Lady Bird, Film (Nyaris) Sempurna Bagi yang Hobi Berantem dengan Ibu

pada 7 tahun lalu - by

Saya ingatkan, Lady Bird bukanlah film tentang perempuan yang satu geng dengan Batman, Spider-Man, apalagi Bird Man. Ia bukan pahlawan super yang dapat terbang ke sana ke mari, bukan pula karakter betina yang akan menjadi jodoh Big Bird dari Sesame Street. Lady Bird adalah sebuah mesin waktu buat saya.

Serius, saya tidak bercanda. Lady Bird berhasil membawa saya kembali ke masa remaja di mana sebagai anak perempuan, salah satu hobi saya adalah bertengkar -- baik hal receh sampai yang dahsyat -- dengan ibu saya sendiri. Hal ini disuguhkan nyaris sempurna oleh Greta Gerwig, sang sutradara sekaligus penulis naskah.

Lady Bird menggunakan latar tahun 2002 di Sacramento, California dengan karakter utama seorang perempuan bernama Christine McPherson. Uniknya, Christine yang diperankan oleh Saoirse Ronan ini menamakan dirinya sendiri dengan sebutan Lady Bird. Kenapa? Sayangnya, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Adegan Lady Bird, Foto Los Angeles Times

Lady Bird menghabiskan masa akhir SMA di sebuah sekolah Katolik lokal di sana. Karakter Lady Bird pun bikin nagih. Rambutnya dicat berwarna merah dan penampilannya cuek.

Lady Bird digambarkan sangat dekat dengan ibunya, Marion, yang diperankan oleh Laurie Metcalf, tapi hubungan keduanya bisa dibilang love-hate relationship. Mereka bisa-bisanya menghabiskan waktu tertawa terbahak-bahak di dalam mobil, lalu semenit kemudian berargumen tentang sesuatu yang merembet ke hal-hal lain. Ujung-ujungnya saling teriak, berantem, dan bete-betean.

Film ini diisi oleh drama kehidupan remaja Lady Bird di sekolah dan interaksi sosial lainnya seperti gonta-ganti teman, menghalalkan segala cara agar bisa pacaran dengan anggota band, sampai dibikin stres setengah mati apakah bakal diterima di universitas dambaan atau tidak. Di tengah segala drama dengan sentuhan humor, emosi yang ditampilkan dari Lady Bird dengan ibunya sungguh otentik. Sebagaimana anak remaja pada umumnya, Lady Bird memang haus petualangan baru dengan segala kelabilan yang ada di dalam dirinya, sedangkan Marion adalah individu yang penyayang dan pekerja keras.

Lady Bird, Foto Los Angeles Times

Saya sangat mengagumi betapa detil dan 'mentah' skrip yang ditulis oleh Gerwig, ditambah akting memukau serta chemistry yang real dari Ronan dan Metcalf. Berbagai adegan yang begitu murni antara dua aktris ini sangat relatable. Seperti pertengkaran kecil saat mencoba gaun untuk malam prom hingga berantem hebat saat Lady Bird ketahuan diskors dari sekolah. Belum lagi saat sang ibu mengetahui anaknya akan kuliah di luar kota, yakni New York.

Bagi karakter Marion sang ibu, ada perbedaan tipis antara memberi kritik dan nasihat. Di tengah itu semua, ia tetap seorang ibu yang sewaktu-waktu bisa menggunakan nada tinggi jika ingin menekankan sesuatu atau, simply marah. Sementara Lady Bird, baginya kritik itu seringkali terasa menusuk. Seakan-akan kritik memiliki arti "lo tuh enggak banget".

Dari segelintir pertengkaran Lady Bird dan Marion, penonton --khususnya saya-- dapat secara instan menganggap bahwa terkadang salah satu pihak sudah kelewatan, atau keduanya melakukan kesalahan. Ajaibnya, berkat chemistry dan pendalaman karakter ruarrrr biasa, saya tetap dapat merasakan afeksi dan kasih sayang di antara keduanya. It depicts exactly how mother-daughter's ship actually works without exaggeration.

Saking cintanya sama film ini, saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkan Lady Bird. Otentik, personal, dan on point. Nyaris sempurna pokoknya. Ya mau gimana lagi, kesempurnaan hanya milik yang Di Atas...