Jangan Sampai Keliru Gara-gara Centang Biru
Tulisan ini sepenuhnya opini penulis.
Uzone.id– Reaksi pertama saya langsung menepuk jidat. Rasanya saya ingin langsung menggedor pintu rumah Elon Musk dan bilang, “hei, besok mau Lebaran, kenapa bikin saya kepikiran perkara centang biru, sih?” Agak konyol memang, di hari terakhir puasa, saya malah ikutan ribet perkara drama Twitter.
Saya termasuk pengguna Twitter di awal era platform mikroblog ini merintis popularitasnya di Indonesia. Saya bikin akun di pertengahan tahun 2009 (walau sempat hapus akun dan bikin lagi di 2011), mungkin banyak yang lebih awal dari saya. Twitter jadi ‘tempat sampah’on the goketika saya terlalu malas curhat di medium blog seperti Tumblr.Wongcuma 140 karakter, misuh-misuh ala kadarnya bisa langsung beres. Uneg-uneg pun berhasil keluar.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak figur publik mulai dari musisi, sineas dan bintang film, sosok pemerintahan, instansi bisnis, dan lain sebagainya yang mencicip dunia Twitter. Hal pertama yang bikin kita semua langsung tahu dan yakin kalau akun-akun tersebut memang milik figur publik adalah… centang biru.
Tak peduli mau berapa jumlah twit mereka ataupun jumlahfollower-nya, mereka secara otomatis sudah mendapatkan verifikasi dari Twitter – pikiran awam kita semua kurang lebih, “udah dari sononya dapat ceklis biru, orang-orang Twitter pasti lebih tahu mana yang ‘beneran’, mana yang akun bodong atau bikinan fans.”
Selebriti atau figur publik kala itu ‘kan tidak secara instan langsung memiliki jutaanfollowersaat ia bikin akun Twitter. Tapi, pihak Twitter seolah sudah tahu bahwa akun-akun tersebut memang dimiliki oleh “mereka” walaufollower-nya baru belasan ribu user.
Jika saya boleh sok tahu, alasan Twitter menghibahkan centang biru secara sukarela adalah untuk memverifikasi akun-akun yang sudah jelas dimiliki dan dikelola oleh figur publik tersebut. Gampangnya, centang biru dapat memudahkan kita sebagai “warga biasa” membedakan mana akun resmi mereka, mana yang bukan.
Keberadaan centang biru ini kemudian menjadi hal normal yang ada di dunia maya. Tak cuma Twitter, laman resmi di Facebook, akun-akun di Instagram, kanal YouTube, hingga akun di WhatsApp pun memakai konsepverified accountdengan ikon centang biru.
Centang biru artinya otentik. Kalian punya akun yang dicentang biru? Itu bagai dicap “terverifikasi” dan diakui keasliannya oleh tiap platform digital.
Semakin ke sini, kultur centang biru ini perlahan berubah gara-gara Elon Musk. Sejak ia mengakuisisi Twitter, banyak hal yang dirombak di dalam perusahaan – selain PHK besar-besaran, kebijakan Twitter Blue yang berkaitan dengan centang biru juga terpaksa berubah.
Awalnya, Twitter Blue ini hanya sebagai opsi bagi pengguna yang rezekinya kelebihan dan ingin mendapatkan fitur lebih banyak dibandingkan pengguna gratisan.
Ketika Musk mengambil kendali Twitter, kebijakan soal centang biru ini menjadi salah satu fokus utamanya sebagai cara agar perusahaan nggak bangkrut. Twitter Blue versi web browser dibanderol Rp120 ribu per bulan atau Rp1.250.000 per tahun.
Sedangkan versi mobile untuk iOS dan Android, Twitter Blue dibanderol Rp165 ribu per bulan atau Rp1.719.000 per tahun.
Dengan biaya segitu, pengguna Twitter Blue mendapatkan beberapa fitur tambahan seperti teksbolddanitalic, 10 ribu karakter saat ngetwit, posting video durasi lebih lama dengan kualitas 1080p, mengedit twit yang sudah terlanjur diposting, dan memakai foto profil NFT.
Centang biru yang bikin was-was keliru
Setelah Twitter Blue tersedia untuk pasar Indonesia, saya semakin sering menemukan akun-akun “orang biasa” yang memiliki centang biru berseliweran di linimasa ‘For you’ atau di percakapan twit yang viral.
Tandanya, Twitter Blue memiliki pasarnya sendiri di Indonesia. Saya sampai agak terkejut dan bergumam, “wah, ada banyak toh ternyata yang langganan.”
Nggak salah kok, hak mereka jika mau berlangganan dan memang punya uangnya. Entah kenapa saya belum tertarik, mungkin karena saya sudah terlalu boros kali, ya? Atau terlalu pelit?
Mengeluarkan Rp165 per bulan cuma buat ngetwit lebih panjang dan martabat jadi ‘naik kelas’ karena akun dapat ceklis biru rasanya belum rela. Walau harganya masih lebih murah dari langganan Netflix saya yang sebulan Rp186 ribu, memang saya belum menemukan titik pentingnya untuk pakai Twitter Blue, sih.
