Kerbau adalah Barang Mahal di Tana Toraja

pada 6 tahun lalu - by

Simon Bale memamerkan kerbau belang miliknya. Di kampungnya, Tanete Rantepao, Tana Toraja, kerbaunya istimewa. Kerbau Simon pernah masuk dalam layar kaca salah satu stasiun teve swasta. Beberapa tahun silam ada yang menawarinya hingga Rp700 juta. Tawaran itu ditampik, karena keluarga masih emoh. Simon mengeluarkan kerbaunya dari kandang ke pekarangan tongkonan milik keluarganya untuk diperlihatkan kepada saya.

"Harga kerbau sekarang ini kalau saya mau lepas … sudah … saya lepas kalau Rp600 (juta)," kata Simon.

Jika terjual Rp600 juta, Simon hendak membeli kerbau-kerbau biasa berwarna hitam. Tak lupa Simon menunjukkan tanda-tanda istimewa kerbaunya kepada saya, termasuk pada bagian leher yang memperlihatkan gambar mirip manusia. Berat kerbau Simon diperkirakan ratusan kilogram. Tapi berat kerbau bukan segala-galanya di Tana Toraja.

“Bukan dari ukurannya kalau kerbau begini. Tandanya yang mahal. Bukan kebesarannya yang dilihat. Hanya tanda-tanda kerbau,” kata Simon.

Orang Toraja yang tahu tanda-tanda itu nyaris seketika mengenai kerbau Simon adalah kerbau yang mahal. Menurut budayawan Otto Mitting, orang Toraja mengenal 24 jenis kerbau—berdasarkan corak pada tubuh kerbau. Selain gambar, bentuk, dan warna, tanduk kerbau juga memengaruhi harga. Dalam bahasa Toraja, kerbau disebut tedong.

Kerbau milik Simon tergolongtedongsaleko. Kerbau putih dengan belang hitam. Kebalikan daritedongsaleko, ada kerbau hitam dengan belang putih yang disebuttedong bonga. Kerbau macam ini banyak beredar. Hargatedong bongabisa ratusan juta, sementaratedongsaleko bisa satu miliar rupiah.

Tentu ada jenis kerbau yang harganya rendah dan tidak laku di pasaran; misalnyatedong bulanberwarna putih cerah tanpa belang dantedong sambaoyangberwarna abu-abu sepertikebo bule.

“Makanannya yang teratur. Dua keranjang (rumput) satu hari. Cucinya dua kali satu minggu,” kata Simon, yang biasanya memandikan kerbau dengan sabun dan dilap dengan handuk. Kerbau ini tak biasa kotor. Beberapa kali kerbau Simon tampak risi ketika berdiri di tempat becek.

Tempat jual beli kerbau terdekat berada di di Pasar Bolu. Dari kampung, Simon perlu ongkos sekitar Rp250.000 untuk ke pasar tersebut. Ditambah harus bayar retribusi Rp10.000 untuk nangkring seharian di pasar. Karena mahal inilah Simon biasanya hanya menunggu ada yang menelepon jika ada yang berminat.

Pasar Bolu memang jadi tempat kerbau punya nilai tukar. Kerbau hitam biasa bisa bernilai antara belasan hingga Rp20 juta. Kerbau-kerbau ini akan berakhir di tanganpattinggoro alias penjagal dalam acararambu' solo.


Arti Penting Kerbau dalam Masyarakat Toraja

Beberapa kerbau, meski bukan kerbau petarung, tak jarang diadu sebelum disembelih dalam acara rambu solo. Adu kerbau adalah satu paket dalam prosesi kematian masyarakat Tana Toraja tersebut. Tapi tak semua rambu solo ada adu kerbau. Dalam rambu solo di masa lalu, menyembelih 24 ekor kerbau sudah dianggap sah untuk kalangan bangsawan. Dan sebetulnya tidak perlu lebih. Di bawah bangsawan, 12 ekor kerbau sudah dianggap banyak.

Kerbau adalah binatang penting dalam kehidupan orang Toraja. Bersama kerbau pula budaya Toraja terbentuk seperti sekarang. Atap rumah adat Toraja—yang disebuttongkonan—kini terlihat, mirip dengan rumah adat Batak dan Minangkabu, bak tanduk kerbau.

Kerbau-kerbau dalam rambu solo biasanya disediakan oleh pihak keluarga secara gotong-royong. Tak jarang ada orang lain yang membawa kerbau atau babi ke keluarga duka. Pihak yang berduka akan mengganti kerbau itu pada kesempatan acararambu sololain. Inilah yang disebut “utang kerbau.”


Dalam acara rambu solo, kerbau akan dipotong oleh seorangpatinggoro. Cara memotong kerbau ala Toraja, membiarkan satu kakinya terikat, adalah dengan menebas secepat mungkin.Pattinggoro biasanya tergolong "orang sakti" di kalangan masyarakat. Alat potongnya tak sebesar tukang jagal hewan kurban dalam agama Islam. Biasanya,patinggoro menerima bagian hewan yang cukup banyak. Dalam satu acara rambu solo, ada beberapapatinggorountuk memotong kerbau yang jumlahnya puluhan.

Kerbau yang sudah disembelih biasanya dikuliti beramai-ramai, lalu dibagikan ke para kepala kampung, tokoh adat, dan masyarakat sekitar. Biasanya bersama potongan-potongan daging babi yang sudah dibersihkan kulitnya. Pihak gereja pun dapat bagian potongan kerbau. Pihak pemerintah, baik daerah serta desa, juga menerima bagian dari pajak hewan, Rp200.000 per ekor kerbau dan Rp140.000 per ekor babi.

Tak hanya dalam rambu solo, dalam beberapa acara lain termasukmanene—mengganti pakaian jenazah yang sudah meninggal tiap tiga tahun—pemotongan kerbau pun digelar. 

Setidaknya, sejak 1.000 tahun sebelum Masehi, kerbau sudah masuk ke wilayah yang kini disebut Indonesia. Menurut Gusti Asnan dalamKamus Sejarah Minangkabau(2003: 138), hewan hasil domestifikasi ini berasal dari India atau Thailand. Selama ribuan tahun, peran kerbau kian penting dalam masyarakat-masyarakat Indonesia.

Kerbau jadi idiom penting dalam dalam cerita Eduard Douwes Dekker lewat Max Havelaar(1860), yang belakangan difilmkan dengan judul sama. Di situ digambarkan bagaimana seekor kerbau menunjukkan keberanian menanduk seekor harimau Jawa. 

“Dengan berpasang demikian sambil menghimpun suatu kekuatan, kerbau dapat menaklukkan harimau,” seperti dikutip J. Kreemer dalamKerbau, Manfaatnya untuk Rakyat Indonesia(1985). Lepas dari soal melawan harimau, kerbau punya jasa dalam membajak sawah. 

Dalam masyarakat Tana Toraja, kerbau punya nilai istimewa. Martabat kerbau melebihi babi. Jika kerbau hitam (balian) dianggap biasa saja, kerbau belang dengan warna dasar putih punya nilai jual lebih. Tapi kerbau dengan warna putih polos tak bernilai di Tana Toraja. Ini agak berbeda dari masyarakat di Jawa. Di Pasundan, “Sembilan dari sepuluh kerbau itu putih,” ujar Thomas Stanford Raffles seperti dikutip Kreemer.
Baca juga artikel terkaitRAMBU SOLOatau tulisan menarik lainnyaPetrik Matanasi