Mengapa Susah Mencari Warteg di Go-Food?

pada 5 tahun lalu - by

Ada guyonan yang akrab sejak beberapa tahun lalu, tentang warteg yang sudah lama memakai teknologi layar sentuh.

Maksudnya: pembeli menunjuk lauk yang ada di dalam lemari kaca, danwuss, lauk sudah ada di piring. Guyonan itu jadi lucu karena menabrakkan dua hal yang bertolak belakang. Layar sentuh adalah perlambang teknologi digital yang jauh dari warteg, tempat makan yang dicitrakan tradisional, pula konvensional. Seiring perkembangan dunia digital yang makin kencang, warteg pun seolah memangkas jarak dengan apa-apa yang beraroma digital.

"Coba cari warteg saya di Google, ada lho," ujar Hadi, pengelola warteg Hadi yang terletak di Limo, Depok.

Sekitar 0,09 kilometer dari warteg Hadi, ada gerai King of Kebab. Dan hanya berjarak sekira 100 meter dari warteg Hadi, ada pula Warung Kenyang. Mereka semua sama-sama muncul di Google. Bedanya: warteg Hadi tak muncul di layanan Go-Food, layanan pengantaran makanan berbasis aplikasi milik Go-Jek, yang diklaim telah bekerjasama dengan sekitar 300.000 merchant. 

“Nggak pernah ditawarin (masuk) Go-Food. Ngga paham kayak gitu dan ngga (mau) daftar juga,” urai Hadi.

Menurut Hadi, dia tak mau ikut Go-Food karena menganggapnya merepotkan. "Harus main hape terus," ujarnya. Menurutnya, dia lebih suka mengelola warung dengan apa adanya, sesuai dengan apa yang dilakukannya sejak 23 tahun lalu. Selain warteg Hadi, banyak warteg yang juga tak muncul di Go-Food. 

Di kawasan Kemang Timur, tak jauh dari kantor pengemudi Gojek, tercatat ada tujuh warteg. Dari semuanya, hanya satu warteg yang tersedia di Go-Food, yakni Di Warteg, sebuah warteg yang mengawinkan konsep warteg dan kafe. Bisa dibilang Di Wareg adalah warteg modern yang menyasar kalangan menengah.

Puput, pengelola warteg Timbul Jaya Baru, mengatakan bahwa wartegnya pernah diajak bergabung dengan Go-Food. Pada akhirnya, Puput memilih tak bergabung dengan alasan yang sama seperti Hadi: bingung. Salah satu poin yang membuatnya bingung adalah perihal harus ada harga kortingan.



Salah satu alasan sukarnya warteg bergabung dengan Go-Food adalah ketiadaan menu paket di warteg. Menu di warteg memakai konsep prasmanan. Pembeli akan memilih sendiri jenis lauk yang dihidangkan secaraa la carte. Sedangkan banyak pembeli Go-Food memilih menu paket, misalkan paket pecel ayam, atau paket soto Bogor, dan sebagainya.

Aristo Kristandyo, VP Marketing Go-Food, secara tersirat mengiyakan bahwa merchant-merchant yang bergabung ke Go-Food harus memiliki paket makanan, yang disebutnyastock keeping unit(SKU). “Merchant-merchant kami membuat menu-menu itu jadi paket. Dia harus membuatkan paket. (Dalam kasus warteg), wartegnya akan menyatukan. Misalnya nasi ayam tempe orek menjadi paket A. (Paket A itu) didaftarkan jadi stock keeping unit (SKU)," ujarnya.

SKU memudahkan pelanggan Go-Food untuk membeli makanan-makanan yang dijual. Aristo menyebut pembuatan menu paket dalam aplikasi Go-Food memudahkan pembeli dalam melakukan transaksi. Meski begitu, gaya konvensional warteg yang menjajakan makanan secara satuan juga bukanlah masalah. Menurut Aristo, menjual hanya nasi, hanya tempe orek, ataupun hanya telur dadar bisa juga dianggap 1 SKU. Secara sistem, Go-Food telah siap.

