Pangandaran Minim Alat Deteksi Dini Tsunami, Ini Alasannya
Sebanyak 12 dari 14 unit sirine deteksi dini tsunami di Kabupaten Pangandaran tak lagi berfungsi. Keterbatasan anggaran menjadi sebab alat-alat yang terpasang di pesisir pantai itu tak juga diganti.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pangandaran, Nana Ruhena mengakui, kesiapan wilayahnya menghadapi bencana tsunami dari sisi peralatan masih minim. Saat ini, hanya dua unit sirine tsunami yang berfungsi. Padahal, idealnya terdapat 30 unit sirine yang terpasang di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Pangandaran.
Tak hanya minim sirine peringatan tsunami, di wilayah perairan Kabupaten Pangandaran juga tak terpasang buoy tsunami. "Buoy justru tidak punya satu pun," kata dia saat dihubungi Republika, Rabu (24/7).
Ia menjelaskan, dahulu ada dua unit buoy yang terpasang di Pangandaran pascatsunami yang terjadi pada 2006. Namun, saat memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis pada 2012 tak lagi terdeteksi kondisi dua unit buoy itu. Menurut Nana, ketika serah terima aset pihaknya tak menerima laporan mengenai dua unit buoy.
Meski begitu, BPBD terus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dengan mengadakan pelatihan dan simulasi menghadapi bencana. Sosialisasi juga dilakukan dengan mendatangi sekolah dan ibu-ibu PKK.
"Namun itu juga ada yang belum tersentuh, karena untuk pelatihan itu kan biaya terbatas," kata dia.
Terkait informasi mengenai potensi gempa bumi megathrust berkekuatan 8,8 skala richter (SR) dan tsunami setinggi 20 meter di selatan Jawa, Nana menganggap itu sebagai peringatan. Pasalnya, hampir seluruh pantai di Indonesia berpotensi terkena tsunami. Menurut dia, yang lebih penting diperbuat adalah melakukan mitigasi dan kesiapsiagan, menyiaiapkan langkah jika bencana itu terjadi.
Ia menjelaskan, BPBD juga telah mengenalkan teori 20:20:20 kepada masyarakat. Artinya, ketika terjadi gempa masyarakat harus merasakan terlebih dahulu getaran itu. Ketika gempa terasa lebih dari 20 detik dan semakin keras, segera lari 20 menit ke tempat yang lebih tinggi. Terakhir, usahakan tempat evakuasi 20 meter di atas permukaan laut.
"Tapi itu hanya berlaku di Pangandaran. Kalau di tempat lain, berbeda kondisi geografisnya," kata dia.
Nana menegaskan, masyarakat diharapkan untuk tetap tenang, tapi juga sekaligus selalu waspada. Ia juga mengimbau masyarakat untuk selalu mengikuti informasi resmi, apalagi sekarang banyak beredar hoaks.
"Bencana memang tetap akan terjadi, tapi kita tetap berupaya untuk memitigasi. Adanya informasi tentang potensi gempa, dijadikan peringatan saja untuk mempersiapkan. Jangan jadi berita menghantui," kata dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Tasikmalaya, Ria Supriana mengatakan, gempa bumi megathrust menimpa selatan Jawa baru sekadar potensi. Meski begitu, pihaknya juga telah melakukan berbagai antisipasi.
"Kalau kesiapan sendiri kita terus lakukan pelatihan kalau terjadi tsunami," kata dia.
Ia menambahkan, BPBD Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Pangandaran, serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga akan melakukan kegiatan melakukan sosialisasi di pesisir pantai Desa Cimanuk, perbatasan Tasikmalaya dengan Pangandaran, pada Agustus 2019. Hal itu dilakukan untuk menguatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana.