Mengapa Dunia Startup Begitu Cocok dengan Musik Indie?

pada 7 tahun lalu - by

Apa hubungan antara Bukalapak dan L’Alphalpha, GO-JEK dengan The Trees and the Wild, Digital Happiness dan Sigmun, serta beberapa nama lainnya? Sepintas mungkin tidak terlalu tampak persamaan antara beberapa namastartupdan grup musik independen alias indie yang saya sebutkan di atas, tapi ternyata beberapa orang di balik nama-nama tersebut ternyata melibatkan orang yang sama.

Cukup menarik memang, karena baik kita sadari atau tidak,startupdan musik indie memiliki persamaan yang cukup besar. Mulai dari kebebasan dan fleksibilitas yang ditawarkan, sampai ke betapa sulitnya untuk menjelaskan kedua hal tersebut kepada orang tua atau keluarga.

Oleh karena ituTech in Asia Indonesiamemutuskan untuk mewawancarai beberapa personelbandindie yang juga bekerja distartupsoal kenapa jalur profesi ini yang mereka ambil, serta kenapa keduanya begitu sempurna antara satu dengan yang lainnya?

Akselerasi maksimum

Polka Wars

Satu hal yang bisa dibilang cukup identik dengan kehidupanstartupadalah kebebasan berkreasi jika harus dibandingkan dengan profesi di korporasi pada umumnya. Hubungan itu juga bisa dilihat terjadi antara musik independen dan musik arus utama (mainstream).

“Pada dasarnya [saya] selalu menyadari bahwa kebebasan itu kebutuhan, tidak pernah tertarik untuk bekerja dalam perusahaan besar, dan sejak kecil memiliki idealisme pribadi untuk meninggalkan impak di dunia. Klise memang, tapi begitu adanya,” ujar Karaeng Adjie dariPolka Warsketika ditanya soal keputusannya untukmembangunstartupdia sendiri.

…di startup, kita dituntut untuk  memiliki rasa ‘own the product

Menanggapi soal kebebasan yang ditawarkan musikindiedanstartup,Ildo Hasman,drummerL’Alphalphayang juga beberapa kali ikut naik panggung bersamaThe Trees and the WilddanAdithia Sofyanmenambahkan, “Mungkin benang merahnya ada di rasa kepemilikan terhadap produk. Sebagai seorang manajer produk distartup, kita dituntut untuk  memiliki rasa ‘own the product‘, harus tahu seluk beluk produk dari hulu ke hilir dan bertanggung jawab terhadap perkembangannya.

“Di situ juga kadang idealisme kita disalurkan untuk berinovasi menghasilkan produk yang kita inginkan. Intinya jadiownerbukan sekadarworker.Sama halnya denganbandindependen, karena tidak ada campur tangan orang lain, jadi tanggung jawab ada di masing-masing personel. Mau seberapa maju, keren, dan inovatifbandtersebut ya kita yang tentukan,” ujar pria yang sebelumnya bekerja sebagai manajer produk diGO-JEKdan kini mengemban posisi yang sama diKMK Online.

Tidak jauh berbeda dengan rekan satu grup musiknya, Herald Reynaldo, vokalis L’Alphalpha sekaligusvideo grapherdiBukalapakmengungkapkan, “Saya suka musik, hampir segala macam saya dengar, kalau kenapa menjadi musisiindiemungkin karena saya bisa bebas bereksplorasi untuk melakukan apa saja di musik yang saya sukai.”

Hal ini juga menjadi sesuatu yang mendorong Herald merasa nyaman bekerja distartup. “Ada masa di mana saya menganggap tempat saya bekerja itu adalah sebuah ‘educational playground.’ Main-main yang saya maksud di sini adalah ketika keinginan bekreasi untuk membuat hal baru itu tinggi, dan saya bisa belajar hal-hal baru.”

L’Alphalpha

Kebebasan ini tentunya bukan tanpa harganya tersendiri. Menurut Marcel Thee, vokalisSajama Cutyang juga tergabung dalam berbagai grup serta memiliki proyek solo, tanggung jawab menjadi sesuatu hal besar yang diemban orang yang bekerja distartup.

“[Startup] meniadakan kepatuhan konvesional korporasi seperti jam kantor dan lainnya. Pada saat yang sama, ‘kebebasan’ berarti tanggung jawab yang lebih besar. Singkatnya, tidak seperti orang yang digaji tetap, pendapatan saya adalah refleksi langsung dan nyata dari kerja saya setiap bulannya. Begitu pulastartup,ketika orang kalah dengan kemalasannya, usahanya tidak akan berumur panjang,” jelas pria yang berprofesi sebagai konsultan di beberapa perusahaan, salah satunyaGorry Gourmet, dan juga menjadi penulis lepas di sejumlah media sepertiVicedanJakarta Globe.

