Mencari Teduh Mangrove di Planet Bacassie

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Jika ditinjau sebagai sebuah kawasan, Bekasimemiliki sejarah yang cukup panjang ketimbang daftar olok-olok warganet tentang jarak dan waktu tempuh menuju tempat ini.

Asal-usul nama Bekasi berasal dari Candrabhaga, chandraberarti bulan atausasidalam bahasa Jawa kuno, dan bhagaberarti bagian. Hal ini tertulis di dalam Prasasti Tugu era Kerajaan Tarumanegara.

Namun pengucapan kata Candrabhaga kerap berubah menjadiSasibhagaatauBhagasasi, hingga kerap disingkat sebagai Bhagasi. Bangsa Belanda yang akhirnya menuliskannya sebagaiBacassie, dan 'diwariskan' hingga saat ini.

Sejak abad ke-5 Masehi (era Kerajaan Tarumanagara), kemudian abad ke-8 (era Kerajaan Galuh), dan adab ke-14 (era Kerajaan Pajajaran) Bekasi dipercaya menjadi pilar wilayah kekuasaan karena letaknya yang strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).

Bahkan Kerajaan Tarumanegara secara sadar memilih Bekasi sebagai ibukota Kerajaannya.

Namun kisah kebesaran Bekasi seakan sirna tanpa bekas, meskipun Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar mengabadikan nama kota ini dalam karyanya. Sebagian warga Indonesia mengenal Bekasi dari citranya yang panas, padat pabrik, dan sarat jalan berlubang.

Realita inilah yang harus saya hadapi untuk memuaskan rasa penasaran saya menuju kawasan Ekowisata Mangrove di Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.

Sebelum meluncur menuju lokasi Ekowisata Mangrove, saya menyempatkan diri untuk melahap sepiring ketoprak di kawasan Situ Cibereum di Tambun Selatan. Danau seluas dua hektare ini terletak di dalam kawasan perumahan elit yang dibatasi oleh tembok beton.

Meskipun tersembunyi, Situ Cibereum merupakan salah satu kawasan favorit warga Bekasi untuk menikmati liburan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya warung di tepi danau. Tempat ini juga merupakan lokasi tujuan bagi para pegowes dan pemancing.

Usai menuntaskan menu sarapan, saya bergegas menuju kawasan Bekasi Utara tepat pukul 09.00 WIB. Cuaca hari itu cukup mendung, namun hawa panas di Bekasi masih jauh lebih perkasa ketimbang awan kelabu yang menaungi kota itu.

Berbekal aplikasi peta digital untuk jalur motor, saya diarahkan menuju Jalan Sultan Agung setelah melewati Stasiun Kranji. Kemudian peta mengharuskan saya masuk ke kawasan Kota Harapan Indah dan setelah itu jalan mulus tinggal cerita.

Menembus jalanan hancur, kawasan tambak, dan perkampungan nelayan

Menurut aplikasi tersebut, saya harus menempuh jarak sekitar 52 kilometer yang memakan waktu sekitar dua jam saja. Namun kenyataan memang tidak seindah perkiraan, kenyataannya saya baru bisa tiba di lokasi Ekowisata Mangrove sekitar pukul 14.00 WIB atau menambah waktu tiga jam dari perkiraan.

Jalan setapak di kawasan tambak. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


Tersasar adalah salah satu 'agenda' yang saya selalu masuk dalam daftar perjalanan. Namun kali ini agenda saya tidak hanya tersasar, melainkan jalanan hancur, kawasan tambak, dan kampung nelayan yang membingungkan.

Memasuki Jalan Raya Ps. Babelan, kondisi jalan mulai tidak mulus bahkan cenderung rusak. Meskipun sudah dibeton, namun truk-truk bermuatan besar yang kerap melintas nampaknya menjadi alasan rontoknya jalanan.

Meski demikian kondisi itu masih bisa saya maklumi, karena belum semua kawasan di Indonesia tersentuh oleh pembangunan.

