OTP Jadi Andalan Orang Indonesia untuk Transaksi Online

pada 3 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id- Transaksi online sudah menjadi hal normal di kalangan masyarakat saat ini. Mau bayar ini itu tinggal buka aplikasi uang digital, klik nominalnya, lalu beres deh.

Tapi, dibalik kemudahan, ada risiko yang cukup membahayakan. Maka dari itu, masyarakat kini mulai sadar untuk menjaga data-data mereka agar tidak dibobol penjahat siber.

Fitur keamanan tambahan bisa jadi solusi agar transaksi online semakin terjamin. Ada banyak fitur keamanan tambahan yang bisa digunakan masyarakat, mulai dari OTP (One-Time Password), 2FA, fingerprint, pengenalan wajah dan lainnya.

Dalam penelitian terbaru Kaspersky, sebanyak tiga dari lima masyarakat di Asia Tenggara ternyata lebih memilih penerapan kata sandi satu kali (one-time-password atau OTP) melalui SMS untuk transaksi online mereka.

Baca juga:5 Layanan untuk Kirim Angpao Imlek Secara Digital

Mayoritas pengguna aplikasi perbankan digital dan e-wallet memilih OTP sebanyak 67 persen. Sebanyak 57 persen responden juga ingin melihat penerapan 2FA serta fitur keamanan biometrik seperti pengenalan wajah atau sidik jari, 56 persen.

Bisa dibilang, penerapan OTP menjadi favorit konsumen Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam.

“Secara umum, fitur keamanan ini adalah tindakan pencegahan bermanfaat yang berpotensi meningkatkan standar keamanan siber di ruang pembayaran digital,” kata Yeo Siang Tiong, General Manager Asia Tenggara Kaspersky, dalam siaran pers yang diterima Uzone.id, Rabu, (02/02/2022).

Namun, Tiong menambahkan bahwa opsi ini tidak boleh dilihat secara terpisah, melainkan dianggap sebagai bagian dari kerangka kerja keamanan siber holistik.

Baca juga:Apa Itu Identitas Digital? Rugi Kalau Kamu Gak Tahu

Kesadaran masyarakat akan keamanan saat bertransaksi online pun semakin meningkat ketika lebih dari setengah responden mengatakan akan menggunakan e-wallet yang mencakup fitur keamanan ekstra seperti sidik jari dan 2FA.

"Studi kami menunjukkan bagaimana pelanggan semakin meminta pertanggungjawaban penyedia pembayaran digital atas keamanan keuangan mereka secara online, sehingga kami menyarankan perusahaan untuk menentukan celah keamanan siber di setiap tahap proses pembayaran mereka, dan menyesuaikan langkah-langkah TI yang tepat dengan cara yang dikalibrasi," tambah Tiong.

Tiga dari lima responden (65 persen) juga meminta bank atau e-wallet harus memberikan lebih banyak insentif untuk menjaga keamanan secara tepat, seperti mengganti kata secara teratur. Mereka juga meminta penyedia layanan harus lebih banyak memberi edukasi pada pengguna soal ancaman online.