Merasa Miskin?

pada 6 tahun lalu - by

Prof. Rheinald Kasali menulis sebuah artikel perihal orang-orang kaya yang ia kenal. Sebuah riset sungguh-sungguh merujung pada simpulan menarik. Bahwa, belakangan semakin banyak orang kaya yang merasa “miskin”. 

Seolah-olah beban ekonomi mengempaskan mereka dan bukan orang-orang lain yang hidup benar-benar hanya bersandar pada keyakinan akan rejeki yang tak tertukar:bekerja hari ini untuk hidup hari yang sama.

Lebih menarik lagi, hasil penelitian mandiri itu pun menyimpulkan, orang-orang kaya yang merasa miskin itu lebih banyak hidup dalam dunianya sendiri. Uang mereka untuk mereka sendiri. Mengeluhkan kurs dolar tapi pada saat yang sama menikmatinya dengan melepas properti dengan rasionalisasi tukar rupiah terhadap mata uang Amerika itu.

Pada saat yang sama, orang kaya yang hidup bersama realitas masyarakat dan berusaha memecahkan permasalahan sosialnya justru punya gaya hidup yang sama sekali berbeda. Orang-orang berduit yang senang berbagi, aktif dalam kegiatan sosial, berusaha membuka lapangan pekerjaan, sedikit sekali mengeluh.

Saya menduga-duga apa penyebabnya, lalu menemukan konfirmasinya dua hari ini. Dalam dua hari berurutan, saya kedatangan tamu istimewa. Pertama suami-istri yang ramah bukan main; murah senyum, lembut nian lisannya, namun menggelegar apa yang sudah mereka lakukan.

Sang suami adalah seorang dokter praktik di sebuah kawasan yang jauh dari kota. Sedangkan sang istri adalah apoteker yang juga investor berbagai proyek properti dan pemilik travel haji dan umrah. Kami mengobrol lama dan saya segera merasakan, apa yang sedang dan pernah saya usahakan benar-benar tidak ada apa-apanya.

“Saya sedang bikin sabun,Bah. Bentuknya boneka. Bisa diisi ulang. Nah, yang bikin bonekanya itu anak-anak yatim yang kami berdayakan,” ujar 

Apoteker yang saya mesti mengenyahkan suara di sekeliling saya setiap menyimak kalimat-kalimatnya. 

Bukan lirih tak bertenaga. Teteh ini memang lembut niat jika berbicara. Bahkan, ketika semangatnya jelas berapi-api.

Akang Dokter yang duduk di sebelahnya, di serambi kami yang berdebu, sesekali menimpali, melengkapi, tapi jelas tidak sedang berlomba dengan belahan hatinya.

“Sekarang sudah ada 30 varian bonekanya. Anak-anak, kan, senang mandi sambil main boneka,” katanya menerangkan. 

Saya kagum sekali bagaimana suami istri ini mengungkap hal-hal besar yang sudah mereka lakukan tanpa terasa mengunggulkan diri sama sekali. Saya rasa, itu bisa terjadi karena memang ketulusan di sebalik apa yang mereka lakukan. 

Bahkan, saat menyebut-nyebut pertemuan dengan bupati, walikota, Feny Rose, saat bertandang ke Malaysia untuk keperluan produknya, saya merasa didongengi. Tidak sedang diguyur kepongahan. 

Saya berkali-kali mendengar orang lain menceritakan hal-hal yang mirip dan terasa benar mereka sedang memosisikan diri lebih tinggi dalam obrolan kami. Suami-istri hebat ini tidak sama sekali.

Berawal dari praktik dokter jauh dari kota besar, beranak-pinaklah apa yang keduanya lakukan. Menggagas ambulans motor yang menembus kampung-kampung berjalangerunjaldan tak bisa dimasuki mobil, lalu si Teteh mulai melakukan penyuluhan kesehatan di pelosok-pelosok itu. Seringnya menembus wilayah-wilayah yang jauh itu, karena ilmunya, ia menemukan begitu banyak potensi menakjubkan.

Mulai dari limbah cengkih, jeruk peras, kulit jeruk, macam-macam buah, sereh wangi, opak, sampai tanah liat yang semuanya masuk lab dan menjadi produk bernilai tinggi. Saya benar-benar baru tahu, bahkan tanah liat bisa menjadi masker penghalus wajah. 

