Pengakuan PSK Rumahan di Subang: Frustrasi Berujung Lembah Prostitusi

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Berbicara mengenai prostitusi seolah tak ada habisnya. Tak melulu ditemui di kota-kota besar, aktivitas prostitusi juga banyak terjadi di wilayah pedesaan. 

Sebuah desa di Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini misalnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, desa yang dikenal sebagai ‘Kampung Cinta’ ini sudah akrab dengan prostitusi. Meski berada jauh dari pusat kota, desa ini bak ‘bunga cantik’ yang mampu memikat banyak kumbang. 

‘Fasilitas’ prostitusi yang ditawarkan di desa itu juga cukup menggiurkan, mulai dari tarif yang murah, perempuan muda nan cantik, hingga para gadis yang rela menjual keperawanan demi uang.

Ironisnya, bisnis hitam ini bukan dilakukan di lokalisasi, tetapi di rumah-rumah warga. Bahkan ada yang membuka usaha di rumah sendiri dengan izin orang tua.

kumparanmenelusuri desa tersebut untuk melihat lebih dalam soal keberadaan kegiatan prostitusi rumahan itu. Butuh waktu sekitar 2 jam dari pusat kota Subang untuk sampai ke desa yang dituju.

Saat memasuki desa, hamparan sawah yang luas memanjakan mata. Warga-warga bercengkrama di teras rumah mereka. Hembusan angin dan udara yang terasa begitu sejuk, suasana asli pedesaan.

Bila dilihat sekilas memang tidak terlihat kegiatan prostitusi di sana, yang ada hanya deretan rumah-rumah warga dan warung yang menjual bahan kebutuhan pokok. 

Untuk mengetahui bisnis prostitusi rumahan ini,kumparanbertanya pada sejumlah warga, namun jawaban yang diberikan kurang memuaskan. Mereka sedikit tertutup jika ditanya soal prostitusi. Mungkin karena sempat ada beberapa kali razia yang dilakukan oleh pemerintah setempat.

Menjelang sore hari sekitar pukul 18.00 WIB,kumparanakhirnya berhasil mendapatkan narasumber yang bersedia dimintai keterangannya. Janji sudah disepakati untuk bertemu di sebuah rumah di desa tersebut. Namun sayangnya, perempuan berusia 19 tahun itu tak kunjung datang tanpa alasan yang jelas.  

Penelusuran pun dilanjutkan. Masih di kecamatan yang sama, akhirnya seorang narasumber bersedia diwawancara, perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) berusia 21 tahun. Sebut saja namanya Yayah.

Perempuan bermata sipit itu menceritakan kisahnya menjadi PSK rumahan selama 3 tahun belakangan ini, dan bagaimana kegiatan prostitusi tumbuh subur di desanya. 

Yayah terjun ke dunia hitam saat usianya masih 18 tahun. Kala itu dia belum lama cerai dari suaminya. 

Menurut pengakuan Yayah, suaminya adalah pacarnya yang tega memperkosanya. Setelah peristiwa perkosaan itu, keduanya lalu dinikahkan. Sejak awal menikah, suaminya selalu kasar dan main tangan. Biduk rumah tangganya pun hanya bertahan 6 bulan dan keduanya bercerai.

Cobaan tak berhenti di situ, kematian ibunda di tahun yang sama, membuat hidup Yayah semakin sulit.

“Ya biasa main sama teman-teman ditawari begituan (jadi PSK) , karena frustasi ditinggal orang tua, disakiti mantan suami ya akhirnya berani nakal,” kata Yayah membuka percakapan, Kamis (16/8), di sebuah kamar, di rumah warga di Subang.

Usia yang relatif muda membuat Yayah mudah mendapatkan pelanggan. Dalam sehari ia mengaku bisa menerima 2 hingga 3 pelanggan, meski akhir-akhir ini ia mengaku sudah jarang menjajakan diri.

Palanggan Yayah bukan hanya berasal dari Subang, tetapi juga dari berbagai daerah baik desa maupun kota.