Kecuali saya dalam beberapa tahun ke depan bakal jadi orang pemerintahan di jajaran menteri, mungkin bisa saja saya mendapatkan ceklis verifikasi, meski warnanya abu-abu, bukan biru.
Saya ingat betul beberapa bulan lalu, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, akhirnya ‘menyerah’ dan berlangganan Twitter Blue. Walau menurut saya pribadi, sosok seperti Mas Ismail ini seharusnya layak mendapatkan centang biru secara otomatis dari Twitter.
Tapi ya sekarang setidaknya akun @ismailfahmi sudah mendapat lencana biru dan semakin mengukuhkan perannya sebagai “orang bukan sembarang orang”.
Justru, PR besar buat saya –dan mungkin teman-teman Twitter lainnya– adalah memastikan kembali akun-akun ‘tidak dikenal’ namun memiliki centang biru di era seperti sekarang. Kenapa?Hear me out.
Syarat berlangganan Twitter Blue terbilang mudah. Yang penting akun kita umurnya sudah lebih dari 90 hari, aktif, dan nomor ponsel kita terverifikasi.
Saya belum menemukan syarat konkret mengenai jumlahfollower, apalagi soal prestasi atau pencapaian kita, entah secara akademis ataupun pengaruh terhadap industri.
Intinya, Twitter ‘cuma’ butuh uang langganan kita saja.
Awalnya, saya pikir memiliki centang biru ini bagai beban tersendiri bagi akun siapapun di luar sana, karena suka atau tidak, jika cuitan kalian berseliweran, pastinya akan lebih mentereng dan lebih “dilihat” dibandingkan akun rakyat biasa seperti saya.
Beban yang saya maksud kira-kira seperti ini:
- Ngetwit yang bijak-bijak
- Jangan menyebar hoaks
- Kalau bisa jangan bikin kontroversi atau opini sesat
- Jangan ngomong kasar
- Beropini harus cerdas, karena kalau terlalugoblok, malu sama kasta centang biru
Tapi makin ke sini, apalagi ketika Elon Musk mulai menghapus centang biru lawas di akun-akun ternama tanpa langganan Twitter Blue, perspektif saya jadi berubah.
Bayangkan saja, akun-akun yang dulunya kita “anggap” karena sudah jelas terverifikasi seperti Lady Gaga, Chris Evans, Buzz Aldrin, sampai Bill Gates, dan pendiri sekaligus mantan CEO Twitter Jack Dorsey, kini kehilangan “otentikasinya” di Twitter.
Sederhananya, jika mereka –semuanya sayafollow– ngetwit dan muncul di beranda saya, belum tentu saya akannoticedengan cepat karena tidak ada centang birunya. Belum lagi jika kita mencari profil orang ternama lain yang belum kitafollow, dan hasil penelusurannya ada banyak yang muncul.
Kita harus mengeceknya satu-satu demi memastikan akun asli mereka yang kitafollow.
Figur publik yang kehilangan centang biru ini mau tidak mau harus berlangganan Twitter Blue agar ‘status sosial’ mereka di Twitter dapat kembali lagi.
Rasanya kok seperti dunia sedang terjungkir balik begini? Orang-orang yangbeneranpenting dan ternama menjadi 'invisible', sedangkan "orang biasa" menjadi lebihvisiblealias terlihat berkat kasta centang biru.
Yup, begitu unik memang kebijakan dan drama soal Twitter Blue ini. Tak sedikit yang mendukung keputusan Musk agar orang-orang menjadi “sama” di hadapan alam Twitter – kecuali mereka yang memang mau menyumbangkan duit untuk Elon Musk demi berlangganan Twitter Blue.
Yang jelas, saat ini kita telah tiba di era yang semakin menuntutcritical thinkingdan akal sehat. Kini, Twitter pelan-pelan menjelma seperti grup WhatsApp yang anggotanya berisi banyak orang dengan ragam usia dan gemar berbagi informasi yang terkadang masih harus ditelaah fakta atau kebenarannya.
Pun begitu dengan Twitter. Justru pengguna gratisan seperti saya lah yang dituntut lebih mawas diri.
Saya sebagai pengguna gratisan, hanya ingin mengajak kalian yang juga pengguna gratisan, agar lebih teliti lagi jika berhadapan dengan akun bercentang biru, khususnya jika ada pembahasan topik yang viral dan ramai atensi.
Centang biru di era sekarang tidak mengenal pencapaian, prestasi, status di kehidupan nyata (orang terkenal atau orang biasa), atau jenis pekerjaan. Centang biru artinya berbayar, bukan persoalan otentikasi.
Maka, tak perlu cemburu dengan centang biru. Jangan sampai kita keliru dan terburu-buru menilai sebuah cuitan hanya karena penggunanya menenteng centang biru.