Passengers, Kisah Cinta Biasa di Avalon

pada 8 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Film sci-fi yang digadang-gadang membawa nuansa segar ini tak menampilkan kejutan berarti.

Adegan film dibuka dengan penampakan pesawat antariksa bernama Avalon yang tengah membelah angkasa. Bergerak, berputar menembus kelam di antara gemintang. Pesawat ini tengah melaju menuju Homestead II, sebuah planet yang menjadi koloni baru manusia.

Pesawat raksasa milik Homestead Enterprises itu membawa 5.000 penumpang dan 258 kru yang tertidur dalam kapsul hibernasi. Pesawat megah ini terbang dengan pilot otomatis. Konon, kepergian 5.000 warga Bumi ke koloni baru untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Perjalanan Avalon hingga mendarat di Homestead II berlangsung selama 120 tahun. Namun baru sepertiga perjalanan, pesawat mengalami malfungsi akibat benturan dengan asteroid gigantik.

Sistem perisai yang melindungi pesawat tak terlalu ampuh menahan hantaman benda ruang angkasa tersebut. Padahal, Avalon diklaim tahan segala benturan dan tak mungkin rusak. Laiknya Titanic—jika bicara kapal laut—yang tak bakal tenggelam.

Kerusakan yang terjadi akibat benturan hanya membangunkan Jim Preston (Chris Pratt) seorang, salah seorang penumpang kelas ‘ekonomi’. Ia terbangun ketika perjalanan baru menempuh 30 tahun. Belum setengahnya. Dari sini sebenarnya jalinan cerita sudah bisa ditebak. Sebagaimana terlihat dalamtrailerpromonya yang masif di pelbagai media.

Terbangun dari hibernasi dalam kesendirian tentu saja tak mengenakkan. Apalagi jika dijalani selama 90 tahun ke depan. Avalon memang menyediakan segala kebutuhan dan pemenuhan hajat penumpang untuk bertahun lamanya. Namun itu tak cukup mampu mengobati hasrat manusia yang butuh kehadiran orang lain.

Jim bertemubartenderbernama Arthur, yang ternyata sebuah robot (Android). Jim paham, Arthur tak mungkin dijadikan teman ‘curhat’. Kondisi ini tentu saja tak ideal bagi jiwanya. Ia pun menghabiskan waktu dengan berdansa, bermain basket sambil sesekali menenggak alkohol di bar, ditemani Arthur.

Setahun lamanya dicekam kesunyian, kebosanan mulai menghantui Jim. Ia butuh seseorang, kawan ‘ngobrol’ berwujud manusia. Bukan cuma Android yang tak punya emosi. Dalam salah satu adegan ketika ia mabuk, langkahnya terhenti di kapsul Aurora Lane (Jennifer Lawrence). Tanpa eksplorasi dan pendalaman memadai, seketika itu saja Jim jatuh hati pada sosok Aurora yang tengah lelap dalam tidurnya.

Dengan kecanggihan teknologi yang ada di Avalon, Jim berselancar melacak jejak Aurora di Bumi. Gadis itu ternyata seorang penulis (jurnalis). Pengetahuannya tentang Aurora kian menumbuhkan benih cinta di hati Jim. Kebimbangan menyeruak, antara membangunkan Aurora atau tidak. Sebab, masing-masing pilihan membawa konsekuensi.

Jim lantas curhat pada Arthur, yang mengangguk setuju dengan rencananya untuk membangunkan Aurora. Jim mewanti-wanti sangbartenderagar tak bercerita pada Aurora tentang tindakannya. Arthur mengangguk setuju. Dengan keahliannya sebagai mekanik di Bumi, Jim merusak kapsul (membangunkan) Aurora.

Namun, satu hal yang terlewat dari benak lelaki gagah nan kocak ini; Arthur itu robot. Kemungkinannya bakal membocorkan rahasia cukup besar. Dan itu terbukti ketika akhirnya Arthur keceplosan bicara soal Aurora.

Kehadiran Aurora membuat jalinan cerita yang hampir satu jam monoton mulai mencari bentuknya. Dialog dan perpindahan adegan cukup lancar dan urut walau minim romantisme. Nampak jelas keterburuan dalam penggarapan film ini. ‘Chemisty’ yang coba dibangun nampak kedodoran.

Jon Spaihts, penulis naskahDoctor Strangebersama Scott Derrickson dan C Robert Cargill, tak menunjukkan tajinya di sini. Demikian pula Morten Tyldum, tak menampilkan kreasi terbaiknya sebagaimana ia menggarapThe Imitation Gameyang mendapat respons positif. Rotten Tomatoes mengganjar dengan angka 90%, dan IMDB memberi 7,7 untuk film yang dibintangi Benedict Cumberbatch dan Keira Knightley itu.

Untung saja kekurangan ini sedikit tertutupi oleh akting Jennifer yang cukup optimal dan bumbu komedi Chris. Ada satu adegan menarik ketika Arthur mengajak Aurora ‘jalan-jalan’ keluar pesawat sembari melayang di angkasa nan luas.

Begitu salah satu pintu palka terbuka dan mereka melangkah keluar,scoringmusik yang mengiringinya cukup mengena. Dari sinitwistitu bermula. Jim berkata pada Aurora, "Kau percaya padaku?" sembari menarik gadis itu berlepas diri dari badan pesawat. Mereka lalu melayang-layang menikmati keindahan angkasa tanpa batas yang diterangi kerlip gemintang di kejauhan.

Dua anak manusia jatuh cinta. Tanpa rintangan berarti—apalagi romantisme—Jim berhasil memikat Aurora. Sayang jalinan kasih yang terjadi terkesan biasa saja, kurang mengharu-biru. Keinginan membuat filmsci-fiberbalut asmara sedikit luntur. Yang terlihat hanya ketergesa-gesaan dan kesan dipaksakan.

Kala Jim bersiap melamar Aurora dan menyematkan cincin di jarinya, saat itu pula Arthur membongkor rahasia. Aurora yang berupaya keras mencari tahu kenapa ia bangun sebelum waktunya, akhirnya mendapatkan jawaban. Ini ulah Jim. Lelaki ‘tukang servis’ itu tega membangunkannya dari kapsul hibernasi. Membangunkan tak ubahnya membunuh. Jim harus bertanggung jawab!

Jim sadar dirinya salah. Ia telah ‘membunuh’ gadis pemegang tiket emas di Avalon itu hanya untuk melampiaskan egonya yang terkungkung sepi. Pengetahuan Aurora tentang kenapa ia bangun sebelum waktunya pasti akan menimbulkan konflik. Itu jika mengikuti alur ‘normal’ film berbalut asmara. Namun, permainan emosi ini kurang dieksploitasi.

Tak usahlah dibandingkan dengan aksi Eddy Redmayne-Felicity Jones dalamThe Theory of Everything. Apalagi dengan Ethan Hawke-Julie Delpy dalam trilogy:Before Sunrise, Before SunsetdanBefore Midnight.Passengerhanya menampilkan kisah cinta biasa di pesawat antariksa nan megah.

Kegagalan film ini menampilkan sesuatu yang baru berbanding lurus dengan pendapatannya.Passengersgagal merajaibox office. Di pekan perdana penayangan, film ini hanya meraup $14,8 juta. Bandingkan dengan filmsci-fiRogue Onemisalnya, yang mampu meraup $155 juta di pekan pembuka.

Tentu saja hasil ini mengecewakan tim produksi. Padahal, bujet yang dihabiskan tidak kecil; mencapai $110 juta, setara Rp 1,48 triliun. Sony, sebagai rumah produksi harus memutar otak untuk mengembalikan modal. Kini mereka kian gencar mempromosikanPassengersdi berbagai wilayah. Berharap ada pemasukan lebih dan sedikit laba.

Dari segi rating juga begitu, tak terlalu menggembirakan. Rotten Tomatoes hanya mengganjar 31%, sedangkan Metacritic 41%. Rating yang lumayan diberikan IMDB, yakni 7,0. Angka ini sebenarnya masih jauh dibandingkan film-film serupa macamThe Martian (2015)8,0,Interstellar (2014)8,6, danGravity (2013)7,8.

Walau tak seberapa kuat dalam segi cerita,Passengersmenawarkan sesuatu yang lumayan ‘wah’ dari sisi sinematografi dan efek visual. Kemegahan Avalon sebagai pesawat super canggih ditampilkan dengan detil yang memikat.

Michael Sheen yang berperan sebagai Arthur juga mampu mengisi celah-celah yang terlewatkan. Tak jarang dialog dan aksi kocak si Android itulah yang justru ‘menghidupkan’ film sepanjang dua jam ini.

Salah satu adegan menawan di film ini adalah ketika Aurora tengah asyik berenang, tiba-tiba pesawat kembali mengalami malfungsi dan kehilangan daya gravitasi. Hilangnya gravitasi menyebabkan air kolam bergerak liar dan menciptakan gelembung raksasa. Perjuangan Aurora yang mencoba keluar dari satu gelembung itu digambarkan dengan indah dan realistis.

Jika berharap mendapatkan sensasi alaGravity, Interstellar, atauThe Martian, jelasPassengerstak menghadirkan itu. Demikian pula jika berharap adanya kisah asmara yang menggebah emosi, tak Anda temukan di sini. Namun, jika mengharapkan hiburan berbau komedi dengan latar petualangan luar angkasa, inilah dia.*

 

Jenis Film    : Adventure, Drama, Romance

Produser     : Neal H. Moritz, Ori Marmur, Stephen Hamel, Michael Maher

Sutradara    : Morten Tyldum

Penulis       : Jon Spaihts

Produksi     : Columbia Pictures

Pemain       : Jennifer Lawrence, Chris Pratt, Michael Sheen, Laurence Fishburne, dan Andy Garcia