Lelah Jadi Orang Dewasa? Tontonlah Christopher Robin

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Mata Anda susah sekali terpejam, padahal dua pertiga malam sudah lewat. Rasa kantuk sebenarnya sudah menendang-nendang dahi Anda, sekujur tubuh juga lemas dibantai kelelahan amat sangat akibat kerja seharian. Tapi, entah kenapa mata Anda masih terbuka dan belum mau diajak tidur. Mungkin, karena pikiran Anda masih bising memikirkan beberapa pekerjaan yang tertunda atau janji pertemuan yang belum tunai.

Anda ingin sekali tidur. Istirahat sebentar. Tapi, kekhawatiran berlebihan akan hari esok akhirnya menang dan bikin mata Anda tetap melek. Mungkin Anda akhirnya akan tetap terjaga sampai pagi, dan harus menyetok bergelas-gelas kafein atau beberapa batang nikotin, agar tetap terjaga sampai malam berikutnya.

Saat masih kanak-kanak, masalah tidur seperti itu pasti jarang sekali Anda hadapi—mungkin nyaris tak pernah. Saat jadi orang dewasa, susah tidur jadi problem keseharian. Masalahnya, jadi dewasa bukan cuma menghadirkan susah tidur. Ia datang sepaket dengan tanggung jawab yang kadang memang bikin sesak napas, tapi mau tak mau harus dijalani agar hidup lebih lancar.


Christoper Robin (Ewan McGregor) dalamChristopher Robinmenggambarkan proses menjadi dewasa dengan sempurna. Hidup dewasanya dimulai ketika dikirim sang ayah ke sekolah asrama. Ia harus jauh dari rumah dan belajar mandiri. Konon tinggal jauh dari orangtua akan membuatmu lebih disiplin, dan disiplin katanya bisa membuat hidupmu lebih baik. Sebelum pergi, Christopher Robin terpaksa berpisah dengan kawan-kawannya di Hundred Acre Wood—sebuah tempat yang kelak dikira Robin dewasa sebagai hutan imajiner belaka.

Saat itu, ia yakin tak akan pernah lupa dengan mereka: Winnie the Pooh (Jim Cumming), Tigger (Jim Cumming), Piglet (Nick Mohammed), Eeyore (Brad Garrett), Rabbit (Peter Capaldi), Kanga (Sophie Okonedo), Roo (Shara Sheen), dan Owl (Toby Jones). Christopher Robin cuma terlalu naif untuk sadar jika masa kanak-kanaknya segera berakhir, dan semua boneka-bisa-bicara di Hundred Acre Wood hanya bakal jadi kawan lamanya.

Selang beberapa waktu di asrama, Christopher Robin dijemput ibunya karena sang ayah ternyata wafat. Mendadak tanggung jawab lain bertengger di kepalanya. Seorang pelayat menepuk bahu Christopher Robin dan bilang, “Kau anak laki-laki, kau yang jadi kepala rumah tangga sekarang."

Setelahnya, Christopher Robin harus menyesuaikan diri untuk jadi dewasa. Mulai dari jatuh cinta, mencari pekerjaan, hingga urusan berbakti pada negara. Saat sudah jadi pemuda, ia akhirnya bertemu Evelyn (Hayley Atwell) yang langsung dipersuntingnya. Di awal pernikahan, dan saat Evelyn sudah hamil besar, ia harus rela ikut wajib militer dan baru tiga tahun kemudian pulang, ketika putri semata wayangnya sudah besar. Hidup terus berlanjut, dan sebagai kepala keluarga Christopher Robin harus mencari pekerjaan.



Semua detail itu baru permulaan film saja. Sutradara Marc Forster mengemasnya ringan, dengan sinematografigloomyyang cantik. Tak terburu-buru, lengkap dengan informasi jelas dan rakitan konteks yang terang. Suasana mendung dari hidup membosankan Christopher Robin terbangun dengan baik. Beberapa menit pertama ini nyaris terasa seperti pembukaan filmUp(2009), animasi Pixar yang menjelaskan pertemuan Ellie dan Carl kecil sampai mereka tua.

Adegan diChristopher Robintak semenohok itu. Tapi, emosi yang dibangun cukup berhasil. Kita akan bersimpati pada karakter-karakter di sana, terutama Christopher Robin.

Pasalnya, Forster mendudukkan kita semua sebagai manusia-manusia dewasa yang harus terikat dengan semua aturan dan tanggung jawab yang mendefinisikan sifat dewasa tersebut.

Untuk jadi ayah dan suami yang baik, Christopher Robin harus pandai mencari nafkah. Sementara sebagai pekerja, ia harus loyal dan berdedikasi pada perusahaannya. Agar dianggap berdedikasi, Christopher Robin harus pandai mengambil hati bos, sekaligus tetap ramah pada para bawahan. Sistem hierarki memaksanya demikian, semua semata-mata agar pekerjaan berjalan lancar.

Dua peran itu—ayah dan pekerja—menuntut waktu intens yang akhirnya membuat Christopher Robin harus memilih: mengutamakan pekerjaan atau menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Sebelum istrinya protes karena sang suami terlalu sibuk, Christopher Robin masih berpikir jadi ayah dan suami yang baik sejalan dengan jadi pekerja keras. Itulah yang membuatnya tetap loyal pada perusahaan koper tempatnya bekerja.

Sementara di rumah, anak dan istrinya mulai merasa berjarak dengan sang kepala keluarga.


Kisah hidup Christopher Robin ini mengingatkan kita tentang bagaimana Revolusi Industri mengkapitalisasi hidup manusia, terutama dalam urusan bekerja. Industri pada akhirnya mengubah struktur ekonomi dan budaya manusia untuk jadi serba cepat. Mencari nafkah jadi sebuah keharusan yang dijalankan orang-orang dewasa agar tetap hidup. Awalnya manusia punya pilihan untuk hidup cukup dan tetap punya waktu bahagia bersama kawan atau keluarga. Namun, karena roda industri berputar amat cepat, kita pun merasa tak punya pilihan selain ikut bergerak cepat, meski harus mengorbankan waktu buat keluarga, bahkan diri sendiri.

Christopther Robinberusaha mengingatkan hal itu. Lewat karakter Winnie the Pooh, Christopher Robin akan kembali diingatkan akan sebagian dirinya yang sudah hilang—sebagian dirinya yang dulu lebih menyenangkan.

Dialog antara Pooh dan Christopher Robin adalah bagian favorit saya dari film ini. Sutradara Forster menyiapkan Pooh sebagai renungan reflektif buat sang tokoh utama lewat pertanyaan-pertanyaan retorik sederhana, yang kadang bahkan terdengar konyol.

“Tak ada yang datang dari ketidakadaan, Pooh,” kata Christopher yang baru selesai merepet pada Winnie the Pooh.

 “Kata orang-orang, tak ada yang tak mungkin. Setiap hari aku tak melakukan yang tak ada itu,” balas Pooh, girang.

“Ah, sudahlah, kau tak mengerti.” Christopher Robin pusing.

Simbol Emosi Manusia

Perbincangan Christopher Robin dengan kawan lamanya yang lain juga seru. Terutama Eeyore, si kedelai pemurung. Semua yang keluar dari mulutnya sangat depresif dan pahit. Kadang, saking pahitnya malah terdengar seperti satire dan sindiran, yang anehnya berujung lucu. Sikap pahit Eeyore jadi lucu karena, sebagai orang dewasa, kita semua tahu kalau kalimat depresifnya masuk akal.

DalamChristopher Robin, Forster sangat gamblang menggambarkan para boneka Hundred Acre Wood sebagai simbol-simbol emosi manusia. Selain Eeyore yang melambangkan sifat depresif kita, ada Piglet yang menggambarkan kegelisahan, Tigger yang jadi simbol keriangan dan rasa pantang takut, dan Pooh sendiri yang pandir nan polos.


Semua emosi itu jadi amat penting buat Christopher Robin dalam menemukan dirinya yang lama. Tak cuma itu, Pooh dan kawan-kawan juga membantu Christopher Robin menemukan prioritas apa yang sebenarnya paling penting bagi hidupnya. Piglet, misalnya, dalam sebuah adegan hangat, melempar pernyataan polos tapi menohok. Kurang lebih begini:

“Apa putrimu tak penting?”

“Tentu saja penting, dia yang terpenting dalam hidupku, Piglet.”

“Tapi kenapa kau tidak membawanya? Malah membawa kopermu ke mana-mana?”

Bersama para boneka Hundred Acre Wood, Christopher Robin dewasa akhirnya juga tertawa dan bisa girang lagi. Bahkan Forster menyelipkan adegan mereka terlelap tidur besama-sama setelah sebuah reuni seru. Ini adegan penting menurut saya, karena bikin teringat kalau Christopher Robin dewasa memang tak punya adegan tidur sebelum bertemu Pooh. Kita cuma disajikan kesibukannya bekerja yang memang tampak sangat melelahkan dan berat.

Forster memang tak menyediakan adegan susah tidur seperti yang jadi deskripsi pembuka tulisan ini. Tapi, menonton kesibukan Christopher Robin membuat saya teringat pada malam-malam sulit tidur. Lewat film ini, Disney setidaknya berhasil mengingatkan saya, dan manusia-manusia dewasa sekalian, bahwa tak ada salahnya melihat kehidupan dewasa dari perspektif yang berbeda dan sesekali berani bilang pada diri sendiri:

“Santai sedikitlah.”
Baca juga artikel terkaitWINNIE THE POOHatau tulisan menarik lainnyaAulia Adam