Melihat Lebih Dekat Pengolah Sampah Teknologi Jerman Penghasil Bahan Bakar
Melihat Lebih Dekat Pengolah Sampah Teknologi Jerman Penghasil Bahan Bakar.
Alat pengolahan sampah modern berteknologi Jerman segera beroperasi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Kecanggihan alat yang akan menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu dengan Refuse Derived Fuel (TPST RDF) tersebut dapat mengolah sampah menjadi alternatif bahan bakar dengan kapasitas hingga ratusan ton.
Suara.commemantau alat tersebut sudah dibangun di dekat TPA di Desa Tritih Lor Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap. Tenaga operator sudah disiapkan di lokasi yang luasannya sekira 3 hektare tersebut.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cilacap, Hartono mengatakan, TPST RDF merupakan bentuk kerja sama Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap.
“TPST RDF ini sudah melewati uji coba dan sesuai kapasitas dapat mengolah sampah sebesar 120 ton per hari. Hasilnya berupa RDF sebanyak 30 sampai 40 ton per hari, kadar air turun dari 57,60 menjadi 22,75 persen dalam waktu sekitar 21 hari dengan nilai kalori sebesar 687 kilo kalori atau kilogram,” kata Hartono ditemui Jumat (6/9/2019).
Hartono menjelaskan,TPST RDF merupakan pengolahan sampah yang kemudian diproses menjadi bahan bakar altrernatif pengganti batubara melalui pencacahan dan pengeringan.
Hal itu sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus mengurangi kebutuhan lahan TPA sampah serta dapat menghasilkan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar batu bara.
“Mesin dan elektrikal ini berteknologi Jerman yang menjadi hibah dari Pemerintah Kerajaan Denmark kepada KLHK yang nantinya akan dihibahkan kepada Pemerintah Kabupaten Cilacap.
Secara garis besar pengolahan sampah di sini pada intinya mengolah sampah domestik yang tadinya bermacam-macam jenis dan kondisinya basah, lalu sampah diolah menjadi material yang kering dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti batubara, dan untuk sementara ini kita masih bekerja sama dengan PT Holcim yang sekarang menjadi PT Solusi Bangun Indonesia (SBI),” kata Hartono.
Tidak hanya itu, mesin berteknologi Jerman itu diklaim ramah terhadap pemulung yang selama ini aktif mengais rejeki di sekitaran TPA.
Bahkan menurut Hartono, lewat pengolahan alat tersebut akan memudahkan pemulung dalam mengais rejeki.
“Waktu masih di area TPA, mereka (pemulung) kan kerjanya di tempat terbuka dan APD-nya (alat pelindung diri) tidak standar. Sehingga rentah terhadap penyakit maupun kecelakaan kerja.
Nah, dengan adanya RDF, kita buatkan hanggar khusus, dan untuk standar APD nya tetep akan kita buatkan standar industri pada umumnya,” kata dia.
Aktivitas pemulung, lanjut dia nantinya diberi kesempatan mengambil material-material yang masih memiliki nilai ekonomis. Setelah aktivitas pemulung selesai, sampah baru kemudian diproses pengolahan.
Menurut Hartono semua sampah domestik akan bisa diolah oleh alat yang disebut-sebut masih satu-satunya di Indonesia tersebut.
Nilai keuntungan bagi Cilacap, nantinya paling utama tidak ada sampah di TPA. Artinya, semua sampah yang masuk ke TPA Tritih Lor akan dapat diolah semua, karena kapasitas alat memadahi.
Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, sampah yang masuk ke TPA Tritih Lor berkisar 120-130 ton per hari.
“Kapasitas yang sudah dioperasionalkan (uji) 120 ton per hari. Tapi kita ada mesin yang spesifikasinya 50 ton per jam. Jadi ketika bisa dimaksimalkan kemampuan kerja mesin, itu bisa 400 ton per hari. Dan bisa dimaksimalkan lagi hingga berkisar 600 ton per hari,” kata dia.
Lantas, kapan alat tersebut sudah bisa beroperasi total? Hartono mengatakan, pihaknya masih menunggu berita penyerahan RDF yang sampai saat ini statusnya masih milik KLHK.
“Kalau sudah diserahterimakan, baru kita akan mengolah secara full di sini,” kata dia.
Hartono menceritakan, awalnya bantuan RDF merupakan inisiasi dari Pemerintah Kerajaan Denmark melalui PT Holcim (sekarang PT SBI) lalu ke Pemkab Cilacap.
“Sebetulnya Denmark mau membantu langsung ke Pemkab Cilacap. Namun karena ada mekanisme-mekanisme antarnegara, sehingga tetap melewati (proses) antarpemerintah, yang dalam hal ini Pemerintah Indonesia diwakili oleh KLHK.
Sehingga untuk saat ini, barang ini statusnya milik Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini KLHK yang untuk kemudian diserahkan ke Pemkab Cilacap,” kata dia.
Lantas, berapa biaya untuk operasional penyiapan alat hingga tempatnya? Hartono mengatakan, total biaya yang sudah dialokasikan berkisar Rp 86 miliar.
“Proses dimulai tahun 2016. Dari Pemkab Cilacap pertama menyediakan lahan, sekitar 3 hektare. Kemudian dalam mendesain alat dan hingga pemanfaatannya kita melibatkan PT SBI maupun pihak terkait,” kata dia.
Berita Terkait:
- Setelah Sempat Viral, Pemkab Bekasi Angkut Sampah Kali Jambe yang Mengular
- Dipenuhi Sampah, Dinas PUPR Bekasi Diminta Segera Normalisasi Kali Jambe
- Sampah di Kali Jambe Bekasi Mengular hingga 500 Meter, Warga Resah
- Pelajari Energi Terbarukan, DPR Kunjungi Republik Ceko
- Bukan Untuk si Kantong Cekak, Mobil Mewah Ini Mahalnya Menyeluruh