Meraba Jejak Utusan Nabi Muhammad di Tiongkok

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Ada sebuah hadits yang sampai saat ini masih diperdebatkan mengenai pesan Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China". Di luar perdebatan itu, sebuah fakta sejarah mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Tiongkok sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup.

Hal itu terungkap dari jejak kedatangan penyebar Islam ke Negeri Tirai bambu itu pada kurun 618-626 Masehi, sedangkan masa hidup Nabi Muhammad SAW pada kurun 571-634 Masehi.

Penyebar Islam di Tiongkok itu berjumlah empat utusan Nabi Muhammad SAW yang berdakwah ke Tiongkok, yakni seorang utusan di Guangzhou, seorang utusan di Yangzhou, dan dua utusan di Quanzhou.

Jejak keempat utusan Nabi Muhammad SAW itu dapat ditelusuri di Quanzhou Islamic Culture Exhibit yang berada dalam komplek Quanzhou Maritime Museum di Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok.

"Jejak kedatangan utusan Nabi Muhammad SAW ke Tiongkok pada kurun 618-626 Masehi itu menunjukkan Islam datang lebih dulu ke Tiongkok daripada Indonesia, bahkan sebagian penyebar Islam di Indonesia juga berasal dari Tiongkok," kata pengamat budaya dan bahasa Indonesia, Prof Cai Jincheng MA.

Sementara itu seorang petugas Quanzhou Maritime Museum, Sun Wanlin, mengatakan ada ratusan batu berisi catatan tertulis perkembangan Islam, Kristen, dan Hindu yang tersimpan di museum.

"Ratusan batu yang tersimpan di museum yang dibangun pada tahun 1991 itu merupakan temuan saat Pemerintah Provinsi Fujian membongkar tembok Kota Quanzhou," katanya.

Menurutnya ratusan batu berisi catatan masuknya Islam ke kota itu tidak hanya tulisan Tiongkok, namun juga tulisan Arab yang merupakan potongan ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi.

Quanzhou Maritime Museum juga menyimpan foto dan replika makam dari dua utusan Nabi Muhammad SAW yang wafat di Kota Quanzhou, bahkan replika makam itu membuktikan kedua utusan nabi itu dimakamkan dalam posisi berdekatan.

Secara umum, jejak sejarah yang tersimpan di museum itu berawal dari hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan sejumlah negara, karena itu museum itu dinamai Quanzhou Maritime Museum. Museum itu juga menyimpan kapal atau perahu pada awal tahun 600-an Masehi.

Hal menarik dari Quanzhou Maritime Museum adalah 'penampakan' jejak sejarah dalam bentuk video yang mengisahkan kedatangan perahu dari dan ke Kota Quanzhou pada awal tahun 600-an.

Meski bercerita masa lalu, Quanzhou Maritime Museum di Provinsi Fujian bisa menjelma menjadi museum yang menarik, karena unsur kekinian yang ada di dalamnya, seperti video, foto, dan bukti-bukti sejarah yang dibuat dalam wujud tiga dimensi.

Tidak hanya museum, Gunung Putuo di sebuah pulau kecil perairan Kota Zhoushan, Provinsi Zhejiang, juga dikunjungi ribuan orang setiap harinya untuk melakukan wisata religi yang menyimpan banyak cerita rakyat di dalamnya.

"Untuk mencapai pulau seluas sekitar 12 kilometer persegi dengan ikon patung Dewi Kwan Im itu, pengunjung menumpang kapal ferry dari Pelabuhan Wugongzhi menuju Pelabuhan Putuoshan dengan jarak tempuh sekitar 10 menit," kata Prof Cai Jincheng.

Mantan Ketua Pusat Studi Indonesia di Universitas Guangdong, China, itu menjelaskan pulau dengan sekitar 43 kuil itu juga memiliki "cerita rakyat" yang menarik orang untuk berkunjung.

Cerita rakyat yang terpatri dalam sebuah ukiran batu di dinding Kuil Dewi Kwan Im serta batu bertuliskan huruf Tiongkok di depan kuil yang sama itu mengisahkan seorang biksu dari Jepang dan India yang percaya kepada Dewi Kwan Im.

Pulau Putuo dihuni sekitar 1.000 biksu dan sekitar 10 ribu orang penduduk lokal serta pendatang yang bekerja di restoran, hotel dan menjadi pedagang, sehingga pulau itu juga menarik bagi wisatawan tua dan muda.

Lain halnya di Provinsi Fujian, sejumlah bangunan bersejarah di Pulau Gulangyu, Kota Xiamen, Provinsi Fujian yang pernah menjadi jajahan beberapa negara juga ditata menarik bagi wisatawan tua-muda.

Bahkan, salah satu pulau yang hanya memiliki luas 1,8 kilometer persegi itu juga menjadi destinasi foto "pra-wedding" bagi pasangan muda Tiongkok yang akan menikah.

Gulangyu adalah salah satu dari tempat pertama masuknya warga asing di era kolonial.

Pulau ini juga dikenal pula sebagai Pulau Musik, karena warga Filipina di zaman itu membawa alat musik, terutama piano. Tahun 2000, museum piano dibangun di pulau itu.

Jejak warga eropa di pulau yang juga disebut 'Kulangsu' (deburan ombak) itu tampak dari desain bangunan yang berarsitektur Victoria.

Paduan sejarah dengan sentuhan modern serta sajian kuliner dan cinderamata, menjadikan Gulangyu dikunjungi sekitar 50 ribu wisatawan per hari.

Berita Terkait