Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Populasi harimau Sumatera di hutan Aceh kini berada di ujung tombak kepunahan. Seiring maraknya perburuan liar, perambahan serta aktivitasillegal logging. Mengakibatkan areal jelajah atau rumah harimau itu sendiri semakin menyempit. Sejatinya satwa dilindungi itu memiliki hak untuk hidup tapi terusik ulah tangan jahat manusia.

Difasilitasi Forum Konservasi Leuser (FKL)kumparanbersama beberapa jurnalis di Aceh, menelusuri jejak koridor harimau Sumatera di kawasan Beutong, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Pagi Sabtu (10/11), langit di Nagan Raya sedikit mendung. Kabut asap menyelimuti pepohonan dan jalan lintas nasional penghubung antara dua kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah. Menempuh jarak 2 jam perjalanan, rombongan tiba di pinggiran leuser tepatnya di kawasan Beutong Ateuh, Nagan Raya.

Berada di ketinggian sekitar 700 meter dari pemukaan laut. Pak Jol, sopir yang membawa kami tiba-tiba menghentikan mobilnya. Dua anggota FKL Abu dan Bahtiar, turun dan berjalan menelusuri pinggiran hutan hingga masuk ke dalam semak-semak. Sementara rombongan lainnya, tetap berada di dalam mobil sambil menyaksikan hijau dan lebatnya hutan Leuser di depan mata.

Abu dan Bahtiar merupakan anggota FKL wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat. Keduanya berjalan kaki untuk memeriksa aktivitas perburuan yang terjadi di wilayah Beutong. Sepekan yang lalu mereka berhasil menemukan adanya perangkap atau jerat harimau yang dipasang oleh pemburu di kawasan setempat. Namun saat rombongan tiba di lokasi, perangkap tersebut telah hilang.

“Bang, enggak ada lagi perangkap harimau yang kami temukan hari itu,” kata Bahtiar sambil terengah-engah kepada Ibnu Hasyim, Manager Database FKL di dalam mobil.

kumparanbersama rombongan kemudian turun dan berjalan tak jauh dari mobil ke lokasi bekas ditemukannya perangkap harimau tersebut. Setiba di sana, tulang belulang bekas hewan liar yang diletakkan oleh pemburu untuk memancing harimau terlihat berserakan di tanah. Tak hanya itu, tali dan kawat baja juga terletak di sekitaran lokasi.

“Ini bukti bahwa aktivitas perburuan di kawasan koridor Harimau Sumatera di wilayah Beutong kerap terjadi,” ucap Ibnu, sambil memperlihatkan bukti temuan perangkap tersebut.

Rombongan kemudian kembali melanjutkan perjalanan, kabut asap semakin tebal dan menutupi jalan. Namun di sepanjang perjalanan itu pula, kerusakan hutan di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) terlihat jelas di depan mata. Bahkan di beberapa titik, kerusakan tepat berada di pinggiran jalan.

Abu dan Bahtiar serta beberapa rombongan jurnalis kemudian kembali turun dan berjalan melihat fenomena kerusakan hutan tersebut. “Tidak ada lagi hutan tuhan,” ucap Abu mengusap wajahnya, sambil menujukkan ke arah sejumlah pohon yang ditebang.

Sementara dari dalam mobil, Ibnu mengelengkan kepalanya saat menatap fenomenan tersebut. “Bisa melihat hutan saja hati saya sudah senang sekali, tetapi kenapa ada orang jahat yang mau merusaknya,” keluh Ibnu.

Ibnu juga kehabisan akal saat dirinya mengingat ulah manusia yang tega dan keji memburu, serta membunuh satwa yang seharusnya hidup harmonis dan berdampingan dengan manusia.

“Mereka juga memiliki hak untuk hidup seperti manusia. Tetapi kenapa ada yang keji sekali ingin membunuh mereka,” ucapnya menatap hutan Leuser.  

