Kenapa Ada Tokoh yang Kebal Cancel Culture?
Deddy Corbuzier (Foto: Tomi Tresnady / Uzone.id)
Uzone.id- Dengan perkembangan teknologi media sosial dalam beberapa tahun ini sudah muncul gagasan bahwa seseorang bisa dienyahkan.
Dengan kata lain, secara budaya seseorang itu bisa dihalangi untuk memiliki platform media sosial atau punya karier cemerlang di mata publik.
Munculnya cancel culture atau budaya pengenyahan ini sebetulnya sudah ada sejak dulu. Seorang selebritas atau tokoh masyarakat bisa dienyahkan karena kelakuannya sudah tidak bisa ditoleransi.
Netizen lalu membuat seruan di media sosial atau situs terkenal untuk menggalang dukungan, Change.org, untuk mengakhiri karier seseorang secara efektif. Itu bisa dilakukan dengan cara boikot terhadap pekerjaan mereka.
BACA JUGA:Ponsel Gaming Infinix Note 11 Series Meluncur 24 November 2021
Banyak yang berpendapat bahwa menyerukan pertanggungjawaban secara publik dan melakukan pemboikotan dianggap bisa berhasil jika cara-cara lain tidak bisa bekerja.
Media sosial juga dianggap punya kekuatan seimbang dalam memerangi tokoh-tokoh yang memiliki platform dengan pengikut jutaan orang.
Ada yang menarik ketika Konvensi Nasional Partai Republik 2020, banyak pembicara termasuk Presiden Donald Trump saat itu membahas cancel culture atau budaya pengenyahan secara langsung, alih-alih berbicara kebenaran terhadap kekuasaan.
Satu resolusi dari mereka menggambarkan budaya pengenyahan itu sebagai "tumbuh menjadi penghapusan sejarah, mendorong pelanggaran hukum, membungkam warga, dan melanggar pertukaran ide, pikiran, dan ucapan secara bebas".
Dampak Media Sosial
Pengamat industri hiburan Amazon Dalimunthe mengatakan bahwa budaya pengenyahan ini merupakan dampak dari adanya media sosial.
Menurutnya, media sosial punya kekuatan sendiri untuk menyuarakan sesuatu.
Soal mengapa budaya pengenyahan ini muncul, Amazon menilai rata-rata media sosial itu kan lebih banyak berbicara mengenai hal-hal yang positif.
"Nah, jadi ada kebutuhan dari masyarakat ingin menyuarakan itu kan tidak mungkin sendirian, maka berkelompok lah mereka. nah, kebetulan difasilitasi lah lewat platform seperti Change.org dan lain-lain dan disebutlah cancel culture," kata Amazon saat dihubungiUzone.id, Sabtu (21/11/2021).
Pria yang juga berprofesi sebagai wartawan ini lalu bercerita ketika era di mana media sosial belum berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini.
"Kita dulu menyebutnya bukan cancel culture tapi boikot. Begitu ada artis atau promotor yang katakanlah bertindak tidak sewajarnya maka kita bisa memboikot sebetulnya. Saat itu tidak ada media sosial, cancel culture ini kan ada setelah ada media sosial, kita boikot dalam hal pemberitaan," kata Amazon.
Amazon lalu mengingat peristiwa yang terjadi di dunia hiburan tahun 2000-an. Saat itu, artis yang sekarang jadi anggota DPR RI, Desy Ratnasari pernah diboikot wartawan gara-gara tidak pernah mau memberikan komentar kepada wartawan.
Artis yang pernah dijuluki Miss No Comment itu diboikot wartawan hingga nyaris tidak ada pemberitaan mengenai dirinya.
BACA JUGA:Telkomsel Cari Lagi Startup Lokal di Tinc Batch 7 untuk 6 Bidang Ini
"Kita memboikot Desy Ratnasari. Tidak ada pemberitaan soal Desy Ratnasari. Itu sebetulnya cancel culture tadi dari segi media," kata dia.
Saat itu masyarakat tidak punya sarana untuk melakukan budaya pengenyahan, sehingga media dianggap jadi wakil dari mereka. Dengan adanya boikot oleh media dianggap bisa mematikan karir si artis atau tokoh.
