Rencana Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengevaluasi tarif batas bawah angkutan udara usai Lion Air jatuh di perairan Karawang, Senin lalu mendapat respons positif. Sekertaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto menyebut wacana ini cukup masuk akal mengingat industri penerbangan merupakan bisnis yang padat modal.
“Industri ini sangat sensitif terhadap nilai tukar rupiah, serta fluktuasi harga bahan bakar avtur. Jadi usulan kenaikan merupakan usulan yang masuk akal,” kata Agus kepada reporterTirto, Jumat (2/11/2018).
Namun demikian, kata Agus, usulan itu juga harus ditinjau terlebih dahulu baik dari sisi konsumen maupun kepentingan industri penerbangan. Menurut Agus, jangan sampai layanan serta jaminan terhadap keselamatan tidak mengalami peningkatan saat tarif dinaikkan.
“Me-reviewulang tarif batas bawah juga dibutuhkan guna menghindari terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Ujung-ujungnya dikhawatirkan maskapai akan melakukan penghematan biaya operasional yang mungkin dapat berdampak pada sisi keselamatan penerbangan,” kata dia.
Agus juga menekankan pentingnya perbaikan pelayanan, terutama dalam hal penundaan jam berangkat pesawat (delay). Pengawasan serta sanksi yang diberikan kepada operator maskapai, kata Agus, perlu diperkuat agar konsumen tidak dirugikan dengan masalah yang kerap berulang tersebut.
“Delaypesawat memang sudah diatur dalam Permenhub 89 tahun 2015. Tetapi itu lebih kepada kompensasi untuk konsumen, sedang sanksi bagi maskapai yang sering melakukandelaybelum diatur secara spesifik,” kata Agus.
Hal senada diungkapkan Alvin Lie, anggota Komisi V DPR RI periode 1999-2004 yang membidangi perhubungan. Menurut dia, besaran tarif yang dipatok kepada setiap penumpang memang punya dampak terhadap faktor keselamatan. Hal ini yang membuat pemerintah akhirnya menerapkan standar tarif batas atas dan batas bawah maskapai penerbangan domestik.
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 14 Tahun 2016 [PDF], batas yang menentukan harga penjualan tiket itu dievaluasi berdasarkan berbagai komponen, seperti jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tambahan.
Nilai tarif batas bawah juga dievaluasi setiap tahunnya jika terjadi situasi yang mempengaruhi operasional industri penerbangan. Menurut Alvin, beleid itu dibuat untuk mencegah persaingan harga tak sehat antarmaskapai di Indonesia. Jika tidak diatur, mustahil perusahaan seperti Lion Air dapat bersaing dengan perusahaan besar yang telah eksis lebih dulu.
Jika ingin bertahan, kata Alvin, maskapai kecil tersebut harus melakukan efisiensi yang berdampak pada faktor keselamatan penumpang.
“Kalau saling banting harga, hanya yang besar yang bisa hidup, yang lainnya mati. Dan ketika airlines itu mengalami kerugian berat, ada dugaan untuk juga melakukan pemotongan biaya termasuk biaya perawatan pesawat,” kata Alvin.
Menurut Alvin, sudah dua tahun ini pemerintah tidak melakukan evaluasi tarif batas bawah maskapai di Indonesia. Padahal, harga bahan bakar pesawat terus melambung dan nilai tukar rupiah terhadap dolar terus mengalami pelemahan.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Alvin, "tentunya mereka juga mengalami kesulitan untuk menjalani kedisiplinan dalam perawatan pesawat." “Ya, jadi ada godaan ke sana, karena kalau enggak ada duitnya gimana [mau perawatan]” kata pria yang juga komisioner Ombudsman RI ini.
Kekhawatiran Alvin soal tarif batas bawah yang tak kunjung dievaluasi sebenarnya telah mengemuka sejak tahun lalu. Saat itu, Alvin beberapa kali mempertanyakan rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi tarif seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Dirjen perhubungan udara juga mengatakan bahwa ini sudah saatnya ditinjau kembali batas bawah dan batas atas. Karena teman-teman di Air Line itu sudah teriak-teriak. Dengan kondisi seperti ini kalau tidak ditinjau kembali mereka berdarah darah. Rugi berat,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Sekjen Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Tengku Burhanuddin. Menurutnya, beberapa maskapai menggelontorkan dana operasional 30-40 persen untuk kebutuhan bahan bakar. Selain itu, maskapai juga perlu mengeluarkan biaya untuk premi asuransi, penyewaan pesawat, dan lain-lain.
Burhan mengakui, beberapa maskapai di Indonesia memang dapat meraup laba tambahan dari selisih kurs untuk rute penerbangan internasional. Namun, selisih kurs itu tidak cukup menolong keuangan perusahaan yang pendapatannya terkuras untuk konsumsi bahan bakar.
Oleh karena itu, Burhan mengapresiasi jika pemerintah mengambil langkah menaikkan tarif batas bawah di tengah gencarnya tekanan dolar terhadap rupiah.
"Kan enggak semua punya rute internasional. Dan kami, kan, bicara tarif ekonomi untuk penerbangan domestik," kata mantan pegawai Sales and Service Garuda Indonesia tersebut. Baca juga artikel terkaitLION AIR JATUHatau tulisan menarik lainnyaHendra Friana