Mustahil Oscar Tidak Politis

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

“Saya seorang imigran seperti Anda semua. Namun, dengan seni kita punya kekuatan untuk menghapus batasan semu  antara orang-orang yang berbeda etnis. Kita harus terus melakukan hal itu.”

Pernyataan tersebut bergulir dari mulut Guillermo del Toro, sutradara kebangsaan Meksiko dalam pidato kemenangan dipanggung Academy Awards 2018, Senin (5/3) waktu Indonesia. Del Toro menggondol piala Oscar lewat kategori Sutradara Terbaik, mengalahkan seperti Paul Thomas Anderson (Phantom Thread), Greta Gerwig (Lady Bird), hingga Christopher Nolan (Dunkirk).

Selain jadi sutradara terbaik, film del Toro,The Shape of Water, juga memenangkan kategori Film Terbaik di perhelatan yang telah menginjak usia 90 tahun tersebut.

Gelaran Oscar tahun ini yang masih mengambil lokasi di Dolby Theatre, Los Angeles, relatif berjalan lancar. Insiden tertukarnya amplop seperti tahun lalu tak terulang kembali.

Kemenangan Penting

Film besutan del Toro,The Shape of Water, total mendapatkan 13 nominasi di ajang Oscar 2018 sekaligus menjadikannya sebagai film dengan nominasi terbanyak tahun ini. Di bawahThe Shape of Water, adaDunkirkdengan 8 nominasi danThree Billboards Outside Ebbing, Missouridengan 7 nominasi.

Shape of Water mengalahkan film-film semacamLady Bird,Three Billboards Outside Ebbing, Missouri,Get Out,Call Me by Your Name,Dunkirk,Darkest Hour,Pantom Thread, sertaThe Postyang masuk nominasi film terbaik.

Banyak yang menganggap Oscar tahun ini begitu menarik.The Atlanticmengungkapkan, setiap film punyakans yang besar untukmenang. Tidak ada film yang paling dijagokan. SedangkanVulture menyebutkan, film mana pun yang menang punya komentar sosial kuat terhadap situasi sosial saat ini.


Lady Birdmencerminkan keterwakilan sutradara perempuan yang ada di Hollywood,Three Billboardsmempersoalkan pelecehan seksual, hinggaGet Out adalah soal rasisme. Kendati begitu,The Shape of Wateryang jadi juaranya karena, masih mengutip Vulture, "disukai banyak orang".

Tapi kemenanganThe Shape of Water tak semata ditentukan faktor disukai banyak orang. Pesan politisnya kuat. Di balik cerita asmara dua insan, del Toro menyelipkan narasi soal keberanian perempuan, perseteruan kuasa kelompok mayoritas dan minoritas, hingga ajakan untuk menghargai perbedaan.

The Shape of Watersendiri mengisahkan hubungan antara perempuan bisu dengan monster laut yang diciptakan pemerintah Amerika untuk jadi senjata melawan Rusia di masa Perang Dingin. Kisah cinta itu beda spesies itu disambut positif oleh publik; menang Golden Lion di Venice Film Festival, berjaya di Golden Globe, hingga akhirnya dapat banyak nominasi di Oscar.

Hal menarik selainThe Shape of Waterialah kemenangan Frances McDormand sebagai aktris terbaik Oscar 2018. McDormand memainkan peran ibu yang menuntut keadilan atas terbunuhnya sang putri selepas diperkosa para lelaki bajingan.

Kemenangan McDormand sudah banyak diprediksi para kritikus dan pengamat film.AV Clubmenyatakan McDormand pantas menang Oscar sebab ia melakoni peran seorangibu yang berani melawan aparat hukum yang tutup mata atas kekerasan seksual.Vanity Fairmengatakan penampilan McDormand adalah cerminan dari suara-suara perlawanan perempuanyang teramplifikasi dalam tagar #MeToo.


“Saya akan merasa sangat terhormat jika semua perempuan di ruang ini, sutradara, produser, penata gambar, penulis lagu, dan perancang busana berdiri bersama saya,” ungkapnya saat memberi pidato kemenangan. “Lihatlah sekeliling Anda, karena kita semua punya cerita untuk disampaikan.”

Oscar 2018 juga memperlihatkan upaya untuk meneruskan kampanye keragaman setelah dikritik habis-habisan pada 2015 dan 2016. Gelaran Oscar saat itu disebut rasis karena semua nominasi diisi orang kulit putih. Kritikan tersebut lantas dimunculkan dalam tagar #OscarsSoWhite yang menyoroti masalah besar dalam industri film ketika bakat dan cerita kaum minoritas sulit mendapatkan pengakuan.

Tahun lalu, tagar berubah jadi #OscarsLessWhite sebab nominasi tak lagi diisi orang kulit putih semata. Film-film sepertiFences,Hidden Figures,Loving,Lion, sampaiMoonlightyang menang sebagai film terbaik merupakan buktiknya.