Namun hal yang hampir membuat saya mundur adalah saat dihadapkan oleh ujung jalan dan jembatan kayu untuk melintasi rawa.

Untungnya ada seorang pria paruh baya yang membenarkan bahwa ini jalan menuju Kawasan ekowisata Mangrove Pantai Mekar.

Jembatan kayu yang harus dilalui untuk memangkas jarak tempuh. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


"Iya benar, lewat sini. Ada sih jalan lain tapi muter jauh banget, kalau lewat sini bisa motong waktu hampir satu jam," ujarnya.

"Nanti kalau ketemu jalan raya, tinggal ambil kiri dan ikutin jalan aja sampai ke Pantai Mekar."

Berbekal ucapan pria tersebut dan kenekatan melintasi jembatan, akhirnya saya memutuskan melanjutkan perjalanan.

Kekagetan saya tak berhenti sampai di situ, rupanya saya harus melewati jalan tanah setapak dan kawasan tambak untuk mencapai jalan raya yang dimaksud.

Meskipun saya cukup menikmati, namun harus diakui bahwa saya cukup was-was saat melintasi area rumput ilalang setinggi rumah satu lantai. Pisau lipat yang selalu saya bawa dalam tas, terpaksa saya siapkan di kantong jaket sebelum memasuki area rumput ilalang.

Kampung nelayan sebelum masuk ke kawasan ekowisata mangrove. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


Usai ber-off roadria, saya akhirnya menemukan jalan raya yang dimaksud oleh pria yang yang saya temui tadi. Dari jalan raya itu, masih butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di kawasan Ekowisata Mangrove.

Sebelum mencapai gerbang, ada kampung nelayan cukup kumuh yang harus dilalui. Jalur ini nampaknya tidak bisa dilalui oleh mobil, apalagi jika sang sopir belum terlalu handal. Jika tidak hati-hati, taruhannya adalah tercebur ke area hutan bakau di sisi kiri jalan atau terperosok ke lumpur samping jalan utama.

Setibanya di gerbang kawasan ekowisata mangrove Pantai Mekar, saya disambut oleh seorang pria penjaga kawasan ekowisata. Untuk masuk ke dalam kawasan dan parkir motor, biaya yang harus dikeluarkan hanya sebesar Rp10 ribu.

Gerbang menuju ekowisata mangrove. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


Pria yang mengaku bernama Wajan ini mengatakan saat ini kawasan hutan mangrove sedang diserang oleh ulat, sehingga pohon api-api yang biasanya teduh menjadi gersang.

Layaknya program tanggung jawab sosial perusahaan, hutan mangrove ini bisa dikatakan tidak terlalu istimewa. Jembatan dari bambu, area bersantai, hingga spot untuk selfie adalah pola yang diterapkan kawasan wisata seluas tiga hektare ini.

Spot selfie. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


Meskipun telah disediakan tong untuk tempat sampah, yang sudah diberi keterangan jenis sampah, namun masih banyak sampah plastik yang tergeletak di kawasan hutan bakau. Hal ini jelas cukup mengganggu konsep ekowisata yang diusung.

Barangkali pihak perusahaan yang menjadikan hutan bakau di Pantai Mekar sebagai lokasi untuk program tanggung jawab sosialnya, perlu menjalankan program untuk membangun kesadaran warga sekitar akan bahaya sampah plastik.

Sampah di kawasan hutan mangrove. (Foto: CNN Indonesia/Agung Rahmadsyah)


Bahkan jika diperlukan, disediakan juga petugas tetap yang berjaga untuk menindak para pengunjung bandel yang nekat membuang sampah plastik ke dalam hutan bakau. Tentunya hal ini berkaitan dengan kesejahteraan warga sekitar yang harus didahulukan, demi terbangunnya kesadaran untuk menjaga lingkungan. 

[Gambas:Video CNN]

Berita Terkait