Kawasan Beutong, Nagan Raya tercatat sebagai salah satu wilayah dengan populasi Harimau Sumatera yang masih banyak terdapat di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kendati demikian, dikhawatirkan maraknya aktivitas pembalakan liar, perambahan, dan perburuan akan terjadi konflik antara satwa dan manusia.

“Akhir 2017 lalu kita telah menemukan perangkap besar Harimau. Dari bentuk perangkap yang ditemukan memang diperuntukkan untuk memburu harimau. Harimau ini sifatnya dia akan mencari lokasi lain ketika habitatnya aslinya itu diganggu, dia akan turun ke perkampungan. Ini yang kita khawatirkan selanjunya,” kata Ibnu.

Untuk menjaga satwa kunci itu dari kepunahan itu, FKL telah membentuk tim ranger yang bertugas melaksanakan patroli selama 15 hari di dalam hutan setiap bulannya. Para ranger ini ditugaskan untuk memantau satwa liar dan juga satwa kunci seperti gajah, orangutan, harimau, dan badak.

Di kawasan Beutong, dua tim ranger dikerahkan setiap bulannya untuk berpatroli dan melaporkan setiap temuan di lapangan. Mulai dari aktivitas mencurigakan seperti pemburu hingga jejak satwa. 

“Tim patroli selalu mencatat semua tanda yang berhubungan dengan keberadaan harimau itu sendiri. Mencatat seperti kotorannya, bekas makanan seperti bulu atau bahagian dari satwa buruan harimau, cakaran, dan jejak tapakya. Di tahun 2018, Januari hingga September kita menemukan sekitar 192 tanda jejak harimau. Itu tersebar di areal Beutong dan sekitar jalan,” ucap Ibnu. 

Koridor harimau Sumatera di areal Beutong juga terhitung cukup luas. Per semester (enam bulannya) para ranger menelusuri sekitar 15 ribu hektare. Selain mereka juga terdapat 2 tim ranger yang berpatroli di kabupaten Bener Meriah dan ke arah kabupaten Gayo Lues. Ke enam tim ini, berpatroli dengan luas wilayah 46 ribu hektare per semesternya.

Masa Depan Harimau Sumatera

Maraknya perburuan harimau Sumatera menurut Ibnu, disebabkan oleh faktor budaya dan kearifan lokal yang hilang di tengah masyarakat serta pengaruh nilai ekonomis dari harga jual kulit harimau itu sendiri. Pergeseran nilai itu menjadi faktor, salah satunya tergiur oleh uang.

Ibnu menjelaskan, orang tua dan nenek moyang Aceh zaman dulu terkenal dengan kearifan lokalnya di mana mereka bersahabat dengan harimau. Kisahnya orang tua terdahulu, mempercayai harimau itu sebagai penjaga hutan dan hutan itu diciptakan oleh tuhan untuk bersahabat dengan manusia. Kata Ibnu, harimau malah akan menjaga manusia jika tidak mengganggunya.

“Orang tua dulunya menganggap harimau itu sebagai kawan atau sahabat. Tapi kenapa saat ini banyak yang menganggap harimau itu menjadi hama. Orang dulu tidak mengincar uang dengan cara menjual kulit harimau. Makanya saya bilang ada pergeseran nilai, orang sekarang mengincar atau membunuh harimau karena kulitnya itu memang nilai jualnya sangat fantastis,” kata Ibnu.

Ibnu mengajak semua pihak terkait dan aktivis lingkungan untuk sama-sama menjaga satwa kunci yang masih tersisa di hutan Aceh ini. Karena kata dia, jika tidak seiring berjalan waktu hewan ini akan semakin punah.

“Kalau tidak dimulai dari sekarang untuk penyelamatannya maka sangat besar peluangnya untuk punah. Sejatinya rumah yang paling bagus untuk harimau itu adalah berada di KEL. Dari seluruh kawasan di Sumatera, hutan yang paling bagus saat ini adanya di sana. Nah, apabila di KEL ini terjadi tekanan yang sangat kuat. Maka saya tidak tau lagi di mana rumah harimau itu yang paling bagus,” pungkasnya.