Kesaksian Pendaki saat Gunung Rinjani Diguncang Gempa 6,4 SR
PendakianGunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhir pekan lalu menjadi tak terlupakan bagi M. Bagus Novandi. Pria 23 tahun asal Bogor, Jawa Barat itu untuk pertama kalinya mendaki gunung. Namun pendakian perdananya itu justru berbuah trauma mendalam.
Semua bermula saat ia akan menyudahi pendakian yang dilakukannya selama tiga hari dua malam ada Minggu pagi (27/7). Saat itu ia bersama dua orang rekan kerja, dua orang porter, dan satu pemandu (guide).
Saat selesai berbenah dan hendak turun, tiba-tiba gempa bumi berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) mengguncang Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB, termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Seketika batu-batu besar meluncur dari puncak gunung bersama longsoran tanah.
"Saya langsung tidak bisa berpikir, lemas, pasrah," ucapnya di Rumah Sakit Lapangan yang berlokasi di Rest Area Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Selasa (31/7).
Pria yang bekerja sebagai staf Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu bersama kelompoknya pun langsung berusaha mencari tempat aman untuk berlindung. Pemandu yang disewanya kemudian mengarahkan mereka ke Batu Ceper, salah satu titik di pendakian. Titik itu, katanya, memiliki batu besar yang bisa digunakan untuk tempat berlindung.
Lihat juga:Jenazah Pendaki Gunung Rinjani Dievakuasi |
Setelah jatuhan batu dan tanah longsor pertama mereda, rupanya bukan saat yang tepat untuk melanjutkan perjalanan turun. Sebab, hanya dalam hitungan menit, gempa kembali menggoyang kawasan gunung tertinggi keenam di Indonesia itu.
Akhirnya, kelompok memutuskan untuk menuju Danau Segara Anakan, sebuah danau yang terletak di tengah kawasan pendakian. Tak hanya kembali untuk mencari tempat aman, mereka ke sana juga karena logistik seperti makanan dan minuman sangat terbatas. Persediaan logsitik yang dibawa ala kadarnya itu dikhawatirkan tak bisa membuat mereka bertahan lama.
Setelah bolak-balik Batu Ceper-Segara Anakan dalam dua hari dua malam, barulah keesokan harinya, bantuan dari Badan SAR Nasional (Basarnas) datang. Tim SAR tiba dengan helikopter yang akan menjemputnya keluar dari kawasan pendakian.
Meski selamat dan kini menjalani perawatan, namun pengalaman mencekam dalam pendakian itu membuat Bagus tak berhasrat lagi menapakkan kaki pada pendakian gunung.
"Ini pengalaman pertama dan kenangan terbesar bagi saya. Rasanya untuk wisata alam, mungkin saya tidak kapok, tapi untuk naik gunung, rasanya tak akan lagi," katanya.
Senada dengan Bagus, Erlyn Halimatu Syadiah, rekan sekelompoknya juga tak ingin lagi mendaki gunung. Bagi perempuan 26 tahun itu, trauma mendalam terlanjur mengubur keinginannya untuk naik gunung, meski sekali lagi.
"Lain kali kemallsaja deh," ujarnya sembari menghela nafas.
Baginya, gempa bumi memang menjadi salah satu bencana alam yang paling ditakutinya. Sebab ia sudah beberapa kali mengalaminya.
"Waktu kemarin merasakan gempa di Jakarta saja, itu sudah syok, apalagi ini gempa di gunung, batu berjatuh-jatuhan, debu semuanya," katanya histeris.
Berbeda dengan kedua rekannya, Suharti (45), yang juga bekerja di LKPP dan satu kelompok dengan Bagus dan Erlyn, pengalaman gempa di Gunung Rinjani tak akan menyurutkan ketertarikannya untuk naik gunung lagi. "Insya Allah tidak," ucapnya sembari tersenyum.
Baginya, meski pengalaman pahit ini sempat membuatnya trauma karena terjebak di kawasan Gunung Rinjani dan menjadi kelompok pendaki terakhir yang berhasil dievaluasi Basarnas, akan tetapi tak akan mengakhiri semangatnya mendaki gunung.
"Tapi memang ini mungkin menjadi trauma, apalagi ketika harus menyaksikan longsoran batu ketika kami mengarah ke Senaru. Namun, pertolongan dari tim SAR, membuat saya masih yakin bisa selamat," ujar Suharti.