Kata Para Peneliti Asing soal Tsunami di Selat Sunda

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Peristiwa tsunami di Selat Sunda yang disebabkan oleh longsoran Gunung Anak Krakatau pada Sabtu (22/12) malam membuat banyak pihak terkejut, terutama karena pemicu tsunami ini berbeda dari tsunami lain pada umumnya. Berbeda dengan tsunami yang terjadi di Palu, Aceh, ataupun Pangandaran, tsunami di Selat Sunda bukan disebabkan oleh gempa besar yang terjadi sebelumnya.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengonfirmasi bahwa tsunami di Selat Sunda ini disebabkan oleh longsor akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

"Luas area kolaps mencapai 64 hektare. Dalam waktu 24 menit menjadi tsunami di pantai," ujar Dwikorita dalam konferensi pers di Kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12).

Hingga Selasa (25/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaporkan bahwa tsunami yang melanda pesisir Banten dan Lampung ini telah menewaskan 429 orang. Selain itu, 154 orang lainnya dilaporkan hilang, 1485 orang luka-luka, dan 16.082 orang terpaksa harus mengungsi. 

Hal yang mengejutkan peneliti asing

Bukan hanya para peneliti dalam negeri yang memantau peristiwa tsunami Selat Sunda, beberapa peneliti dari luar negeri pun turut menyoroti kejadian yang memakan banyak korban jiwa ini. 

Kepala Tsunami Research Center di University of Southern California AS, Costas Synolakis, misalnya, mengatakan tsunami yang terjadi di Selat Sunda seharusnya bukanlah hal yang mengejutkan.

“Sudah diketahui bahwa Krakatau sedang aktif dan tsunami karena longsor di bawah laut yang dipicu oleh erupsi bukan hal yang mengejutkan,” ungkapnya kepadaThe New York Times.

Synolakis melanjutkan, baginya yang mengejutkan justru tidak adanya peringatan yang diberikan kepada warga setempat untuk waspada akan pergerakan air yang janggal setelah erupsi Anak Krakatau.

Ia mengatakan, seharusnya tide gauge yang ada di Selat Sunda sudah cukup untuk memberikan peringatan, atau setidaknya ada petugas pantai yang ditugaskan untuk mengawasi adanya kejanggalan di lautan.

“Peringatan dari penjaga pantai mungkin bisa memberikan beberapa menit saja waktu untuk evakuasi, tapi tentu itu lebih baik daripada tidak ada peringatan sama sekali,” katanya.

“Seharusnya, jelas kalau tide gauge tambahan yang ditempatkan di sekitar pulau-pulau di Selat Sunda bisa menyelamatkan nyawa, meski tanpa buoy di pesisir.”

Tsunami akibat erupsi Anak Krakatau masih bisa terjadi lagi

Raphael Paris dari Université Clermont Auvergne di Prancis turut memberi komentar mengenai peristiwa ini. Sebelumnya pada tahun 2012, Paris pernah menulis sebuah makalah ilmiah bersama Budianto Ontowirjo dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengenai kemungkinan tsunami akibat longsornya Anak Krakatau. Ia menulis, apabila terjadi longsor dari Gunung Anak Krakatau dengan volume material 0,28 kilometer kubik, maka itu akan memicu ombak dengan tinggi awal 43 meter.

“Volume longsoran yang disimulasikan ini lebih besar dari yang terjadi pada hari Sabtu (22/12) dan skenario kami merupakan skenario terburuk,” kata Paris kepadaBBC.

“Namun, stabilitas di kerucut gunung berapi masih tidak stabil dan kemungkinan terjadi longsor dan tsunami di kemudian hari tidak bisa diabaikan.”