Mitos dan Legenda di Balik Bisnis Wisata Mistis

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

“Bang, sate ya. Tapi dibakarnya jangan gosong-gosong kayak saya.”

Kalimat “menyeramkan” itu konon bagian dari cerita yang dialami tukang sate yang mangkal di depan Mall Citra Klender, pada suatu malam pasca-Tragedi Mei 1998. Cerita itu muncul setelah ratusan orang mati terbakar dalam kerusuhan yang terjadi. 

Cerita itu bukan sekadar cerita untuk menakut-nakuti. Ia menunjukkan dimensi lain tentang betapa mengerikannya apa yang terjadi dalam kerusuhan tersebut. 

Kita tak hidup di ruang hampa makna. Setiap cerita misteri, baik kamu percaya atau tidak, menunjukkan manifestasi kebudayaan tertentu. 

Antropolog Utah University, Diane Goldstein dan tim, menulis dalam buku berjudulHaunting Experiences: Ghosts in Contemporary Folklore, bahwa “Cerita hantu mengungkap bagaimana budaya memanifestasikan dirinya melalui remang-remang cahaya, ruang-ruang yang penuh dengan ketidakpastian dan segala kemungkinan.” 

Lebih lanjut, buku tersebut juga menyebut bahwa narasi supranatural bisa membawa perdebatan tentang isu-isu terkait kenyataan, fiksi, dan persepsi dalam bungkus kepercayaan rakyat.

Seperti, perdebatan “menurutmu, hantu itu benar ada atau tidak?” yang akan terus langgeng dalam spektrum kepercayaan rakyat. Tanpa peduli segala jenis penjelasan ilmiah yang membuktikan hantu ada atau tak ada. 

Sebab ini soal kepercayaan isi kepala yang berbeda-beda pada tiap manusia dan tidak untuk diseragamkan. 

“Jangan tanyakan cerita (mistis) itu benar atau nggak. Cerita itu benar ada di masyarakat,” kata Hilarius Taryanto, Dosen Antropologi Fisip Universitas Indonesia, kepadakumparan(kumparan.com), Jumat (8/9).

Jadi, adanya cerita mistis yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat jelas sulit disanggah, namun soal fakta sebenarnya dari cerita-cerita itu adalah hal lain.

Hilarius mengatakan, semua yang disebut sebagai kepercayaan rakyat meliputi berbagai takhayul, mitos, dan cerita horor-- ada dalam benak manusia sejak dulu kala, yang kemudian tumbuh menjadi pranata sosial. 

“Jadi kalau sekarang anda lihat di manapun di Indonesia ada hal seperti itu (mistis), itu ada karena punya fungsi pengesah pranata. Pranata itu aturan nilai, norma, dan sebagainya,” papar pengajar mata kuliah folklor itu.

Ia kemudian memberi contoh bagaimana cerita horor atau mitos-mitos itu bekerja dalam masyarakat. “Orang mati konyol arwahnya gentayangan --itu nilai. Itu ditanamkan sejak kecil, lalu lama-lama mengendap dalam kepala manusia, maka jadilah pranata, jadilah budaya, jadilah aturan.”

Persoalan tentang penyebab arwah gentayangan rupanya memiliki kemiripan di belahan dunia lain.

“Kematian yang tragis kerap menjadi faktor penyebab arwah gentayangan. Alasannya bisa beragam, biasanya karena ada persoalan di dunia yang belum usai dan keinginan untuk memperingatkan atau memberi informasi kepada mereka yang masih hidup,” tulis Louis C. Jones dalam buku berjudulThings That Go Bump in the Night

Hal itu kemudian diperkuat dengan menyebarnya banyak kisah yang mengadopsi nilai tersebut, baik yang ditayangkan oleh televisi, radio, ataupun medium lainnya.

Nilai-nilai itu --yang embrionya telah mengendap dalam benak manusia-- setelah diperkuat, kemudian diwariskan secara turun-temurun. 

Persoalan apakah nilai-nilai hal itu benar atau tidak, Diane Goldstein dalam bukunya menjelaskan, “Menyediakan jawaban atas pertanyaan, ‘apakah kamu percaya keberadaan hantu?’ hanyalah milik mereka yang menceritakan atau mendengarkan kisah pengalaman menyeramkan itu.” 

Apa sesungguhnya fungsi hal-hal mistis?

Bisa bermacam-macam, apakah itu untuk mendidik, menjaga nilai-nilai, sarana promosi suatu lokasi, atau sekadar iseng --siapa yang tahu? Cerita-cerita mistis itu bisa mengomunikasikan hal konyol, kuasa, ataupun yang biasa namun penting secara kultural dan personal. 

Misal, cerita-cerita horor di negeri agraris seperti Indonesia banyak berkaitan dengan sumber air. Dan air untuk masyarakat agraris merupakan satu hal yang penting bagi kelanjutan hidup masyarakatnya.

Upaya-upaya --yang barangkali ditujukan-- untuk menjaga dan merawat sumber air pun dilakukan dengan segala cara. Salah satunya lewat kreasi berbagai macam mitos sakral: ini tempat suci atau memiliki air yang menyucikan.

Apakah kamu percaya?

“Sesuatu itu suci atau nggak suci, percaya nggak percaya, itu tergantung,” ujar Hilarius.

Dalam kajian ilmu antropologi, hal tersebut dibagi ke dalam tiga tahapan: mitos, legenda, dan dongeng. 

“Makin dekat, makin percaya, makin iya: mite. Makin jauh, hanya karena lihat ada: legenda. Makin jauh lagi, ‘ah, omong kosong’, ‘itu dongeng belaka’, ‘itu isapan jempol’, ‘rekaan belaka’: fiktif,” ujar Hilarius. 

Maka, jika bagi penduduk setempat cerita mistis bisa menjadi mitos yang mereka percayai, bagi warga desa tetangga barangkali hanya sebatas legenda.

Namun bagi mereka yang lebih jauh, baik secara jarak ataupun budaya, mungkin cerita-cerita mistis itu tak lebih dari omong-kosong belaka. 

Jika tertarik untuk mencari tahu makna budaya di balik mitos-mitos itu, anda bisa mengajukan pertanyaan seputar nilai budaya dan konflik, atau tekanan budaya macam apa yang melahirkan mitos tersebut, seperti tertulis dalam bukuHaunting Experiences

Interpretasi dari satu mitos pun bisa dimaknai beragam. Satu yang pasti, cerita tersebut terus-menerus diproduksi --yang awalnya hanya hidup dalam dunia tutur, kini tumbuh dalam ruang-ruang komersial. 

Tragedi Mei 1998 bagi Hilarius Taryanto menjaditurning pointdi mana cerita-cerita mistis kemudian marak dimanfaatkan sebagai bisnis.

“Saat itulah muncul di televisi ada Kismis (Kisah Misteri), ada Uji Nyali, laku keras dan ratingnya tinggi sekali. Pasca-Mei ‘98, semua (cerita mistis) itu diiyakan masyarakat lalu jadilah ajang bisnis,” ujarnya.

Maka, setelah menjamurnya film horor hingga tayanganreality showdi televisi, kini kita pun mengenal wisata mistis. 

Wisata mistis, sama seperti film ataureality show, memiliki aneka tujuan tergantung apa yang ada di kepala si pembuat. 

Semarangker, contohnya. Komunitas penjelajah tempat-tempat angker dengan sloganMemecah Mitos Menguak Misteriitu mengunjungi berbagai lokasi angker justru untuk membuktikan bahwa mitos tidak benar. 

“Mitos-mitos yang katanya, katanya. Daripada katanya, ayo kita samperin. Apa sih yang nggak boleh di sana? Ayo kita ‘langgar’ --selama tidak bertentangan dengan norma apapun,” kata Pamuji Yuono, salah satu pendiri Semarangker, ketika ditemuikumparan(kumparan.com) di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (7/9).

Bagi Pamuji beserta komunitas Semarangker-nya, mitos-mitos hanyalah dongeng atau isapan jempol belaka. Maka,open tripyang mereka gelar adalah untuk mengajak masyarakat umum membuktikan ketidakbenaran mitos tersebut.

 

“Kita sentuh, kita buktikan, apakah iya (benar) cerita (mistis) itu. Apa yang dilarang di sana kita langgar semua. Kita pecahkan (misteri) bersama nanti malam,” ujar Pamuji ketika mengajak timkumparanke Bukit Gombel, lokasi angker favorit di Semarang.

Pada setiapopen trip, Semarangker membebani peserta dengan biaya sebesar Rp 25.000 untuk tiket masuk. Dengan harga yang cukup murah, peserta wisata mistis ini bisa mencapai angka 700 orang. Jumlah yang cukup fantastis. 

Selain prinsip komunitas Semarangker yang terselip dalam agenda wisata mistis, motif ekonomi demi menambah pemasukan kas komunitas pun menjadi latar belakang. 

Jika Semarangker hanya membukaopen tripkecil-kecil --meski bisa mendapat jumlah peserta yang tak sedikit, lain halnya dengan Wisata Supranatural dari situs traveling JadiPergi.com.

JadiPergi.com bersama komunitas-komunitas supranatural seperti Komunitas Indigo dan Candra Prajna Paramitha dua bulan berturut-turut ini menyelenggarakan wisata supranatural. 

Event pertama berlangsung di Candi Petirtaan Jolotundo, Mojokerto, Jawa Timur, 26-27 Agustus 2017. Wisata yang menyuguhkan atraksi melukis gaib dan membuka mata batin ini ternyata diminati cukup banyak orang. 

“Antusiasme cukup baik. Wisata supranatural Jolotundo itu banyak (yang ikut) dari Semarang, ada (anggota) Semarangker. Anak muda juga datang dari Malang, Gresik, Surabaya. Ada sekitar 70-an peserta,” kata Steven Rio, Event Coordinator JadiPergi.com.

Wisata supranatural terbaru rancangan mereka kali ini, bertajuk “Malam 1 Suro” yang akan digelar 20-21 September, menurut Rio bertujuan untuk mengubah paradigma terhadap Malam Satu Sura, serta sebagai sarana edukasi dan promosi terkait kebudayaan Jawa. 

“Kita bisa belajar apa-apa dari Satu Sura. Kami ajak orang yang ahli supranatural. Sura itu akan dijelaskan seperti apa, juga tradisi-tradisinya,” kata Rio.

Malam Satu Sura, seperti dikutip dari portal informasi budaya Indonesia, Indonesia Kaya, menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan. Malam Tahun Baru dalam kalender sakral masyarakat Jawa ini biasa diisi ritual pembacaan doa untuk mendapatkan berkah dan menangkal marabahaya setahun ke depan.

Tradisi Malam Satu Sura bermula pada masa Sultan Agung Mataram yang berkuasa tahun 1613-1645. Saat itu, untuk mengalihkan penggunaan sistem kalender Saka warisan Hindu ke penanggalan Hijriah yang dipakai Muslim, Sultan Agung memadukan tradisi Jawa Hindu dan Islam.

Tanggal 1 Muharam --Tahun Baru Islam dalam kalender Hijriah yang menjadi momen hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah-- kemudian ditetapkan sebagai Tahun Baru Jawa yang baru.

Peringatan Satu Sura bagi sebagian masyarakat Jawa tetaplah kental dengan tradisi Hindu, seperti konsep akulturasi atau perpaduan budaya yang diusung Sultan Agung. Di Yogya misalnya, perayaan Malam Satu Sura diwarnai dengan kirab yang di dalamnya ikut pula dibawa keris dan benda-benda pusaka.

Dengan konsep memahami tradisi, jelaslah wisata supranatural memerlukan pertama, menurut Fiona Broome penulisGhost Hunting in Haunted Cemeteries: a How-to Guide, pemandu wisata yang “bergaya”, dalam artian bisa berinteraksi baik dan komunikatif dengan para peserta.

Kedua, lokasi tepat yang memiliki nilai penting. Ia harus benar-benar angker dan sulit diakses oleh wisatawan. Sebab banyak wisatawan berharap mendapat “bonus” mengunjungi area terlarang yang terindikasi menjadi “markas” para hantu dengan sejarahnya yang mengerikan, luar biasa, atau terkenal.

Jelaslah mengapa Petirtaan Jolotundo di Mojokerto, Jawa Timur; dan Candi Sumberawan di Singosari, Malang, Jawa Timur, tampak begitu menggoda untuk dikunjungi para pecinta dunia supranatural.

Karakter lokasi dan sejarah yang melingkupi kedua tempat itu memang dikenal menyeramkan. Keduanya memiliki ruang waktu yang sempurna.

Petirtaan Jolotundo ialah tempat pemandian keluaga Kerajaan Majapahit. Seperti dikutip dariGood News From Indonesia, petirtaan yang berada di lereng bukit ini merupakan persembahan Raja Udayana, penguasa Bali, untuk kelahiran putra sulungnya, Airlangga (air yang melompat). Airlangga nantinya mendirikan dan memerintah Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur.

Air di Petirtaan Jolotundo disebut-sebut sebagai air terbaik di dunia setelah air zamzam, dengan kadar kejernihan air dan kandungan mineral yang tinggi. Hal ini kemungkinan karena lokasi petirtaan yang terletak di kaki pegunungan vulkanik --Gunung Penanggungan yang dianggap suci bagi umat Hindu Syiwa, dan bebas dari aktivitas berbahaya manusia karena termasuk situs yang dilindungi sehingga tak boleh digunakan untuk aktivitas industri.

Selain itu, Petirtaan Jolotundo dikelilingi bebatuan candi yang juga berfungsi sebagai akuifer buatan. Yang dimaksud akuifer ialah lapisan berpori --di antara dua lapisan kedap air-- untuk menahan air.

Mitos yang beredar di tengah masyarakat Jawa menyebut, mereka yang mandi di Petirtaan Jolotundo akan memiliki wajah tampan dan cantik bak penggawa Kerajaan Majapahit.

Candi Sumberawan ialah situs lain yang dipilih sebagai lokasi wisata supranatural. Berlokasi di kaki Gunung Arjuna dan 6 kilometer dari Candi Singasari, Sumberawan sama-sama peninggalan Kerajaan Singasari yang kental sentuhan Hindu-Buddha.

Berada di kawasan hutan yang sunyi membuat Sumberawan kerap digunakan sebagai tempat bermeditasi. Dan nyaris serupa dengan mitos di Petirtaan Jolotundo, sebagian orang meyakini mencuci muka di sumber air Candi Sumberawan bisa membuat wajah lebih cerah dan awet muda.

Dengan tebaran mitos-mitos ini, tak heran bisnis wisata mistis begitu menjanjikan.

“Banyak peserta yang penasaran. Supranatural itu sebenarnya edukasi dan mereka ingin tahu,” ujar Rio tentang potensi bisnis wisata supranatural.

Daya pikat wisata mistis pun bertambah dengan suguhan ragam atraksi, mulai melukis makhluk gaib hingga permainan jelangkung Jawa.

Diane Goldstein dalam bukunya menuliskan, “Ketika supranatural dikemas dalam bentuk hiburan, maka hal itu membantu mengubah bentuk gagasan ‘hantu’ yang seolah menjadi sepele, yang penting ada rintihan atau kejutan.” 

Membungkus mistis menjadi bisnis memang telah terjadi sejak lama dan dalam berbagai varian format: film, tayangan televisi, wisata, iklan, dan sebagainya.

Selanjutnya, ketika cerita mistis itu semata memenuhi kepentingan bisnis, maka karakter privat dari kepercayaan rakyat itu luruh, berganti menjadi kepentingan penjual dan pembeli.

 

Di Indonesia, pertumbuhan wisata mistis melonjak pasca-suasana mencekam kerusuhan Mei ‘98 --ketika keran informasi dibuka dan kebebasan seolah kembali dimiliki masyarakat. Namun di belahan bumi lain, Amerika Utara, bisnis ini sudah lebih dulu dikenal.

Sejak pertengahan 1970-an, wilayah utara benua Amerika mengenal wisata mistis. Hal itu berkembang bersamaan dengan meningkatnya spiritualitas generasiBaby Boomers(mereka yang lahir pasca-Perang Dunia II pada periode 1946-1964).

Generasi baru --pada masanya-- itu makin tertarik dengan berbagai perayaan pada ragam tradisi dan kepercayaan, seiring meningkatnya tayangan kekerasan di layar televisi.

Saat itu, pola konsumsi wisatawan pun mengalami perubahan. Para turis berwisata demi mencari pengalaman eksistensial, bukan semata pengalaman fisik yang termaterialkan. 


Bukan hanya terkait wisata mistis, setiap kegiatan mengonsumsi kebudayaan akan menciptakan budaya baru atau mengubah yang telah ada. Hal tersebut memungkinkan terjadi karena di dalamnya memuat framing ideologi dan histori hingga titik tertentu, baik disadari ataupun tidak. 

Bagi Goldstein, komodifikasi apapun akan mengubah dan membentuk nilai-nilai baru. Kekhawatirannya sebagai antropolog ketika cerita-cerita hantu dikomodifikasi adalah pertama, memandang remeh hal tersebut dalam stereotip tertentu atau sekadar sensasi; kedua, terjadi fragmentasi nilai tradisi dan dekontekstualisasi budaya.

Implikasinya, ketiga, perlu dibedakan pengalaman yang spontan dan alami, dengan yang disengaja dan dibuat-buat. 

Bagaimanapun, hantu kini tak sekadar cerita, namun menjadi komoditas yang menguntungkan.