar dari pihak lain. Kalau misalkan mereka menolak, kita bisa melihat siapa yang menggunakan isu Papua, siapa yang menggunakan karyawan untuk menekan, kan kelihatan," tutur Hadi.
Mengenai divestasi, Hadi menerangkan merujuk pada Kontrak Karya yang dikeluarkan tahun 1991 sudah 51 persen meski kemudian ada Permen turunan yang bisa mengakomodasi sebesar 30 persen. Kini dengan IUPK, PTFI wajib menyerahkan 51 persen sahamnya ke Indonesia. "Mereka sudah penuhi 10 persen, berarti sekitar 41 persen lagi," ujar Hadi.
Terkait wacana PTFI akan megajukan tuntutan ke jalur arbitrase internasional, Kementerian ESDM, kata Hadi mempersilahkan karena hal yang wajar dalam sebuah relasi bisnis, perdata. Tapi menurut dia hal tersebut berpengaruh pada kemitraan yang telah dibangun.
"Kita berharap PTFI berpikir matang terkait dengan hal tersebut. Kemudian kita berharap PTFI mendahulukan kepentingan yg lebih besar, sehingga menempuh jalur yang lebih tepat untuk kelangsungan usahanya ke depan dan kontribusinya untuk Masyarakat Papua dan Indonesia," tutur Hadi.
Ia menerangkan PTFI bukan saja menolak Peraturan Menteri ESDM terkait IUPK, rekomendasi ekspor, dan divestasi. Tetapi juga Permenkeu yang mengharuskan biaya keluar sebesar 10 persen." Jadi mereka menolak semuanya," ujar Hadi.