Jadi, suami-istri ini menemukan kandungan “rupiah” pada limbah para petani yang biasa dibakar dan dienyahkan. Memastikannya ke lab lalu memproduksinya dalam jumlah besar. 

Para petani pun mendapat tambahan pemasukan. Membuat opak, makanan yang sudah tergerus zaman itu menjadi camilan bernilai tinggi, ketika diekspor ke luar negeri.

“Opak itu potensinya luar biasa,Bah. Kita ekspor ke Malaysia. Dari Malaysia dijual lagi ke Eropa. Sayangnya, memang produksinya kurang. Ibu-ibu di desa belum bisa digerakkan seperti di pabrik. Bikin opak, ya, kalau sudahngarituntuk hewan ternak. Padahal nilai ekonominya lumayan banget.”

Saya menyimak dengan bahagia apa yang diceritakan pasangan yang juga tampak bahagia ini. Bahkan, sewaktu menceritakan tantangan-tantangannya. Di desa, menggerakkan para ibu yang sebenarnya jelas membutuhkan bantuan itu tidak mudah. Sebab, mereka biasa hidup apa adanya. 

Meski di beberapa daerah yang terdampak pembangunan waduk, para ibu sudah banyak yang pergi ke kota untuk menjadi asisten rumah tangga, sedangkan para suaminya menghabiskan waktu untuk memancing. Hasil memancing dijual murah saking banyaknya ikan yang diambil dari waduk, setiap hari.

“Antisipasi dampak pembangunan waduk itu sudah ada,Bah,” Kang Dokter menimpali,”... tapi tidak ada pendampingan. Jadi pelatihan-pelatihan dari pemerintah yang tidak ada bekasnya.”

Kami membicarakan perihal ribuan keluarga yang tercerai-berai di sekeliling waduk raksasa itu. Bahwa, selain melimpah juga manfaatnya, tidak bisa ditutupi, masalah sosial yang mengikuti pun susah ditanggulangi. 

“Kami sedang berusaha membantu mendirikan sekolah terbuka untuk anak-anak di sekitar sana. Angka putus sekolah sangat tinggi, biaya tidak ada, rata-rata sekolah pun menolak menerima karena dianggap IQ mereka kurang.”

Si Teteh lalu mengeluarkan puluhan kemasan masker wajah dari bagasi mobilnya, lalu saya membacanya satu per satu sambil geleng-geleng kepala. Indonesia iniedanbenar memang anugerah yang disemai Tuhan ke setiap jengkal tanahnya. 

Tidak ada yang terbuang. Semua macam buah, tumbuhan, bahkan tanah liat bisa dijadikan bubuk peranum kulit, penghalus wajah. Saya tak bisa lagi menghitung, berapa keluarga yang sudah tertolong dan diberdayakan dalam prosesnya. 

Saya semakin merasa belum melakukan apa-apa. Tapi, setidaknya, saya membuktikan apa yang dikatakan Prof. Kasali. Dua sahabat baik ini adalah contoh orang berkecukupan yang tidak berhenti berbagi. 

Selalu bergerak untuk memberdayakan orang-orang yang memerlukan. Tidak satu kali pun saya mendengar keluhan dalam cerita keduanya. Semua dalam optimisme dan keinginan untuk menolong.

Saya bersyukur mengenal keduanya, juga banyak orang-orang berkecukupan lain yang pernah hadir di serambi kami yang berdebu dan membagi kisah mereka dengan menggebu-gebu.

Sehari setelahnya, serambi yang sama kedatangan tamu lain. Pria seumuran saya, tapi masih panjang rambut ikalnya, dikucir bak pendekar. Kami duduk berhadapan di kursi panjang, sama-sama kaki terangkat dan merasa bebas melakukannya. 

Dia seorang pencari rumput di sekitar perumahan kami yang berada di punggung gunung. Setiap hari, itu yang dia kerjakan untuk memberi makan tiga anaknya.

Anak laki-lakinya yang paling besar baru saja lulus SMP. Berhenti di tingkat itu, seperti ayahnya ketika masih muda. Akang ini menikah ketika usianya baru lima belas tahun. 

Bahkan, umurnya mesti dituakan oleh pegawai kantor desa supaya boleh jadi pengantin. Sekarang, sementara anak saya baru sembilan tahun, dia sudah siap-siap punya mantu.

