Lintah Darat Masih Meraja di Kota Bandung
Praktik lintah darat di Kota Bandung masih marak. Sasarannya adalah warga kurang mampu yang membutuhkan dana darurat, dana pengobatan, hingga modal usaha.
“Korbannya rata-rata sebanyak 70% sifatnya kebutuhan darurat, untuk pengobatan, sandang, pangan papannya. Untuk data korban dari hasil analisa awal tim satgas, rata-rata satu RW 10 kasus. Itu yang melapor,” kata Ketua Harian Satgas Antirentenir Kota Bandung Saji Sonjaya.
Ia ditemui dalam peluncuran Satgas Antirentenir bentukan Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) Kota Bandung, di Savoy Homann, Bandung, Kamis 14 Desember 2017.
Berdasarkan penelusuran Satgas Antirentenir Kota Bandung, terdapat praktik kategori rentenir perorangan dan terorganisir. Di Kota Bandung, hampir 60% rentenir terorganisir dengan berkedok koperasi simpan pinjam.
Rentenir masih melihat celah kebutuhan warga kurang mampu yang membutuhkan dana darurat. Padahal, warga sadar akan bunga yang bisa mencapai 4% per bulannya. “Padahal kan normalnya 2% di koperasi. Leasing pun paling tinggi 3% per bulan. Pinjam 1 juta, yang dibayar bunganya semua. Sementara utang pokoknya harus dibayar tunai,” ujarnya.
Korban rentenir biasanya hanya meminjam Rp 100 ribu. Paling besar di atas Rp 5 juta. Rata-rata yang sifatnya darurat mengambil tenor 6 bulan. Sejak awal, korban diminta membayar bunganya. Baru setelah bunga terlunasi, korban harus membayar utang pokoknya.
“Itu yang membuat resah dan terbentuk satgas ini. Kalau pinjam Rp 1 juta dengan tenor 10 bulan, warga harus bayar cicilannya 200 ribu per bulan, jadi total bayar bunga Rp 2 juta. Di akhir, baru korban bayar utang pokoknya yang Rp 1 juta tadi, yang akhirnya warga harus membayar total Rp 3 juta,” katanya.
Menunggak Rp 60 juta
Kasus terdekat menimpa warga di Gang Lumbung, Jalan Caringin, Bandung. Warga ditagih rentenir Rp 60 juta akibat menunggak 5 tahun dan harus mengosongkan rumahnya, padahal hanya berutang Rp 3 juta dengan jaminan sertifikat rumah.
Saji menjelaskan, metode jebakan itu memang banyak dipraktikkan rentenir. Mereka terkesan sengaja tidak menagih hingga total tagihan menggunung. “Kita bantu dan akhirnya hanya bayar Rp 4 juta, dengan negosiasi cukup alot” ujarnya.
Dalam kasus lain, kata Saji, banyak lintah darat terorganisir yang memiliki tim marketing dan penagih utang (debt collector). Maka, kasus intimidasi juga banyak terjadi pada kreditur.
Di tempat yang sama, Kepala Dinas KUKM Kota Bandung Priana Wirasaputra menjelaskan, untuk menangkal pola sebaran aktivitas lintah darat membentuk Tim Satuan Tugas Antirentenir. Peran satgas akan menyisir permukiman masyarakat berpenghasilan rendah, pasar, dan area pedagang kaki lima.
“Yang dilaporkan kepada saya itu rentenir itu banyak, korbannya itu banyak, orang yang memanfaatkan jasa rentenir cukup banyak. Demikian juga hasil kunjungan saya ke pasar, ke pedagang kaki lima, juga memang masih terlaporkan adanya kegiatan-kegiatan rentenir,” katanya.
Ia menjelaskan, korban jeratan kredit dari lintah darat itu beragam. Saking menggiurkan karena kemudahan akses, banyak yang terjerat sampai harus kehilangan rumah akibat gagal bayar bunga kredit yang tinggi.
“Bahkan, sampai pusing ditagih terus, diancam-ancam, laporan kepada saya juga ada yang sampai putus asa yang akhirnya bunuh diri,” katanya.
Oleh karena itu, visi dari Satgas Antirentenir ini adalah Bandung bebas dari rentenir, setelah 7 tahun diusulkan. Anggota satgas ini kurang lebih 25 orang. Mereka akan menyusun program dalam lingkup sosialisasi, penyadaran dan mengedukasi masyarakat.
“Kemudian program yang berkaitan dengan advokasi dan mediasi, juga fasilitasi membantu korban rentenir. Anggota ini terdiri dari pegiat antirentenir, ada unsur koperasi, Dewan Masjid Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, pengacara, sampai LBH,” ujarnya.***