“Dari pihak Go-Food ngga ada kendala memasukkan warteg, ini memang sebuah proses,” tutur Aristo. “Itu menjadi salah satu keinginan kami merangkulsmall medium enterprises,” lanjutnya.


Sedangkan untuk "diskon" yang dibilang Puput, itu adalahfeedari harga makanan yang dijual via aplikasi. Catherine Hidra Sutjahyo, Chief Commercial Expansion Go-Jek, mengungkapkan fee  yang diambil  Go-Jek pada makanan, dilakukan dengan hati-hati, melibatkan grup sales Go-Food yang duduk bersama penjual makanan untuk merumuskan harga agar kedua belah pihak “tetap mengembangkan bisnisnya dengansustainable.”

Catherine mengakui, terdapat beberapa merchant yang menaikkan harga makanan jualan mereka di Go-Food dibandingkan membeli langsung. “Harga dinaikkan itu bukan solusinya. Ada beberapa merchant memilih seperti itu. Dari Go-Food adacutdari merchant yang sudah kita hitung baik-baik,” tegas Catherine.

Lezatnya Dunia Pesan Antar


Go-Food merupakan layanan pengantaran jenis baru di dunia yang serba diisi oleh aplikasi ponsel pintar. McKinsey & Company menyebut, layanan seperti Go-Food ini disebut sebagai layanannew delivery. Ini merupakan tipe layanan pengantaran makanan yang dibantu pihak ketiga, dalam hal ini penyedia aplikasiall-in-one. Selain Go-Food yang disediakan Go-Jek, ada pula GrabFood yang disediakan Grab, dan UberEats yang disediakan Uber. Selain disediakan aplikasi transportasi online, ada pula layanan new delivery yang dibangun secara khusus, misalnya Foodpanda.



McKinsey & Company menyebut bahwa pasar pesan antar makanan berada di angka 83 miliar Euro di seluruh dunia. Meskipun terlihat besar, angka tersebut hanya 1 persen dari keseluruhan pasar makanan di dunia. Atas kehadirannew delivery, pasar makanan pesan antar diperkirakan meningkat.

Beberapa alasannew deliveryakan mampu meningkatkan pasar pengantaran makanan, menurutMcKinsey & Company, karena platform seperti Go-Jek telah lengket hidup dengan masyarakat. Selain itu, platform sanggup memberikan personifikasi berbasis algoritma, yang akan membuat penggunanya dijejali makanan-makanan yang sesuai selera mereka. Lantas,new deliverybisa menggema karena sukses menghemat waktu para penggunanya untuk memperoleh makanan.

Go-Jek memperkenalkan Go-Food pada 1 April 2015. Pada Maret 2017, layanan itu mengklaim telah “menerima pengiriman makanan melebihi jumlah pesanan yang diterima seluruhstartupmakanan di Indonesia.” Kini, ada sekitar 300 ribu gerai makanan yang telah bekerjasama dengan Go-Food. Besarnya gerai yang bergabung didukung oleh lebih dari 1 juta pengemudi Go-Jek.

Selain Go-Food dari Go-Jek,new deliverydi Indonesia disediakan oleh Grab melalui GrabFood. GrabFood mulai beroperasi di Indonesia melalui masa uji coba (beta) pada 2 Mei 2016 lalu, yang hanya bisa dilakukan di SCBD, Semanggi, Kuningan dan Senayan, dan tersedia setiap hari pada pukul 11:00 – 14:00 WIB.

Masuknya GrabFood di Indonesia merupakan kelanjutan dari hadirnya GrabFood diSingapura. Di Singapura sendiri, GrabFood hadir untuk menyasar 4.000 restoran dan 12.000 penjual makanan asongan/kaki lima yang belum memiliki sistem pengantaran makanan sendiri.
Baca juga artikel terkaitGO-FOODatau tulisan menarik lainnyaAhmad Zaenudin