“Saya tanya anak saya, siapa tahu sudah pengen kawin. Katanya nanti saja kalau sudah kumpul uang,” katanya sembari tertawa. 

Adik perempuan kesayangan si Akang ini baru meninggal seminggu lalu tanpa sebab yang pasti. Hanya merasa sesak napas selama satu jam, lalu meninggal di puskesmas bersama bayi sembilan bulan dalam kandungannya. 

Dia datang hari itu ke rumah saya membawa singkong sebagai oleh-oleh dan berterima kasih karena saya memarahinya ketika dia petang-petang ke rumah dan minta “pekerjaan” padahal jarinya nyaris putus terkena parang ketika sedang mencari rumput. 

“Sayateh, kepikiran adik saya,Bah, waktu kena parang itu. Meninggal mendadakatuh da. Masih muda. Baru dua puluhan awal.” ujarnya.

Dia mengatakan ini setelah jarinya dibalut rapi oleh dokter dan rutin minum obat anti-infeksi. Iya, dia takut dijahit. Mau diobati apa saja yang penting tidak perlu ada jarum yang menusuk-nusuk kulitnya.

Beberapa hari sebelumnya, dia ke rumah saya lepas maghrib dan hari gerimis. Dia berharap ada pekerjaan di rumah. Menggali, bersih-bersih rumput, atau apa saja. Saya mengiyakannya dengan syarat, setelah itu dia pergi ke puskemas segera. 

Petang itu, jarinya yang dibalut sekenanya sudah membengkak dan mengelap warna kulitnya. Khawatir juga jarinya infeksi. Sudah banyak cerita kejadian yang sama berakhir dengan amputasi.

“Anaknya nggak pengen sekolah apa, Kang?” tanya saya mengalihkan topik obrolan.

“Saya suruh,Bah. Anaknya tidak mau. Maunya kerja di pabrik benang gelasan,” katanya dengan jenaka.

"... adiknya yang cewek kayaknya semangat. Saya sudah siapkan kambing kalau perlu biaya buat bayar sekolah.” lanjutnya.

Akang ini punya empat ekor kambing hasil nengah: memelihara kambing orang lain dan mendapatkan bagian ketika kambingnya beranak. Ibu-bapaknya juga punya pekerjaan sama. Lalu anaknya juga kemungkinan akan bernasib sama. 

Tapi, tidak sekali pun saya mendengar dia mengeluh. Bahwa, hidup susah, bahwa harapannya akan masa depan runtuh.

“Didorong terus saja, Kang, anak perempuannya. Tidak harus pintar di mata pelajaran. Apa ajawee...Pokoknya yang dia suka, kejar jadi prestasi. Da jalan sukses, mah, macam-macam,” kata saya.

“Iya,Bah. Anak perempuan sayamahsuka nari. Kalau ada pentas selalu saja disuruh menari,” kisahnya dengan semangat yang sama.

“Dukung terus,” kata saya gembira.

"...sekolah terus. Mungkin sekolah tidak menjamin sukses, tapi dari sekolah anak kita bisa jadi memperoleh jalur memperoleh kesuksesan. Harus semangat, Kang, biar hidup anak-anak kita sesuai yang mereka butuhkan. Lebih baik daripada kita.” lanjutku.

Itu kalimat sok tahu. Saya tidak tahu persis apa yang si Akang ini inginkan. Siapa tahu, hidup apa adanya adalah kebahagiaan bagi dia dan keluarganya. Kadang manusia yang merasa modern mengukur segala hal dengan alat ukurnya sendiri.

Saya agak menyesal mengatakan hal itu. Tapi, si akang mengangguk-angguk. Dia tampak bahagia-bahagia saja.

Saya pun jadi mendapat sebuah simpulan tambahan. Bukan hanya orang kaya yang jarang mengeluh yang sadar dia lebih banyak punya hal untuk disyukuri. Orang yang tak berlimpah uang pun bisa merasa kaya ketika pandai bersyukur dan sesedikit mungkin mengeluh. 

Sebaliknya, manusia yang semakin banyak mengeluh, semakin sedikit bersyukur. Terus mengeluh hingga benar-benar tak punya alasan untuk bersyukur.