Mencari Kado Natal untuk Tujuh Besar Premier League

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Di mana pun perayaannya, Natal identik dengan sukacita. Makanya, sebagian besar perayaan Natal dimeriahkan dengan tradisi kado Natal. Lantas, kumparan memilihkan kado Natal terbaik untuk mereka yang berada di posisi tujuh besar klasemen sementara gelaran Premier League.

1. Manchester City: Mengatasi kelemahan sektor pertahanan

Di antara semua klub yang berkompetisi di seluruh liga yang ada, Manchester City agaknya menjadi klub yang paling tak butuh hadiah apa pun. Lihatlah penampilan impresif mereka. Sampai saat ini, satu-satunya kekalahan yang didapat adalah saat bertanding melawan Shaktar di Liga Champions. Satu kekalahan bukan bencana bagi City.

Namun, sebaik-baiknya City, mereka tetap punya masalah yang tak bisa disepelekan begitu saja: cedera beruntun pemain belakang. Benjamin Mendy mengalami cedera yang serius dan diisukan tidak bakal bermain sampai April 2018. Sementara John Stones, pada pertandingan kontra Leicester City di November lalu, juga mengalami cedera yang membuatnya tak bisa bermain hingga tahun berganti.

Fabian Delph yang dimainkan sebagaifull backkiri juga bukan pilihan yang bagus-bagus amat. Misalnya, bila dilihat dari hasil laga melawan Huddersfield Town, Southampton, dan West Ham United. City memang tak kalah dalam pertandingan melawan ketiga klub ini. Ketiganya berhasil merepotkan City lewat sepak pojok, termasuk gol Huddersfield dan West Ham. Gol Southampton memang bukan dari sepak pojok, tapi peluang yang diciptakan Wesley Hoedt dan Virgil van Dijk juga lahir dari sepak pojok. 

Bila melihat arah gol-gol dan peluang tadi, semuanya dimulai dari sisi kiri. Sisi pertahanan kiri City yang dikawal Fabian Delph barangkali menjadi yang terlemah. Kebobolan City memang masih yang tersedikit dibandingkan klub-klub lainnya di Premier League. Tapi sepak bola mengenal satu hal, pembiaran akan masalah kecil bakal sama dengan merawat masalah dan membiarkannya menjadi besar.

 

2. Manchester United: Jose Mourinho jadi tahu diri

Yang paling memuakkan dalam pemberitaan Manchester United dan Jose Mourinho akhir-akhir ini adalah cara Mourinho meresponi kekalahan timnya dalam Derbi Manchester. Laga yang berakhir dengan kemenangan Manchester City di Old Trafford berbuntut panjang. Yang menjadi persoalan, buntutnya tak berhubungan dengan perbaikan taktikal, perubahan formasi dasar, penyesuaian pendekatan permainan -tapi perkelahian di lorong ruang ganti Old Trafford.

Berdasarkan laporanThe Guardian, kejadian itu bermula saat Mourinho menegur pemain Manchester City yang dinilainya merayakan kemenangan dengan berlebihan. Bagi Mourinho, mereka tidak menaruh hormat kepada tim tuan rumah. Menyoal perkelahian ini, ada beragam versi. Entah mana yang benar. Yang jelas, kedua tim, terlibat perkelahian. Tim sekelas Manchester United dan Manchester City.

Gianluca Vialli, dalam buku yang ia tulis bersama Gabriele Marcotti, 'The Italian Job', pernah menggambarkan perbedaan suasana ruang ganti di Italia dan Inggris. Di Italia, kecenderungannya, tetap bakal dipakai untuk membahas pertandingan. Pelatih akan masuk. Berceramah atau mengamuk perihal permainan timnya.

Hal ini pun dibenarkan oleh Andrea Pirlo dalam biografinya, 'I Think Therefore I Play'. Dalam satu bagian, ia menjelaskan bagaimana Conte, yang waktu itu menjabat sebagai pelatih Juventus, kerap mengamuk di ruang ganti bila ia menilai permainan anak-anak asuhnya buruk -sekalipun dengan permainan buruk itu mereka tetap meraih kemenangan. Buffon yang lokernya berada tepat di sebelah posisi Conte, yang paling sering kedapatan bergidik ngeri.

Sementara tidak demikian bila berkaitan dengan suasana ruang ganti klub-klub Liga Inggris. Dalam bukunya tersebut, Vialli menggambarkannya demikian: disko, pesta, hura-hura. Ruang ganti klub-klub Liga Inggris begitu riuh. Singkat kata, ruang ganti klub-klub Italia menyoal kepala, sedangkan ruang ganti klub-klub Inggris menyoal hati.

Ian Wright punya satu komentar menarik menyoal perkelahian ini dan sikap Mourinho. Menurutnya, pesta pora City di ruangan sebelah seharusnya digunakan Mou sebagai cambuk untuk memperbaiki permainan tim-timnya. Terdengar klise. Tapi satu hal yang harus dipahami. Mourinho berpredikat sebagai manajer United. Dia bersikap sebagai pemimpin tim. Mourinho seharusnya jadi wajah buat klub sebesar Manchester United. Karena pembicaraan soal Manchester United tak lagi menyoal sepak bola belaka.

Mengapa Fergie bisa begitu perkasa di United? Karena dia berhasil menjadi wajah yang paling tepat buat Manchester United. Respon yang salah, apalagi dengan predikat sebagai manajer, justru bisa jadi bumerang yang gemar menyerang balik. Lagipula, Manchester United yang dipimpin Mourinho adalah klub papan atas Premier League, bukan klub tarkam.

 

3. Chelsea: Hari libur

Karena libur adalah hak segala umat. Ya, Conte, kami teramat paham.