Namun, berbeda dengan artis Ayu Ting Ting yang tampaknya tidak mempan dienyahkan secara budaya oleh netizen. Meskipun, ibu satu anak itu sudah berkali-kali diboikot oleh netizen.
Amazon berpendapat, Ayu Ting Ting tidak pernah berhasil masuk lubang cancel culture karena gerakan netizen yang melalukan pemboikotan tidak terlalu masif, baik itu di media sosial atau lewat Change.org.
Cara yang paling efektif bagi netizen untuk melakukan budaya pengenyahan kepada tokoh adalah dengan unfollow atau unsubscribe media sosial si tokoh tersebut.
"Itu yang memukul si artis, tapi selama ini walau tidak disukai unfollow-nya kan katakanlah kasus Deddy Corbuzier dianggap menghina para santri. Kan Deddy Corbuzier tuh katakanlah 1 juta orang unfollow. Nah, 1 juta orang itu dibanding belasan juta yang jadi follower-nya atau jadi subscriber-nya itu jadi gak ngaruh," tutur Amazon.
Kemudian, ada lagi cara yang efektif yakni melalukan report atau spam besar-besaran jika di Twitter.
"Report, spam di Twitter cepat membunuh Denny Siregar, Abu Janda gitu kan. Itu kan terjadi di Twitter, tapi kan perang di Twitter berbeda dengan yang di dunia maya lainnya," kata dia.
Perlu tidaknya budaya pengenyahan diterapkan oleh masyarakat, Amazon memandang perlu karena bisa dijadikan kontrol sosial terhadap pandangan seseorang yang dianggap menyimpang.
"Sekarang diperlukan kekuatan media sosial atau sarana lain yang lebih kuat, salah satu yang paling efektif itu unfollow. Misalnya ramai-ramai unfollow, misalnya langsung 11 juta (unfollow). Itu efektif," katanya.
Namun, Amazon tampaknya masih melihat masyarakat Indonesia masih masa bodoh terhadap budaya pengenyahan ini.
"Seberapa ada waktunya sih para anggota masyarakat, yang tadinya subscribe terus unsubscribe itu males banget gitu lho," tutup dia.
Untuk contoh di luar negeri misalnya, penulis Harry Potter, J.K. Rowling, pernah dikritik keras dari penggemar setelah dia mulai menyuarakan keyakinan transphobic.
Itu menjadikan J.K. Rowling salah satu tokoh paling menonjol yang kena cancel culture. Namun, setelah publikasi J.K. Rowling pada Juni 2020 mengenai manifesto transfobia, penjualan buku karyanya malah meningkat pesat di Inggris Raya.
BACA JUGA:Pasar Smartphone Indonesia Turun 6 Persen
Muncul Tahun 2014
Departemen Kajian Strategis DEMA Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pernah menggelar diskusi berjudul "Cancel Culture : Membahayakan atau Menyelamatkan?" pada bulan Maret 2021 dan dimuat di situs resmi universitas tersebut.
Dr. Yunita Faela Nisa dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta mengatakan bahwa perilaku apapun di dunia maya tetap harus menjunjung etika.
"Pertimbangkan ketika Anda semua melakukan sesuatu di dunia maya, like, comment, share, apalagi melakukan cancel culture. Ukurannya adalah apakah bermanfaat, apakah akan menimbulkan kebencian, apakah mengganggu oranglain? Ini harus jadi pertimbangan” kata dia.
Amelinda Pandu Kusumaningtyas, S.Sos., Project Officer Department Research Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada, menjelaskan fenomena cancel culture sudah muncul sejak 2014, namun baru akrab di telinga masyarakat Indonesia pada tahun 2019.
Awalnya, kata Amelinda, gerakan ini disampaikan oleh orang berkulit hitam dengan tujuan menyuarakan diskriminasi yang mereka alami di tempat mereka kerja.
"Namun, seiring berjalannya waktu, cancel culture mulai mengarah pada hal yang lebih bersifat negatif. Fenomena ini di Indonesia juga umumnya berkonsentrasi di Pulau Jawa dan dialami juga dilakukan oleh masyarakat urban yang memiliki akses internet," kata dia.