Nelangsa Pengantin Pesanan: Dibohongi dan Dianiaya di Cina
Sungguh malang nasib MN, bukan nama sebenarnya. Perempuan kelahiran 1996 ini dianiaya mertuanya sendiri, Hao Bing Chen dan Lin Ai Mei. Suaminya bernama Tengfei Hao (27), asal Hebei, Cina.
“Saya ditelanjangi, lalu mertua memarahi saya karena menolak ‘melayani’ suami,” kata MN, menceritakan kisah pilunya di LBH Jakarta, Minggu (23/6/2019) siang.
MN berasal dari Sompak, Kalimantan Barat. Sebelum hidup nelangsa, dia kerap membantu bibinya mengurusi sawah.
MN menikah setelah direkrut oleh mak comblang asal Singkawang, Kalimantan Barat. Mulanya MN diajak dua kawannya bertemu mak comblang di Pontianak. Di sana dia diiming-imingi hidup berkecukupan dengan syarat menikahi pria Cina. Di ibukota Kalimantan Barat itu, mak comblang memperkenalkan MN dengan dua laki-laki Cina, namun saat itu dia menolak lantaran tidak merasa cocok.
MN lalu dipertemukan lagi dengan dua laki-laki dengan perawakan serupa. Setelah dirayu, dia memilih salah seorang di antaranya, yang mengaku pengusaha berpenghasilan Rp10 juta per bulan.
Dua hari berselang, mak comblang datang ke rumah MN, membawanya ke Singkawang untuk bertemu lagi dengan lelaki pilihannya.
“Saya dibawa ke rumah Mama Palsu dan ditanya apakah setuju menikah dengan pria Tiongkok ini. Saya diminta mengiyakan saja. Jika nanti ditanya si pria, saya disuruh jangan banyak omong,” jelas MN.
Tiga hari usai pertemuan itu, MN dan Tengfei Hao bertunangan di tempat rias pengantin, bertukar cincin, dan berfoto. Saat itu MN menerima mahar sebesar Rp19 juta. Setelah semua rampung, MN pergi ke rumah mak comblang di Pontianak. Di situ dia mendapatkan surat nikah dan menandatangani surat itu.
Satu pekan kemudian, ia melangkah pergi dari kampungnya.
18 September 2018, anak pertama dari empat bersaudara itu terbang ke Jakarta lalu melanjutkan perjalanan ke Cina bersama adik dari bos besar mak comblang, namanya Aheu. Tiba di negara terbesar ke-3 di dunia itu, MN diinapkan di apartemen di Distrik Wuchang.
Ada tiga perempuan Indonesia di ruangan itu, katanya. Mereka bermasalah dengan paspor, juga mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tak lama kemudian MN dijemput suami dan mertuanya untuk dibawa ke rumah. Di rumah itulah ia diomeli, dipukul punggungnya, dan tidak diberi makan. Dia mengaku kerap menangis dan meminta balik ke Indonesia.
“Saat musim dingin, saya disuruh tidur di luar rumah, tanpa bantal,” kata MN.
Di sana dia mengetahui bahwa Tengfei Hao ternyata bukan pengusaha, melainkan kuli bangunan. Alih-alih menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasa, dia malah kerja rodi sebagai perangkai bunga dengan jam kerja panjang: mulai dari pukul 7 hingga 19, rehat sebentar, dan kembali merangkai hingga pukul 21.
MN dipaksa bekerja cepat dan tidak diupah sama sekali. Jika bersalah, mertua tidak memberinya makan selama 2-3 hari. Suaminya pun acuh.
Karena tak tahan ia berupaya kabur. Alasan lain karena ia mendapatkan sambungan video dari keluarganya di kampung, yang menayangkan bapaknya sekarat. MN merengek ingin pulang, tapi pihak suami malah memutus seluruh akses komunikasi.
“Kartu SIM dicopot,” terang dia.