Terhitung sejak awal Desember lalu, Conte dalam sejumlah wawancara mengeluhkan jadwal pertandingan timnya yang begitu padat menjadi satu hal yang sangat menyulitkan. Baginya jadwal pertandingan yang dilakoni Chelsea kelewat berdekatan. Padatnya jadwal pertandingan tentu memperbesar potensi cedera pemain Chelsea.

Sejak 18 November lalu sampai saat ini, Chelsea telah melakoni delapan pertandingan -baik di Premier League maupun Liga Champions. Yang menjadi masalah terbesar adalah, padatnya jadwal pertandingan ini membuat pemain rentan cedera dan kelalahan. Terakhir, Morata dilaporkan bermasalah dengan punggungnya. Sebelumnya, David Luiz juga dikabarkan cedera. Begitu pula dengan Victor Moses dan Michy Batshuayi.

 

4. Tottenham Hotspur: Kontribusi pemain-pemain muda yang dipinjamkan

Dalam menukangi Spurs, Pochettino punya satu kebiasaan -atau mungkin strategi: Ia gemar meminjamkan pemain-pemain mudake klub lain. Alasannya sederhana, dan logis. Ia ingin pemain-pemain muda itu punya pengalaman lebih. Tak hanya menunggu rotasi skuat utama. Karena bagaimanapun juga, rotasi skuat punya risikonya sendiri, termasuk bagi tim yang saat ini bertengger di empat besar klasemen sementara.

Tottenham menjadi salah tim yang didera badai cedera. Toby Alderweireld dipastikan absen sampai Februari 2018 mendatang. Sebelumnya Victor Wanyama harus menepi lebih dulu sejak bulan Agustus karena cedera lutut. Sementara Davinson Sanchez dihukum larangan bermain tiga pertandingan akibat kartu merah saat melawan Watford.

Namun, alih-alih membeli pemain baru, Pochettino tampaknya cenderung ingin mendatangkan pemain muda mereka, Carter-Vickers, yang sebelumnya dipinjamkan ke Sheffield. Ya semoga ini tak jadi pilihan yang salah buat Spurs.

 

5. Liverpool: Berdamai dengan wasit

Wasit, bagaimanapun juga adalah pemimpin pertandingan. Sekontroversial apa pun itu, keputusannya harus diterima. Termasuk jika situasinya serupa dengan yang dialami Liverpool.

Derbi Merseyside akhir pekan lalu menjadi malam yang tak menyenangkan buat Liverpool. Pasalnya, mereka gagal menang di laga sepenting itu. Anak-anak asuh Klopp bukannya tak menunjukkan permainan yang impresif. Dibandingkan Everton, Liverpool menang secara statistik.

Di pertandingan ini Liverpool tampil dominan. Mereka memimpin penguasaan bola 79%, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Everton yang hanya 21%. Dari segi total tembakan pun kalah jauh. Liverpool mencatatkan 23 tembakan, sementara Everton hanya tiga kali. Yang menjadi persoalan adalah rapatnya barisan pertahanan Everton.

Namun, yang paling mengesalkan dari semuanya adalah keputusan wasit. Liverpool diganjar penalti karena wasit menilai Dejan Lovren melanggar Calvert-Lewin. Klopp meyakini bahwa kontak Lovren begitu minim. Namun apa boleh bikin, wasit tetap menilainya sebagai pelanggaran. Akibatnya tak tanggung-tanggung, gol penalti Rooney menggagalkan langkah Liverpool meraih tiga poin. Skor bertahan 1-1 sampai akhir pertandingan.

Lantas, di pertandingan melawan West Brom Kamis (14/12/2017) dini hari WIB, Klopp lagi-lagi merasa dirugikan oleh keputusan wasit. Kali ini gol Dominic Solanke yang dianulir. Bedanya, di pertandingan kali ini Klopp tak lagi marah-marah seperti usai Derbi Merseyside.

 

6. Burnley: Apa pun yang membuat mereka mencuat ke enam besar Premier League

Musim lalu Burnley mengakhiri musim sebagai tim yang teramat dekat dengan zona degradasi, hanya berjarak dua strip dari mereka yang harus hengkang dari Premier League. Namun musim ini, setidaknya sampai hari ini, mereka malah berdiri di posisi enam klasemen sementara Premier League.

Dalam 17 laga yang telah dilakoni sampai sejauh ini, Burnley hanya sanggup menceploskan 16 gol. Berarti yang membuat mereka tak kalah dalam persaingan Premier League adalah lini pertahanan yang kokoh. Burnley baru kebobolan 12 gol, mereka jadi yang terbaik kedua setelah City yang kebobolan 11 gol. 

Dari pembicaraan kumparan menyoal Burnley juga dijelaskan bahwa Burnley menjadi tim yang paling perkasa perihal duel udara. Catatan mereka, 24,2% rataan duel udara per laga. Lantas, inilah yang sebaik-baiknya dimanfaatkan Sean Dyche. Ia kerap menumpuk delapan sampai sembilan pemain di area permainan mereka sendiri. Akibatnya, lawan kesulitan mencetak gol. Burnley memang belum jadi klub dengan nama besar yang mentereng di Premier League. Namun sejauh ini, lewat permainan anak-anak asuhnya, Sean Dyche justru membuktikan bahwa mereka tak perlu menjadi tim sekelas Manchester City atau United dulu untuk bisa meroket di gelaran sekelas Premier League.

 

7. Arsenal: Hmmm...

Yang tersulit dari tulisan ini adalah mencari hadiah paling tepat untuk Arsenal. Masalah mereka terlalu banyak. Jadi, ada yang bisa bantu kami untuk mencarikan kado Natal untuk Arsenal?