Api dan lentera

Meskipun tidak banyak profesi yang bisa mendukung sepak terjang musisi independen, tapi hal tersebut jelas tidak berlaku untukKuassa.Startupyang bermarkaskan di Bandung ini didirikan oleh Grahadea Kusuf yang akrab disapa Dea bersama dengan rekan-rekannya.

HMGNC | Sumber:Shutter Beater

“Awalnya saya kerja di salah satu perusahaan IT asal Amerika Serikat di Jakarta, karena tugas saya saat itu bersentuhan langsung dengan developersoftwaredan komunitas, ada satu titik saya menyadari kalau Indonesia yang katanya sedangboomingindustri IT itu tidak punya satu pun merek teknologi ataupun properti intelektual yang kuat dan punya penetrasi pasar global.

“Banyak rekan saya yang mengeluh kalau mereka hanya mengerjakan proyek untuk perusahaan lain. Kebetulanpassionsaya itu di musik, jadi waktu saya ambil S2 di MBA-ITB, saya memutuskan jadientrepreneurdan memulai Kuassa dengan dua orang kawan yang juga aktif di dunia musikindie,sekalian proposal tesis saya waktu itu tentang Kuassa ini,” ujar pria yang juga merupakan pentolan grup musikHMGNCtersebut.

Kantor juga memberikan dispensasi khusus apabila ada band salah satu karyawannya yang akan menjalani tur luar kota, rekaman, dan semacamnya

Kuassa memang termasukstartupyang unik. Perusahaan dengan fokus mengembangkan produk pengolah audio profesional untuk digunakan musisi dan studio rekaman ini memiliki karyawan yang didominasi oleh personelband indie. Salah satunya adalah Pratama Kusuma, yang akrab disapa Tama,drummerdariband psychedelic rockSigmun.

“Saya melakukan [profesi saya] sebagai satu kesatuan, satu wadah, yaitu dedikasi di bidang musik. Pekerjaan kantor bisa juga sebagai pendukung saya dalam hal pengetahuan dan eksposur untuk bermusik di dalamband,begitu juga sebaliknya, kehidupan bermusik dibandsaya memberi kemampuan bagi saya juga untuk memahami bidang yang saya kerjakan di Kuassa,” ujar Tama yang sebelumnya juga terlibat dalam menggubah lagu untukgameDreadOut.

“[Di Kuassa] semua pekerjanya juga memilikibandmasing-masing, mereka juga yang mengajarkan saya berbagai macam pengetahuan tentangaudio engineering.Kantor juga memberikan dispensasi khusus apabila adabandsalah satu karyawannya yang akan menjalani tur luar kota, rekaman, dan semacamnya, hahaha,” tambah Tama.

Sampai jadi debu

Menekuni industri musik independen terkadang tidak bisa menjadi suatu profesi yang aman untuk dijalani. Semakin populer seseorang di industri ini pun jelas akan memakan waktu mereka, baik waktu profesional maupun personal. Lalu bagaimana para musisi yang memiliki dua dunia ini membagi waktu mereka, mengingat tidak semua tempat memiliki fasilitas seperti yang dimiliki Kuassa untuk para karyawannya? Dan seberapa penting bermusik dalam hidup mereka?

Ditanya soal ini, Marcel Thee pun mengutarakan pandangannya. “Musik sudah menjadi kebiasaan saya dari remaja, rasanya sudah alami untuk melakukan musik setiap saat saya tidak melakukan hal yang lain, misalnya urusan keluarga ataupun kerjaan. Selama tidak malas dan dapat membagi waktu, 24 jam sangat cukup untuk produktif di bekerja dan bermusik. Saya juga beruntung dikelilingi orang-orang yang memberikan saya kebebasan untuk berkarya.

Internet telah mengubah pasar musik menjadi wadah di mana seseorang remaja yang membuat musik di rumah dapat menghasilkan karya yang [sejajar] dengan musisi profesional

“Saya mencintai musik dan akan terus membuat karya musik. Kebetulan jenis musik yang saya buat adalah jenis musik yang hanya disukai khalayak musik tertentu. Di luar itu, industri musik pun sekarang sudah tidak dapat dibagi sebagai independen vs. nonindependen, karena semua perusahaan berada dalam lapangan bisnis yang sejajar, meskipun mungkin beberapa memiliki modal yang lebih besar. Internet telah mengubah pasar musik menjadi wadah di mana seseorang remaja yang membuat musik di rumah dapat menghasilkan karya yang [sejajar] dengan musisi profesional.”