Upaya tersebut diteruskan pada tahun ini dengan masuknya aktor-aktor berkulit berwarna seperti Daniel Kaluuya (Get Out), Denzel Washington (Roman J Israel, Esq), Mary J. Blige (Mudbound), dan Octavia Spencer (The Shape of Water). Aktor Afrika-Amerika Jordan Peele bahkan menggondol piala untuk kategori naskah orisinil terbaik lewatGet Out.

Oscar 2018 juga memberikan perhatian lebih pada keterwakilan perempuan. Rachel Morrison, penata gambarMudboundmenjadi perempuan pertama sejarah Oscar yang masuk nominasi sinematografi terbaik. Sementara Dee Rees, sutradaraMudboundjuga masuk nominasi penulis naskah adaptasi terbaik. Tak ketinggalan pula Greta Gerwig yang mampu menerobos dominasi laki-laki dalam kategori sutradara terbaik.


Sementara itu baikLady BirddanMudbound—yang sama-sama disutradarai perempuan—mendapatkan total lima nominasi di ajang Oscar. Keterwakilan perempuan dalam Oscar juga dapat dilihat dari film-film yang ada sepertiThree Billboards,The Shape of Water,A Fantastic Woman, sampaiThe Post.

“Rasanyaseperti ada sesuatu yang bergeser,” ucap Gerwig kepadaThe New York Times. “Oscar dapat mengenali generasi baru dalam dunia film; penulis, sutradara, hingga pemain dengan cara yang begitu indah. Ini tidak terduga dalam beberapa hal.”

Oscar yang Tetap Politis

“Kami ingin menjadikan Oscar sebagai hiburan sebaik mungkin, menyenangkan, dan emosional,” kata Jennifer Todd, salah satu produser Academy Awards. “Oscar harus jadi tontonan dan pertunjukan yang seru, lucu, dan hebat.”

Sementara Channing Dungey, kepala acara hiburan di stasiunABCmenyatakan hal senada.

“Kami tentu ingin menghormati gerakan sosial seperti Time’s Up [gerakan yang menyediakan bantuan hukum kepada korban kekerasan dan pelecehan seksual] dan memperdengarkan pesan mereka,” kata Dungey. “Tapi, kami ingin hal itu terjadi dengan lebih terencana alih-alih dadakan.”


Ucapan Todd dan Dungey memiliki pesan jelas: Oscar 2018 akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan film, ketimbang mengangkat momen sosial di sekitar mereka. Para pemangku acara boleh saja berkata demikian. Tapi pertanyaannya, bisakah Oscar tak jadi politis?

Sejak acara berlangsung, Jimmy Kimmel yang menjadi presenter sudah mengeluarkanstatementyang sifatnya politis. Dalam monolognya, Kimmel mengkritik banyak hal, dari isu keadilan gender di Hollywood sampai Harvey Weinstein.



“Kita pernah punya film berjudulWhat Women Want, tapi bintangnya malah Mel Gibson,” sindirnya.

Tak hanya monolog Kimmel yang politis. Beberapa segmen acara di Oscar 2018 juga memperlihatkan hal yang sama. Contohnya saat Ashley Judd, Salma Hayek, dan Annabella Sciorra—ketiganya korban Weinstein—mengambil alih panggung danberbicara mengenai "Time’s Up. Demikian pula ketika Andra Day dan Common menyanyikan “Stand Up for Something,” dan Cecile Richards (punggawa Planned Parenthood), Dolores Huerta (pemimpin organisasi buruh dan aktivis hak sipil), Bana Alabed (pengungsi Suriah), serta Janet Mock (aktivis transgender) masuk panggung. 

Apabila dirunut dari belakang, panggung Oscar tak bisa dilepaskan dari aktivitas politik dan respons atas masalah sosial yang terjadi. Pada malam Oscar 1972, Jane Fonda memenangkan kategori aktris terbaik lewat penampilannya diKlute. Menangnya Fonda bersamaan dengan puncak keganasan Perang Vietnam yang telah berlangsung sejak 1954. Fonda merupakan salah satu aktris yang getol mengkritik keterlibatan AS dalam perang tersebut sampai-sampai mendapat julukan “Hanoi Jane.”

Pada 1993, pasangan Susan Sarandon dan Tim Robbins mengenakan pita merah saat malam Oscar. Keduanya menggunakan pita tersebut sebagai kritik terhadap pemerintah yang menahan pengidap HIV/AIDS asal Haiti di Guantanamo. Sarandon meminta pemerintah untuk “mengakui HIV bukan sebuah kejahatan.”

Tahun 2009, Sean Penn melakukan hal serupa. Saat dirinya naik ke atas panggung untuk menerima piala aktor terbaik lewat penampilannya diMilkmemerankan ikon gay Harvey Milk, Penn melancarkan kritik kepada pemerintah yang melarang perkawinan sejenis.

“Saya pikir ini adalah saat yang tepat bagi mereka yang menyetujui larangan pernikahan sesama jenis untuk berpikir dan mengantisipasi rasa malu di mata anak cucu mereka apabila mereka terus mendukung kebijakan [larangan nikah sejenis],” jelasnya. “Kita harus menjunjung hak-hak yang setara untuk semua orang.”
Baca juga artikel terkaitMILD REPORTatau tulisan menarik lainnyaM Faisal