Netizen Indonesia ‘kan Pemaaf, Emang Bisa Menganut Cancel Culture?
Uzone.id-- Bagi yang masih asing dengan istilah “cancel culture”, ini bukan budaya sembarangan membatalkan pesanan e-commerce atau abang ojek online ala-alaprank. Ini jauh lebih ‘dalam’ dari sekadarprank.
Sebenarnyacancel cultureyang terjadi di ranah media sosial ini mirip seperti aksi boikot. Bedanya, dulu mungkin aksi boikot ini umumnya diterapkan terhadap perusahaan besar, produk massal, brand-brand besar. Kalaucancel cultureini banyak ‘menelan korban’ dari pihak pekerja seni seperti aktor, aktris, musisi, politisi, dan figur publik lain.
Cancel culturememang masih mungkin menimpa brand atau perusahaan besar, namun yang membuat budaya ini menarik dari tahun ke tahun adalah ‘targetnya’ memang individu.
“Cancel cultureini semacamsocial mob, jadi para figur publik, pebisnis, politisi, dan lain-lain yang tindakannya tidak sesuai dengan moral, harus siap menerima sanksi sosial dari masyarakat, di sini maksudnya netizen,” ungkap pengamat dan aktivis media sosial, Enda Nasution saat berbincangUzone.id.
Ia melanjutkan, “bahasanya memang ‘cancel’, tapi dampaknya sepertipunishmentgitu. Bisa berupa memberhentikan program, membuat individu dipecat. Mirip seperti boikot.”
Baca juga:Deretan Artis Populer yang Jadi KorbanCancel CultureNetizen
Dengan kata lain, menurutnyacancel cultureini merupakan metode baru di mana “orang biasa” atau masyarakat umum secara bersama-samaspeak upterhadap mereka yang memilikipowerlebih banyak, mereka yang lebih populer, bahwa perbuatan mereka itu salah secara moral dan sosial.
Enda merasa dengan munculnyacancel culture ini, netizen merasa memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat mereka.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat yang sangat memperhatikan isu LGBTQ dan rasisme, masyarakatnya sudah semakin terbuka matanya dalam memperhatikan ucapan-ucapan ofensif dari orang-orang yang memiliki power lebih. Entah itu komedian ternama,influencer, politisi, hingga selebriti.
“Di AS itu orang-orang yang dianggaphomophobic,transphobic, bakal disorot banget. Dulu mungkin orang belum se-awaresekarang, jadi kalau bercanda bisa asal ceplos. Kalau sekarang bercandaan yang ofensif dibiarkan dan dianggap biasa, nanti muncul normalisasi. Mungkincancel culturedianggap berfaedah untuk efek jera seperti ini, ya,” ucap Enda.
Namun di sisi lain, saking lantangnya suara-suara netizen ini bisa membuatcancel cultureini jadi terkesan ‘gampangan’ dan membuat figur publik jadi takut untuk berbicara.
“Menurut saya dampak negatifnya itu bisa mengikis kebebasan berekspresi dan menumbuhkan kultur main hakim sendiri jika dilakukan secara berlebihan tanpasocial check,” katanya.
Cancel culturedi Indonesia, beneran ada?
Satu hal yang unik dari karakteristik netizen di Indonesia bisa dilihat dari kebiasaan yang sudah-sudah. Netizen Indonesia biasanya paling terdepan dalam menanggapi masalah orang lain, khususnya figur publik.
Netizen negeri ini tidak akan ragu untuk melontarkan kritik hingga hujatan di platform media sosial. Seakan-akan nyalinya setinggi langit ke-tujuh.
Apakah modal tersebut sudah cukup untuk menjalankancancel culturedi Indonesia? Tampaknya, nggak juga.
“Menurut gue,cancel culturedi Indonesia tuh nggak ada. Orang Indonesia tuh pemaaf dan pelupa,” tuturinfluencerdan YouTuber Putu Reza saat dihubungiUzone.idsecara terpisah.
Ia melanjutkan, “kalau ada tokoh siapa gitu hiatus sebentar, lalu comeback, orang juga udah lupa. Jadicancel culture-nya gak serius seperti di Hollywood dan Korea. Gue belum pernah lihat di Indonesia yang di-cancellalu benar-benarworks.”
Hal senada juga disampaikan Enda. Ia juga merasa kalau netizen di Indonesia memiliki sifat pemaaf dan pelupa.
“Memang bedanya di situ, tingkat keseriusannya masih berbeda dari negara lain. Indonesia itu punyaforgetting dan forgiving culture,” imbuh Enda.
Baca juga:Apa BedanyaCancel Cultureyang Jangkit Netizen AS, Korea dan Indonesia?
Lalu, Indonesia kental denganbullyaja?
Ini pertanyaan yang juga menarik sebenarnya. Jikacancel culturehanya omongan belaka dan nihil eksekusi, berarti secara tidak langsung mental netizen di Indonesia hanya sebatasbullyingsaja.
Hal ini kadang didasari dari pola pikir bahwa figur publik sudah tak punya privasi sama sekali, sehingga apapun yang ada di diri mereka adalah konsumsi publik.
“Padahal seharusnya, figur publik ya tetap harus punya ruang privasi, tapi sayangnya masih banyak yang percaya kalau orang terkenal itu sudah tak lagi punya privasi. Menurut saya, jangan sampai kita punyamob mentality.Orang menghujat, jadi ikut menghujat. Harus rajin cek dakta, jangan langsung percaya kalau ada yangspillrumor,” ungkap Enda.
Mau bagaimanapun, media sosial mengandung konsekuensi bagi penggunanya sebagaiwatchdog, alias bagai jutaan pasang mata yang mengamati perilaku manusia di dalamnya.
Dengan jumlah netizen yang begitu banyak, dari sinilah yang melahirkan suara yang bisa menjadi penjaja secara bersama-sama.
“Netizen selalu merasa punyapoweruntuk memberhentikan karier orang lain, namun tetap ya, jangan sampai kebablasan. Sebisa mungkin adil saja, dan yang di-cancelitu lebih untuk perbuatannya. Kalau sampai mematikan profesi individu tersebut, menurut saya pastikan dulu secara matang apakah itu pantas atau tidak,” tutupnya.