Hari berlalu, MN nekat kabur. Ia menyetop taksi untuk ke kantor polisi. Kepolisian Hebei lantas mempersilakan dia menelepon KBRI Tiongkok. Dia pun dipersilakan tinggal di kantor polisi sampai suaminya datang membawa paspor--sebagai bukti identitas diri. Namun itu bukan berarti perlakuan sadis terhadapnya berhenti. Dia mengaku di kantor polisi itu diperlakukan bak tahanan.
“Saya jarang dikasih makan di penjara,” sambung MN.
Keluarga suami sempat datang dua kali, tapi tidak juga membawa paspor. Hari ketiga, kakak ipar Tengfei Hao membawa paspor usai dipaksa polisi. MN pun dibebaskan dan dibawa ke daerah Wuhan untuk tidur di apartemen selama sepekan lebih. “Saya diminta duit Rp100 juta untuk pihak suami,” ucap MN.
Tiga bulan tak ada kabar, ibu MN, Sania, melaporkan kejadian ini ke Polda Kalimantan Barat, tepatnya pada 10 Desember 2018. Ibu MN juga lapor ke Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, serta Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Sosial Kalimantan Barat. Namun nihil hasil.
“Lantas Sania mendatangi kami, ia mendapatkan saran dari tetangganya,” kata Mahadir, Ketua Dewan Perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) cabang Mempawah, Kalimantan Barat. Sania lapor ke SBMI pada 24 April 2019. Sehari kemudian, pihak Polda Kalimantan Barat menemuinya dan memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Laporan (SP2HPL).
MN akhirnya dapat pulang setelah SBMI menghubungi seorang mahasiswa di kampus daerah Wuhan. Mahasiswa itulah yang membantu kepulangan MN.
“Biaya kepulangan dari kami dan pengamanan kami kawal sampai Bandara Tianhe Wuhan. Ada enam orang yang membantu kepulangannya,” sambung Mahadir.
Kepada KBRI Cina, SBMI melampirkan surat pembatalan nikah dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Mempawah bernomor 474.2/215/DUKCAPIL-B yang ditandatangani oleh kepala dinas setempat, Iis Iskandar, bertanggal 31 Mei 2019. Surat ini diminta diteruskan ke kepolisian setempat.
Singkat cerita, MN berhasil kembali ke Indonesia, Jumat (22/6/2019), usai 10 bulan terlunta-lunta di Cina.
Pengantin Pesanan
Mahadir menyatakan apa yang dialami MN adalah praktik ‘pengantin pesanan’. Praktik ini kerap dilakukan oleh pria Cina karena biaya menikah di negara itu bisa mencapai Rp2 miliar. Laki-laki Tiongkok juga biasa diminta orangtuanya untuk cepat-cepat menikah dan memiliki anak. Karena tidak didasari atas cinta sebagaimana pasangan pada umumnya, perempuan biasanya langsung diabaikan.
Mak comblang yang merekrut MN diberi duit Rp400 juta dari calon suami. Uang Rp19 juta yang diberikan ke MN disisihkan dari sini.
SMBI mengaku telah menangani 29 kasus serupa, dengan detail 13 perempuan dari Kalimantan Barat, dan sisanya Jawa Barat. Karena itu mereka mendesak Polri untuk membongkar kasus ini.
Hal serupa dikatakan pengacara publik dari LBH Jakarta, Oki Wiratama. Dia tegas menyebut ini adalah kasus perdagangan orang.
“Kami desak polisi bongkar sindikat perekrut yang terorganisasi dalam kasus tindak pidana perdagangan orang ini,” kata dia.
Polisi dapat menerapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (ada dua anak di bawah umur dalam perkara ini). Ia juga meminta pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang.
Kasus ini, menurut Oki, juga telah melanggar juga Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) yang diratifikasi pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. “Konvensi ini mengamanatkan kepada negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga,” jelas Oki.
“Memastikan laki-laki dan perempuan memiliki hak sama untuk bebas memilih pasangan dan menikah dengan persetujuan penuh antara dua pihak,” sambung dia.
Baca juga artikel terkaitPERDAGANGAN ORANGatau tulisan menarik lainnyaAdi Briantika