Keluh Kesah ParaSingle Momdi Indonesia

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising


Menjadi seorang wanita tidak pernah mudah. Menjadi seorangsingle mom, lebih tidak mudah lagi. Setidaknya itulah pengakuan beberapasingle momyang tergabung dalam komunitas Single Moms Indonesia (SMI).

Single momtidak sendirian

Seorangsingle mommenuturkan, situasi yang pelik sebenarnya sudah mulai timbul sejak gugatan cerai dilayangkan ke meja hijau. Di masa itu, hujatan dan penghakiman kerap dialamatkan pada pihak perempuan. “Mereka bilang, ‘Mbok ya diperbaiki dulu rumah tangganya.’ Padahal mereka tahu apa, sih tentang rumah tangga saya?”

Yang terjadi kemudian, para wanita ini merasa tersudutkan. Mereka juga acap kali merasa sendirian. Seperti dialami Maureen Hitipew, salah satu pendiri SMI. Ketika proses penceraiannya bergulir pada 2010 silam, ia merasa teman-temannya tak benar-benar memahami perasaannya. Itu terjadi karena mereka tidak mengalami masalah yang sama dengan Maureen. “Saat itu saya sadar, saya butuhsocialsupport. Saya butuh orang-orang dengan pengalaman sama yang akan membuat saya tidak merasa sendirian,” buka Maureen.

Pada 2014, Maureen mendirikan SMI. Semata hanya karena ia tidak ingin ada wanita lain merasakan kegundahan serupa. Lewat komunitas ini, parasingle mombisa berbagi cerita, berbagi pengalaman, saling memberi masukan, tanpa tendensi apa pun. “Tapi, sebetulnya tidak cuma para ibu yang tidak lagi merasa sendiri, lo. Anak-anak kami juga,” Laila Sofianty, salah seorang pengurus SMI menambahkan. “Saya pernah mendapat pertanyaan dari anak, ‘Si Anu (anak dari anggota SMI lain) tidak punya ayah?’ Saya bilang iya, dan dia kemudian diam. Tapi, saya tahu, dia tidak lagi merasa sendirian,” imbuhnya.

Single mombisa bahagia

SMI rutin menggelar pertemuan. Menghadiri pertemuan, parasingle momhampir pasti membawa perasaan yang tidak mengenakkan. Terutama jika ia anggota yang baru bergabung. Dalam penggambaran Maureen, “pemula” biasanya masih emosional. Mereka masih mempertanyakan kenapa bisa menjadisingle mom.

Dalam pertemuan Minggu (14/8) yang kami datangi, hadir pakar Art Psychotherapy Mutia Ribowo, Sds, MA. Sebuah pertanyaan diajukan olehnya membuka banyak keresahan. “Ibu-ibu yang datang ke sini, kira-kira punya kondisi psikologis yang seperti apa?” tanya Mutia. Sedih,down, putus asa, trauma,hopeless, satu persatu terucap sebagai jawaban.

Berdasarkan hal tersebut, Mutia menyimpulkan bahwa semua orang yang hadir dalam pertemuan masih butuhrelease, sebuah proseshealing. Kumpul-kumpul dan berbagi cerita cukup memberi kekuatan, namun tidak cukup untuk menyembuhkan. “Seorang konselor atau ahli tetap dibutuhkan,” ujar Mutia yang pada kesempatan hari itu mengajak para single mom me-releaseperasaannya lewat dua buah gambar telapak tangan berjudulpastdanfuture. Masing-masing gambar diisi cerita-cerita pengalaman masa lalu dan harapan di masa depan setiapsingle mom.

Setelah prosesreleasemenghasilkan kelegaan,single mombisa melakukan sesi konseling khusus untuk mencapaihealingyang diinginkan. Maureen menyebut hal ini kelak sebagai prestasicum laudeanggotanya. “Bisa dibilang, ia telah lulus,” bilang Maureen. Apa kelulusan ini termasuk pilihan untuk menikah lagi dan berhenti menjadi single mom? Singkat Maureen berkata, mengapa tidak? “Namun, goal kami yang paling utama di SMI adalah menjadisingle momyang bahagia dulu. Sudah sembuh dari luka-lukannya dan berbangga dengan dirinya. Kalau jodoh, kan di tangan Tuhan?” pungkas Maureen.

(wida/gur)