Menanti Game Lokal Mendunia? Baca Dulu 3 Fakta Ini
Ilustrasi: Unsplash
Uzone.id-- Siapa di sini yang selalu berbahagia jika ada karya anak bangsa bisa dikenal seantero jagat Bumi? Jika berbicara soal game, tentu ada banyak game bikinan lokal. Pertanyaannya, seberapa mungkin mereka bisa mendunia?
Wajar jika saat orang ditanya soal game terkenal, jawabannya tak jauh-jauh dari PUBG, Mobile Legends, Free Fire, hingga The Sims. Mereka ini memang pamornya mendunia dan menjadi game favorit kebanyakan orang.
Lalu, bagaimana dengan game lokal? Seperti apa potensinya?
Dari obrolan tim Uzone dengan Co-Founder GameQoo, Izzudin Al Azzam pada acara Uzone Talks, Kamis (4/11), ada beberapa hal menarik yang layak diketahui masyarakat Indonesia soal industri game di Tanah Air.
1. Yakin udah apresiasi karya lokal?
Hal ini termasuk yang menohok. Menurut Azzam, salah satu kultur toxic dari masyarakat Indonesia adalah meledek karya game lokal.
“Banyak game lokal yang baru rilis, tapi dijelek-jelekin cuma karena gambarnya menurut mereka gak HD atau pixel konsepnya. Padahal bisa jadi game itu memang bukan selera dia, tapi pasar yang lain. Hal ini bisa mendorong kreator atau developer game lokal merasa tidak dihargai dan lebih memilih untuk berkarya di luar negeri saja,” ungkap Azzam.
2. Gamer Indonesia banyak, tapi…
Angka besar gamer aktif di Indonesia yang mencapai 60 juta user per 2021 ini harusnya menjadi peluang potensial bagi game lokal untuk besar di negara sendiri. Sayangnya, PR industri game Indonesia pun tak kalah penting, yaitu menggaet lebih banyak lagi talent-talent kompeten untuk berkarya.
Dari paparan Azzam, data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukan bahwa kadang bukan game lokal yang tidak bisa mendunia, namun talent yang masih kurang di pengembangan game itu sendiri.
Baca juga:Squid Game Mulai Hantui Pengguna Internet di Indonesia
“Jumlah tenaga kerja atau talent di sektor game di Jawa Barat itu 39 persen, paling banyak dari seluruh Indonesia. Daerah lain malah lebih parah, cuma 1 persen, 2 persen. Rata-rata, talent game di Indonesia baru 10 persen dari kebutuhan real-nya. Misal, kita butuh 100 ribu talent, kita baru punya 10 ribu orang saja. Talent-talent ini sangat dibutuhkan untuk bikin game lokal kelas dunia,” kata Azzam lagi.
3. Belajar dari game indie
Hal lain yang disoroti Azzam adalah success story game lokal yang sudah berhasil mendunia, seperti DreadOut dan Coffee Talk.
Game ini besar dan dikenal luas di berbagai negara karena keunikan dan cara pendekatan mereka kepada pasar. Ironinya, mereka justru lebih dulu dikenal dan dimainkan oleh gamer luar negeri, baru booming di Indonesia.
“Kalau lihat kebiasaan atau pola orang Indonesia ‘kan gitu. Nunggu dulu apa yang viral dan ramai di luar negeri, baru kita ikutan main, sekalipun game itu adalah game buatan lokal kita. Ini hal yang perlu diperhatikan, meski DreadOut sukses dan bahkan diangkat jadi film, tapi game ini duluan terkenal di negeri orang dibanding negeri sendiri,” kisah Azzam.
Baca juga:Sudah 2021, Orang Indonesia Masih Mikir 'Game itu Gratis'
Jika belajar dari apa yang telah dilakukan DreadOut yang tergolong game indie, mereka lebih memprioritaskan mendekatkan diri ke komunitas. Hal serupa juga dilakukan oleh game Coral Island yang baru akan dirilis pada awal tahun 2022.
“Apalagi kalau lihat Coral Island, game lokal ini banyak yang menunggu, lho. Dia pendanaannya menggunakan Kickstarter, jadi ini strategi dia untuk berbasis komunitas. Sebelum dirilis, minta saran dari komunitas, jadi ketika baru akan dirilis, yang nungguin dan membeli langsung banyak,” katanya lagi.
Dengan kata lain, menyambung ke poin pertama, masyarakat Indonesia seharusnya lebih menghargai dengan karya anak bangsa, sekalipun berupa game. Banyak developer game menurut Azzam, yang lebih memilih besar di luar negeri karena mereka mendapatkan lebih banyak apresiasi di sana ketimbang negeri sendiri.