“Dari Subang, dari Jakarta, dari Pemanukan, banyak sih dari mana-mana," ungkapnya.

Untuk menghubungkan para pelanggan, Yayah menyebut ada peran muncikari yang mendapat komisi dari setiap transaksi. Untuk tarif yang dipatok Yayah mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah.

“Aku dapat tamu itu ditelepon, katanya sini ada tamu gitu kan aku datang, pas aku datang lalu udah beres si tamu ngasih Rp 500 (ribu), aku ngasi Rp 100 (ribu) sama si muncikari," ungkapnya.

Praktik Prostitusi di Rumah dan ‘Izin’ Orang Tua

Tak seperti kegiatan prostitusi biasanya yang terlokalisasi, atau disediakan di tempat hiburan, praktik haram di desa ini dilakukan di rumah-rumah warga.

Pelanggan yang ingin mencari hiburan akan diantar ke rumah warga oleh seorang ‘pemandu’. Tidak sembarang orang bisa diterima di rumah itu, biasanya antar pemandu dan pemilik rumah sudah saling kenal.

Setelah berbincang-bincang dan menyampaikan tujuan, si pemilik rumah akan memanggil para ‘bebek’. Di kampung ini para PSK biasa disebut ‘bebek’.

Bebek-bebek ini ada yang diorganisir oleh muncikari, tetapi ada juga yang ‘mandiri’. Untuk ‘bebek’ mandiri biasanya membuka jasa di rumah sendiri dan atas pengetahuan orang tua mereka. Bahkan ada yang memakai kamar orang tuanya untuk melakukan kegiatan prostitusi.

Yayah merupakan ‘bebek’ yang dikoordinasi oleh muncikari. Dia akan datang bila mendapat panggilan dan melakukan prostitusi di rumah si muncikari.

Menurut Yayah, kegiatan prostitusi rumahan di desanya sudah jadi hal biasa dan berlangsung sejak lama.

"Ya kadang kalau mucikarinya nempati di rumahnya, kadang kalau dianya ngajak ke rumah tempat yang lain ya di rumah yang lain gitu," ujarnya.

Pekerjaan Yayah sudah diketahui oleh ayahnya. Meski begitu, ayah Yayah tak keberatan anaknya bekerja sebagai PSK. Alasannya lagi-lagi karena faktor ekonomi. Sang ayah hanya berpesan agar Yayah selalu memperhatikan kesehatannya, jangan sampai terjangkit HIV/AIDS.

“Nggak papa asal bisa jaga diri, jaga kesehatan gitu aja dia (pesan ayah),” katanya. 

Soal pelanggan, Yayah mengaku sudah ribuan lelaki yang dilayani, jumlah pastinya dia tidak ingat. Dia hanya mengkalkulasi jumlah pelanggan harian yang mencapai 2 hingga 3 orang dan dikalikan selama 3 tahun dia menjadi PSK.

“Ya banyaklah kalau diitungkan aku sudah mulai tahun 2016 sekarang 2018,” katanya.

Para pelanggannya juga beragam profesi. Tak hanya masyarakat kelas biasa tetapi juga dari kalangan pejabat. Untuk kelas pejabat, Yayah mengaku dapat bayaran hingga jutaan rupiah.

"Pernah ada polisi aku pernah. Ada tentara bahkan aku nggak papa ya aku cerita, aku sama anggota DPR pernah," katanya sembari tersipu malu.

Maraknya prostitusi berbanding lurus dengan jumlah pengidap HIV/AIDS di sana. Para korban umumnya masih dalam usia produktif hingga anak-anak, yang tertular dari orang tuanya saat dia masih di kandungan. Yayah mengaku pernah menjalani tes dan hasilnya negatif, meski begitu bayang-bayang virus maut itu tetap menghantui hari-harinya.

“Aku pilih-pilih sama tamu. Aku juga sering konsultasi sama kesehatan pergi ke dokter gitu periksa badan jadi nggak (jorok) aku mah,” kata Yayah menutup obrolan.