Kehidupan Kakak Soe Hok Gie di Usia Senja
Jika mendengar nama Arief Budiman, tentu ingatan tidak lepas pada sosok adiknya, Soe Hok Gie. DalamCatatan Seorang Demonstran, Hok Gie cukup menceritakan kedekatannya dengan Soe Hok Djin (nama Arief sebelum diganti pada Orde Baru), baik dalam ikatan darah, maupun teman seperjuangan.
Selama masa kuliah di Universitas Indonesia, Arief --yang merupakan Mahasiswa Psikologi--, ikut kritis merongrong pemerintahan Sukarno yang semakin terpuruk secara ekonomi.
Setelah runtuh rezim terpimpin Sukarno, ia bersama Hok Gie, juga masih ikut mengkritik orde baru dan teman-teman seperjuangan mereka, --yang pada akhirnya dapat kursi di parlemen--.
Kedekatan kakak-beradik yang hanya terpisah satu tahun ini, begitu dekat dalam lintas sejarah kaum intelektual muda kala itu.
Arief mengakui tidak bisa begitu banyak menceritakan sosok adik kandungnya. "Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya," begitu katanya, dalam 'Sebuah Renungan', di pengantar buku Hok Gie (panggilan Arief untuk Soe).
Namun kini, ingatan Arief tentang masa lalunya, perlahan memudar.
Usianya yang semakin senja, pula ditambah dengan riwayat parkinson (kerusakan otak dan saraf progresif yang mempengaruhi sistem motorik tubuh, akibat hilangnya sel-sel otak yang memproduksi dopamin) yang ia miliki, membatasinya untuk beraktivitas di luar rumah.
"Kondisi tua itu yang membuat dia menjadi lemah. Kayaknya sejak lima tahun lalu ya (penyakitnya), saya enggak ingat persis. Saat itu masih belum begitu parah, cuma tangannya yang goyang terus, tapi lama-lama karena tambah usia, susah, istirahatnya jadi kurang," ujar menantu Arief, Dodi Ambardi, kepadakumparan, Kamis (31/5).
Usai pensiun menjadi guru besar di Melbourne University, Arief pulang ke Salatiga. Kendati penyakitnya sudah menyerang sebelum ia pensiun, tapi, kata Dodi, saat itu Arief masih bisa mengurusi kampus. Namun kini, Arief hanya bisa menghabiskan aktivitasnya, termasuk berobat jalan di rumah.
"Sudah pensiun, pulang, ya sudah tinggal di rumahnya yang lama. Sakitnya yang lama itu habis pensiun. Sebelum pensiun saat itu masih bisa bolak-balik ke Melbourne, barulah setelah dua atau tiga tahun terakhir, enggak bisa ke Melbourne," tutur Dodi.
"Kalau parkinsonnya di rumah saja karena enggak bisa diapa-apain, cuma kemudian kalau ada gangguan lain seperti nafas, ya ke rumah sakit," sambungnya.
Memori yang semakin menurun, diakui Dodi, membuat kebiasaan Arief sedikit terhambat. Misal, sejak 2010, Arief menolak untuk menerima tawaran menulis. Arief berkukuh, menulis membutuhkan tanggung jawab besar. Peristiwa yang dilengkapi fakta dan data, harus diingat-ingat betul olehnya.
"Menulis bukan karena dia enggak mau, tapi memorinya enggak mendukung. Tahun 2010, terakhir ada orang yang meminta tulisannya. Biasanya dulu kalau diminta dia akan cepat menulis, tapi waktu itu dia bilang susah untuk menulis, karena enggak bisa menulis tanpa ingat peristiwa kecilnya," ungkap Dodi.
Arief juga hanya bisa diwawancarai seputar kesehariannya. Jika ditanya perkembangan politik mutakhir, kondisi kesehatannya sudah tidak mendukung. Itupun, dikatakan Dodi, jika sedikit menyinggung masa lalu, para wartawan paling-paling hanya bisa merekonstruksi peran Arief semasa jadi aktivis angkatan '66 dulu.
Ada beberapa peristiwa-peristiwa besar yang masih diingatnya. Semisal, ia masih bisa mengulang semasa Taman Ismail Marzuki didirikan. "Kemudian detailnya, interaksi dia dengan Ali Sadikin, dengan Gunawan Muhammad, dan teman-teman yang mengusulkan TIM itu dia sudah enggak ingat," kata Dodi.
Sejak mahasiswa, Arief memang sudah bergaul dengan seni dan sastra. Bahkan ia juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, meminta DKJ --sebagai lembaga semi pemerintah-- untuk memajukan budaya Jakarta, salah satunya melalui TIM. Berbekal dari sini, tokoh-tokoh dengan pemikiran baru nan kritis pun bermunculan.
Bahkan Arief menjadi salah seorang yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada 1963. Manikebu, memang digagas oleh para seniman dan cendekiawan saat itu, sebagai pernyataan sikap terhadap tekanan politik dan ideologi dalam berseni oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) --yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)--.
Lekra menganggap bahwa seni, merupakan salah satu instrumen untuk menyuarakan gema revolusi. Sementara Manikebu tetap menginginkan hakikat seni untuk seni yang mampu mencari jalan untuk menyentuh sisi kemanusiaan. Perdebatan ini menjadi berat sebelah mengingat pada tahun 1964 Soekarno menganggap Manikebu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.
Sayangnya, di usia senjanya kini, keterbatasan untuk mengingat, menghambat Arief Budiman untuk kritis pada isu-isu terkini
Pernah, dalam beberapa tahun terkahir karena penyakitnya, Arief menolak saat novelis Ashadi Siregar memintanya untuk menulis tentang protes anti-TMII (Taman Mini Indonesia Indah). "Dia bilang, 'saya ingat, dulu pernah bersama tapi saya lupa. Jadi enggak bisa menulis, kalau saya lupa, bagaimana saya menulis?' tutur Dodi, mengingat gaya bicara Arief.
Jauh sebelum lupa, Arief sudah mengabadikan ingatannya dalam tulisan-tulisan. Saat itu, ia pernah menulis persoalan Soeharto yang membela istrinya, Tien, mengenai pembangunan TMII. Dalam bukunya berjudulKebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005, Arief menyinggung Ibu Tien yang menggusur tanah rakyat untuk mendirikan TMII.
Soeharto agak keras terhadap orang-orang yang memprotesnya atau menyinggung Bu Tien. Kata Arief, Soeharto sampai-sampai memerintahkan aparat untuk menahan 4 orang pendemo selama satu bulan.
"Tapi, hal ini masih dimaklumi, karena demonstrasi tersebut menyinggung pribadi Ibu Tien, dan ini membuat Soeharto marah. Soeharto memang dikenal sensitif bila keluarganya diusik," tutur Arief dalam bukunya.
Sikap kritis dan berani yang dimilik Hok Djin dan Hok Gie, tentu mencermikan betapa kaum intelektual muda pada masanya begitu diperhitungkan. Tak peduli soal ingatan yang kian pudar.