Lain halnya dengan Marcel yang pekerjaannya sebagai konsultan dan penulis lepas tidak terlalu terikat dengan waktu, beberapa narasumber lain mengaku mereka hanya menerima tawaran manggung di hari libur atau akhir pekan saja. Meskipun begitu hal tersebut tidak mereka anggap sebagai sesuatu yang menyita waktu.

Sajama Cut

“Menyita waktu belum sampai sebegitunya, kecuali kalau memang sedang ada proyek yang akan ditelurkan diband,bisa-bisafollow upsana sini. Tapi jarang sih kayak begitu, palingan menyita beberapa waktu jika memang harus cuti keluar kota, izin pulang cepat, atau bahkan izin tidak ikutshootingproyek kantor. Kadang juga izin sebentar untuk manggung dan balik lagi ke lokasishootingkerjaan. Ya paling tidak harus tahu kapan perlu konsen ke kerja atauband,”ujar Purusha Irma, pemain biola L’Alphalpha yang berprofesi sebagai manajer proyek diMBDC Media.

Pandangan menarik soal ini juga diutarakan oleh Asad Gibran, vokalis grup musikindie popKaveh Kanesyang saat ini bertanggung jawab atas berbagai akun media sosialTech in Asia Indonesia. Menurutnya, bermusik hanyalah sampingan saja, tapi sesuatu sampingan yang sangat esensial.

Kaveh Kanes | Sumber:Shutter Beater

“Sebenarnya tidak terlalu menyita ya, karena profesi ini bukan profesi utama, tapi untuk dibilang sekadar sampingan juga salah karena saya membutuhkan ini. Saya butuh eksistensi karya, saya senang membuat apa yang kita rasakan jadi sebuah bentuk yang bisa didokumentasikan selamanya dan di situlah rasa puasnya.

“Jadi dari sini semuanya berjalan dengan saling melengkapi, pekerjaan sehari-hari saya akan membuat saya bisa terus membuat karya. Ketika semua berjalan seperti ini maka semuanya akan terasa natural dan tidak dipaksakan. Ini juga yang membuat saya senang bekerja diTech in Asiakarena salah satu kultur dari perusahaan kami adalah ‘Work+Life’, dan menurut saya itu sangat penting,” ujar Asad.

Mungkin seandainya tidak ada grup musik ini, saya akan gila

Hal yang kurang lebih mirip pun disampaikan oleh Dea. “Bermusik itu sekarang adalah bagian ‘me-time‘ saya. Sudah tak terhitung waktu yang saya habiskan untuk membuat musik, dan saya merasa lebih hidup dengan karya-karya yang saya hasilkan bersama rekan-rekan saya. Jadi aktivitas lain seperti maingame,nonton film seri, dan bacamangadiganti bermusik.”

Melihat jawaban-jawaban yang masuk, tidak mengherankan memang musisi-musisi independen ini memilih jalur yang mereka ambil karena kebebasan berkreasi dan agar tidak terikat dari jam kerja yang ketat seperti musisi pop pada umumnya. Contohnya seperti Herald yang mempunyai alasan personal sendiri mengapa ia masih bermusik di kancah independen.

“Menyita waktu sih sebenarnya cukup adil seimbang, karena kebetulan di L’Alphalpha semua berkarier di luarband,pekerjaan utama kami masih jadi prioritas. Memang dari awalnyabandkami dibentuk sebagai tempat rekreasi, bersenang-senang, atau tempat kamipulangdari segala kejenuhan yang kami alami di pekerjaan masing-masing. Mungkin seandainya tidak ada grup musik ini, saya akan gila,” tutur Herald.

Pasar bisa diciptakan

Satu hal yang menarik, ketika ditanya soal kelebihan dan kekurangan bekerja distartupserta hidup sebagai personelbandindie, semua narasumber memberikan jawaban yang kurang lebih mirip yaitu soal kebebasan.

Kebebasan pun ada yang hadir dalam bentuk kreativitas, berekspresi, atau untuk berinovasi. Namun tentunya semua itu hadir dengan tanggung jawab besarnya tersendiri. Bisa saja produk yang dikerjakan tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat, atau musik yang dibuat tidak bisa memuaskan penggemar. Tapi seperti kata Efek Rumah Kaca … Pasar bisa diciptakan.

(Diedit olehPradipta Nugrahanto)

The postMengapa DuniaStartupBegitu Cocok dengan Musik Indie?appeared first onTech in Asia Indonesia.