Kisah Perantau Suku Bugis di Kampung Tadah Hujan Jakarta, Air Sangat Mahal

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Kampung Nelayan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara yang terletak di pesisir utara samping dermaga Kamal Muara memiliki keunikan tersendiri. Mayoritas dari mereka berasal dari suku Bugis, Sulawesi.

Secara fisik, bangunan di Kampung Kamal Muara tak berbeda jauh dengan kampung nelayan pada umumnya. Beberapa rumah panggung dengan tiang pancang setinggi 1,5 meter masih tersisa.

Dikolong rumah berhamburan cangkang kerang hijau yang menjadi tempat mereka memilah hasil melaut semalaman.

Kampung Tadah Hujan Muara Kamal, Jakarta. (Suara.com/Tyo)

 

"Bapak malam melaut, siang kami kumpul sambil milihin kerang terus dijual," kata Ida, salah satu warga.

Rumah panggung ini menjadi saksi bisu sebelum pemerintah membangun tanggul laut untuk mengadang air rob, dan membangun rumah-rumah di atas tanah.

Ketua RW 04, Sudirman bercerita, suku Bugis yang memiliki jiwa seorang pelaut merantau pakai kapal Pinisi sampai ke Jakarta untuk mencari lahan baru, singkat cerita bersandarlah mereka di Kamal Muara.

Kampung Tadah Hujan Muara Kamal, Jakarta. (Suara.com/Tyo)

 

Namun, Sudirman tidak tahu pasti kapan pertama kali suku Bugis menginjakan kaki pertama kali di Kamal Muara.

Menurut sejarah, pada 1960-an Kampung Kamal Muara merupakan pantai dengan hutan bakau. Memasuki 1970-an, gelombang kedatangan perantau Suku Bugis asal Sulawesi Selatan mulai berdatangan.

"Saya lahir disini, tapi suku Bugis, sampai hari ini 80 persen di kampung ini berasal dari Bugis, sebagian besar berasal dari daerah Wajo dan Bone di Sulawesi Selatan," jelasnya.

Sisanya bersuku Betawi, Jawa, Sunda, dan suku lainnya di Indonesia. Akulturasi budaya yang terjadi membuat bahasa mereka kebanyakan tercampur antara loe-gue dengan iya-idi/iko (aku-kamu).

Kampung Tadah Hujan Muara Kamal, Jakarta. (Suara.com/Tyo)

 

Bahkan untuk kegiatan masyarakat seperti penikahan, warga suku Bugis disini masih mempertahankan tata cara pernikahan Bugis dengan Coto Makassar dan Tumbuk sebagai hidangannya.

Keberagaman budaya ini tak membuat mereka sering bersinggungan masalah sosial, kesamaan profesi sebagai nelayan membuat mereka kompak membangun Kampung Kamal Muara.

Tadah Hujan

Sudirman mengatakan awalnya warga sempat menggunakan air tanah dari sumur bor, pada waktu itu meski air payau tapi masih bisa digunakan untuk sekadar mencuci dan masak, belakangan air tersebut berubah menjadi asin dan keruh.

"Sekitar 2003 itu kalau enggak salah, kami masih ada yang pakai air tanah, sekarang asin," kata Sudirman.

Untuk mensiasati hal itu, warga menggunakan teknologi air tadah hujan dengan memasang talang paralon di atap rumah untuk mengaliri air hujan ke tandon penampungan.

Tekniknya sederhana, warga memasang paralon panjang disisi atap kemudian disetiap sudutnya dipasang corong dengan selang untuk mengaliri air ke tandon air dibawahnya.

"Air hujan itu langsung dipakai gitu aja, tapi cuma buat nyuci piring, mandi pun kadang gatal-gatal, tidak untuk minum, kalau mau minum ya beli air (PAM/Air Mineral Galon)," terang Sudirman.

Teknologi ini tidak berfungsi di musim kemarau seperti saat ini, mereka sepenuhnya membeli air dari PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dengan harga Rp 7.000 untuk 5 jerigen (100 liter) air bersih.

Air dari Palyja ini bisa digunakan warga untuk kebutuhan mandi, memasak, minum, dan mencuci.

"Sehari Rp 21 ribu (15 jerigen) saya buat berempat di rumah, dikaliin aja tuh berapa, kalau pakai air sumur baju bisa menguning, apalagi baju anak sekolah," ucapnya sambil tertawa.

Hingga saat ini, warga Kampung Kamal Muara masih menanti pembangunan pipa air dari Palyja yang saat ini pembangunannya baru mencapai wilayah Tegal Alur, sekitar 2 kilometer dari Kamal Muara.

 

Berita Terkait: