Inspiratif! Angkie Yudistia, Tuna Rungu yang Sukses Jadi CEO

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Melihat senyum merona di wajah cantiknya, tentu kita tak pernah menyangka bahwa perempuan bernama Angkie Yudistia ini memiliki kekurangan.

Semua bermula dari demam tinggi yang dideritanya 20 tahun lalu berujung pada penurunan fungsi pendengaran yang kemudian merenggut keceriaannya sebagai remaja.

Ya, Angkie harus menerima kenyataan bahwa dirinya mengalami kesulitan mendengar atau disebut juga dengan istilah tunarungu saat berusia 10 tahun.

Sudah tak terhitung berapa banyak hinaan dari teman-teman sekolahnya dulu karena kekurangannya ini. Bahkan, ia tak pernah berhenti bertanya pada sang pencipta, apa kesalahannya sehingga mendapat ujian ini di dunia.

Angkie sudah mendatangi beberapa dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan untuk mencari kesembuhan. Sayang, bukannya kondisinya semakin membaik, Angkie justru terus mengalami penurunan kemampuan mendengar.

"Setiap 6 bulan sekali diperiksa, eh bukannya tambah bagus malah tambah parah. Apalagi dulu kan perkembangan informasi nggak secanggih sekarang susah mau cari tahu tentang kondisiku," ujarnya di sela-sela peringatan Hari Pendengaran Sedunia di Kemenkes, belum lama ini.

Beruntung, Angkie lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat mendukungnya dalam kondisi apapun. Orangtuanya tak putus asa mencari informasi sedetail mungkin dan menyembunyikan kesedihannya di hadapan buah hatinya itu.

"Orangtua aku bukan tipe yang nunjukin drop di depan anak. Jadi, aku juga nggak makin drop dengan kondisi seperti ini," tambah Angkie.

Lelah meratapi nasib, ia merasa menemukan titik baliknya. Momen ini terjadi pada saat Angkie berusia 20 tahun. Ia tak ingin hidupnya hanya dipenuhi dengan kesedihan.

Angkie pun memutuskan bangkit dan menerima kondisinya sebagai seorang tunarungu. "Aku butuh waktu 10 tahun untuk menerima diri sendiri dan itu butuh proses yang panjang sekali," tambah perempuan yang kini memiliki satu orang putri.

Meski memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, Angkie mantap memilih kuliah jurusan Komunikasi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Penerimaanya terhadap diri sendiri membuat Angkie mampu menemukan sisi hebatnya.

"Justru di jurusan ini aku belajar menerima dan menemukan jati diri aku sebenarnya," ujar perempuan kelahiran Medan 1987.

Berbagai prestasi ditorehkan Angkie. Ia tak membiarkan kekurangannya menghambat masa depannya. Angkie bahkan tercatat sebagai finalis Abang None Jakarta Barat pada 2008, dan mendapat penghargaan bergengsi sebagai sosok inspiratif dari berbagai pihak setiap tahunnya.

Semangatnya yang membara untuk menembus batas ini membuat Angkie ingin menularkannya pada penyandang tunarungu lainnya. Ia pun memutuskan untuk mendirikan Thisable Enterprise, sebuah program pengembangan skill bagi penyandang disabilitas.

"Aku percaya kita memiliki kesamaan hak untuk mendapatkan pekerjaan. Banyak teman-teman sesama disabilitas yang butuh kerjaan agar bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain," ujar Angkie menyemangati.

Melalui program ini, ia ingin penyandang disabilitas tidak lagi dikasihani saat menjual produk atau jasa mereka, namun karena keberadaan mereka sangat dibutuhkan masyarakat.

"Teman-teman penyandang disabilitas juga dimotivasi sebagai 'self employee' kita kerja sama dengan GOJEK dimana teman-teman bisa terlibat dalam memberikan jasa di fitur Go-Auto, Go-Massage, atau Go-Clean. Mereka juga diajari cara bekerja itu seperti apa," cerita Angkie merinci.

Ia percaya titik baliknya 10 tahun yang lalu mengisyaratkan pesan dari Tuhan agar mampu memperjuangkan keberadaan penyandang disabilitas agar berharga dan mendapat kesetaraan di tengah keterbatasan yang ada.

 

Berita Terkait: