Mobil Desa: ketika Masyarakat yang Produktif Digoda untuk Konsumtif

pada 5 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id-Mobil desa alias Alat Mekanis Multiguna Pedesaan alias AMMDes ramai dibicarakan lagi. Sejak diluncurkan setahun lalu di GIIAS 2018, apa kabarnya sekarang?

Paling baru, ramai pemberitaan kalau kandungan lokal AMMDes menurun, dari sebelumnya 90 persen komponennya udah lokal, kini hanya 70 persen aja.

Sebab, mobil yang digaung-gaungkan buatan dalam negeri tapi semi, terpaksa harus menggunakan mesin dan transmisi dari asheeng-asheeng itu.

VIDEO 10 Mobil Terlaris, Avanza Terpuruk, Xpander Memimpin:

Soalnya, namanya udah kelas industri, urusan nasionalisme gak berlaku seratus persen lagi—tapi lebih kepada berapa profit and loss yang kita dapet.

AMMDes masih perlu mencomot mesin dan transmisi dari luar karena secara skala ekonomi bakal merugikan kalau harus bikin sendiri.

“Mesin untuk AMMDes itu harus diimpor karena mesin yang digunakan untuk model awal, ternyata tak cocok bagi kendaraan yang dibutuhkan masyarakat pedesaan itu,” ujar Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan, Putu Juli Ardika, mengutip dari motoris.id

Mengimpor darimana mesin dan transmisinya? India menjadi negara pilihan untuk mesinnya AMMDes, sedangkan transmisinya dari Taiwan.

Model AMMDes awalnya menggunakan engine stasioner, tapi ujung-ujungnya harus diganti dengan mesin kendaraan.

Bisa jadi karena secara performa emang gak memadai, sehingga perlu ‘mesin mobil’ beneran untuk ngebuat AMMDes bernar-benar diperlukan para ‘petani’ di pedesaan.

Baca juga:Seperti Lagu Slank, Para Petani Bakal Punya Mobil

Bicara keperluan, segmen pasar incaran AMMDes sebenernya malah agak kontraproduktif.

Kalau emang menyasar pedesaan, yang mayoritas hidup dengan berproduksi, entah bedagang, menggarap lahan, maupun usaha kecil menengah lainnya, kenapa mereka harus dibebani dengan AMMDes?

Kalau ujung-ujungnya AMMDes hanya soal bagaimana kita berdagang dengan memanfaatkan celah pasar yang belum sempat digarp raksasa-raksasa Jepang.

Kalau sampai harus mengeluarkan uang sampai puluhan juta Rupiah—bahkan mendekati Rp 100 jutaan, kenapa mereka gak belinya pikap-pikap Jepangan itu aja, terbukti dalam banyak hal, termasuk sisi keekonomisan.

Sederhananya, mereka yang udah terbiasa berproduksi untuk bisa hidup, kini diberikan tantangan soal bagaimana cara bertahan hidup, karena mereka harus membayar kredit AMMDes.

Mereka yang bisa hidup dengan berproduksi, kini diajarkan caranya konsumtif, dengan membeli ‘alat bantu’ yang belum tentu efektif berguna buat usahanya.