Linimasa media sosial beberapa hari ini kerap ditemukan berita mengenai penjarahandi lokasi bencana Paludan Donggala, Sulawesi Tengah. Ada yang mewajarkan aksi penjarahan itu, tapi lebih banyak yang mencibir.
Tak jarang mereka yang mengkritik aksi penjarahan di dunia maya itu mempertanyakan moralitas warga setempat. Acapkali mereka juga membandingkan reaksi penduduk Tokyo, Jepang, yang tetap tenang dan 'bermoral' meski diterjang gempa berkekuatan 9 skala richter disertai tsunami, hingga radiasi nuklir.
Namun perbandingan itu dinilai kurangfairkarena melepas konteks sosial kedua tempat. Baik Indonesia, khususnya Palu, maupun Jepang tentu punya karakter masyarakat yang berbeda.
Berbagai macam laporan internasional memuji reaksi penduduk Jepang yang terdampak bencana kala itu. Mereka takjub di sana penjarahan sangat minim, jika tidak bisa dibilang tidak ada sama sekali.
Mark D. West, profesor dari University of Michigan Law School dalam Losers: Recovering Lost Property in Japan and the United States (2003), menyatakan penjarahan tak terjadi di sana karena bukan budaya mereka.
Penjelasan lebih tepatnya adalah pemerintah Jepang berhasil memaksa warganya tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri ketika kemalangan menimpa banyak orang. Ia membandingkan fenomena di Jepang ini dengan aksi penjarahan di New Orleans, AS, setelah Badai Katrina menerjang pada 2005 silam.
West menemukan bahwa kebijakan pengembalian barang hilang sebagai kunci dari absennya penjarahan tersebut. Contoh dari kebijakan itu adalah ketika seseorang menemukan sebuah laptop di suatu tempat dan ia mengembalikannya ke polisi, maka ia akan memperoleh imbalan 5-20 persen dari nilai laptop tersebut.
Warga korban gempa mengambil berbagai keperluan logistik di Mamboro, Palu Utara, Sulawesi Tengah. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Kebijakan ini kemudian mengakar di warga Jepang seiring waktu berjalan hingga menjadi bagian tak terpisahkan di keseharian mereka. Saking kuatnya budaya ini, polisi akan menganggap serius setiap koin yang dikembalikan oleh anak-anak kepada mereka karena dianggap proses belajar norma kejujuran di usia dini.
"Kenapa orang Jepang tidak menjarah? Karena itu bukan budaya mereka. Bagaimana budaya itu terbentuk? Dari nihilnya penjarahan," kata West seperti dikutip dari Slate, Maret 2011.
Hal ini tidak terjadi di Indonesia. Hukum di sini tidak menawarkan apresiasi untuk mendorong warga agar tidak mengambil yang bukan miliknya. Selain itu, pengawasan untuk mencegah aksi penjarahan dari aparat keamanan pun dianggap kurang tegas.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala berkata pemaknaan hukum antara di Jepang dan Indonesia jauh berbeda. Menurutnya penduduk Jepang memaknai hukum yang berlaku di setiap benak mereka, sementara warga Indonesia membutuhkan keberadaan aparat penegak hukum untuk bisa menyadari ada hukum yang berlaku.
"Di Palu ini kesan saya aparat itu tidak ada," ujar Adrianus melalui telepon, Rabu (3/10).
Menurut Adrianus, situasi di lokasi bencana seperti di Palu dapat memicu kondisilawlessdi mana norma hukum yang berlaku menjadi abu-abu. Sebagian dianggap karena minimnya personel keamanan yang berjaga di lokasi bencana.
Adrianus memaklumi jumlah personel penegak hukum yang sedikit di lokasi bencana. Namun ia melihat reaksi yang diambil oleh aparat tidak cukup cepat mengantisipasi potensilawlessyang akhirnya berujung pada penjarahan di Palu.
"Kalau ada pun tidak cukup sehingga tidak berani menindak. Ketika kejadiannya sudah terlalu banyak lalu pejabat sibuk dengan retorika dengan dalih (penjarahan) itu tidak ada. Setelah beberapa hari ketika aparat makin banyak baru ada tindakan," ujar Adrianus.
Massa menjarah sejumlah barang usai gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah. (AFP PHOTO/BAY ISMOYO)
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menilai pengawasan logistik dalam situasi bencana merupakan hal penting yang tak boleh lepas dari penanganan aparat keamanan.
Kendalanya adalah setiap kejadian bencana, penyaluran bantuan selalu berpacu dengan kebutuhan dasar warga yang sudah mendesak.
"Kan, biasanya ada logistik yang tanpa dikawal dan diawasi. Ini penting karena itu kan harus cepat dan menjangkau wilayah yang luas," ujar Sunyoto.
Sunyoto berusaha mewajarkan apabila korban bencana yang mengambil makanan dan minuman bukan miliknya guna bertahan hidup. Ia menganggap itu bukan penjarahan.
Namun ia mendorong hukuman diberikan bagi mereka yang mengambil barang-barang elektronik bukan miliknya seperti yang muncul di berbagai laporan belakangan ini.
"Saya kira terlalu tergesa-gesa mengidentifikasi korban. Dugaan saya itu tidak dilakkan oleh korban bencana. Mereka kan biasanya lagi kesulitan, jadi yang melakukan orang luar dengan dalih kurang makan dan sebagainya," tutur Sunyoto.
Meski sempat dibantah oleh pemerintah, penjarahan memang terjadi setelah gempa dan tsunami menghantam Palu pada Jumat (28/9) lalu.
Mabes Polri bahkan telah menetapkan 49 tersangka dalam sejumlah kasus pencurian. Beberapa ditangkap karena membobol anjungan tunai mandiri (ATM), barang elektronik, kendaraan bermotor, linggis, hingga dispenser.
"Kami juga menyita satu karung sandal, satu karung sepatu, satu dus pakaian dan celana," kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto di Jakarta, Selasa (2/10).