Penjelasan Guru Besar ITS, Bilik Sterilisasi Bisa Aman Tapi Syaratnya..

pada 4 tahun lalu - by

Bilik Sterilisasi (Foto: Tomi Tresnady / Uzone.id)

Uzone.id- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan disinfektan disemprotkan ke kulit manusia, seperti protokol ketika masuk dalam Bilik Sterilisasi atau Bilik Disinfektan.

WHO memperingatkan bahaya pamakaian alkohol dan klorin saat bersentuhan dengan kulit manusia. Apalagi dengan takaran yang tidak direkomendasikan.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Prof Dr rer nat Fredy Kurniawan MSi menjelaskan soal fenomena Bilik Sterilisasi di tengah wabah virus Corona (Covid-19).

"Saya kira hal ini dipicu oleh keberhasilan Vietnam yang turut mempopulerkan lewat dunia maya,” ujar Fredy dalam pernyataannya yang dimuat di situsits.ac.id.

“Masalah mulai timbul ketika ada sentilan dari WHO terkait bahaya pemakaian alkohol dan chlorine pada tubuh,” kata dia.

Dosen Departemen Kimia ITS ini menambahkan, informasi dari WHO mengingatkan pada kita bahwa bahan kimia perlu ditangani dengan benar.

Baca juga: WHO Tidak Rekomendasi Kamu Masuk ke Bilik Sterilisasi, Ada Bahayanya

Dalam hal ini, pengetahuan mengenai kimia sangat diperlukan, mengingat banyak masyarakat awam yang membuat disinfektan maupun antiseptik sendiri.

“Bila dilakukan oleh orang yang tidak punya kompetensi dan kapabilitas yang cukup dalam meramu dan menggunakan secara benar, maka akan sangat berbahaya bagi diri sendiri, orang lain, dan juga lingkungan dalam waktu dekat dan bisa jadi jangka panjang,” kata Fredy prihatin.

Penjelasan lebih dalam apa itu antiseptik dan disinfektan. Berdasarkan istilah WHO, antiseptik adalah salah satu jenis disinfektan yang menghancurkan atau menghambat mikroorganisme pada jaringan hidup tanpa mengakibatkan cedera.

“Termasuk dalam klasifikasi ini adalah polyvidone iodine, chlorhexidine, dan alkohol,” terang Dosen yang bergelut di bidang kemo dan biosensor ini,

Sedangkan, disinfektan berfungsi menghancurkan dan menghambat mikroorganisme patogen pada keadaan nonspora atau vegetatif.

Bahan-bahan berbasis kedua material yang disebut, yaitu klorin dan etanol banyak tersedia di pasaran.

Bahkan, WHO juga telah memberikan resep rekomendasi membuat hand sanitizer berbasis etanol dan Iso Propyl Alcohol (IPA).

“Masalahnya, apakah masyarakat mempunyai kemampuan untuk meramu dengan benar? Bahkan di antara yang membuat tidak mengerti bagaimana memeriksa kadar alkohol dan bahan yang digunakan dengan baik,” kata dia lagi.

Dengan adanya formula WHO ini bikin orang awam pun mendadak mengerti kimia. Membuat hand sanitizer sendiri menjadi pilihan masyarakat karena harganya di pasaran sangat mahal.

Ada yang membuat untuk kebutuhan pribadi atau bahkan juga karena melihat peluang bisnis. Bahan baku etanol dan IPA menjadi langka dan harganya meningkat drastis, dari Rp 30 ribu per liter menjadi Rp 180 ribu per liter.

"Akibatnya masyarakat menjadi panik karena menganggap hand sanitizer sebagai dewa penyelamat ,” ungkap Kepala Departemen Kimia ITS ini.

Dari masalah yang terus timbul, datanglah “bantuan darurat” yang bermaksud membantu dari seseorang pada lembaga tertentu. Yang mana memberikan cara sederhana membuat hand sanitizer dari bahan-bahan disinfektan yang mudah ditemui di pasaran.

“Senyawa-senyawa dalam rekomendasi tersebut sebenarnya bukan untuk antiseptik, apalagi ada ide senyawa tersebut dipakai pada bilik sterilisasi,” ujar dia.

Padahal WHO sudah jelas tidak merekomendasikan cairan seperti etanol, chlorine, dan H2O2 pada bilik sterilisasi.

Bahan-bahan tersebut bersifat karsinogenik, bahkan mengakibatkan mutasi bakteri, dapat dilihat Material Safety Data Sheet (MSDS).

Pendapat ini mempertimbangkan dampak negatif pada satu hingga dua tahun ke depan.

 

Disinfektan hanya akan mempengaruhi yang ada dalam ruangan bilik, walaupun residunya pun dapat keluar dalam jumlah besar. Namun yang menjadi pokok masalah bahaya dari bilik ini adalah bahan kimia yang digunakan.

Dari semua bahan kimia yang umum tersedia sebagai disinfektan berdasarkan Centers of Disease Control and Prevention (CDCP) dan WHO, hampir semua senyawa tersebut memiliki efek yang cukup signifikan bila digunakan kepada manusia secara langsung.

“Namun, ada dua senyawa yang aman digunakan, yaitu ozon dan klorin dioksida, namun tetap dengan ukuran yang telah ditentukan dan cara pemakaian yang benar,” terang Fredy.

Tulisan terbaru terkait terapi ozon telah dilaporkan oleh Rowen dan Robins. Ozon efektif digunakan untuk membunuh SARS Cov-2 yang merupakan penyebab Covid-19, secara aman, efektif, dan dengan biaya yang rendah.

“Batas yang bisa diterima manusia terpapar oleh ozon adalah 0,06 ppm selama 8 jam per hari untuk lima hari dalam seminggu atau 0,3 PPM maksimum untuk 15 menit,” jelas Fredy.

Sedangkan untuk chlorine dioxide (klorin dioksida), lanjut Fredy, berdasarkan data WHO dan penelitian lain memiliki potensi untuk digunakan dalam bilik sterilisasi.

Penelitian menunjukkan bahwa bila terhirup pada jangka yang pendek klorin dioksida cukup aman bagi kesehatan manusia, dengan batas konsentrasi sampai 0,3 ppm selama 15 menit tidak akan menyebabkan kematian ataupun tanda-tanda adanya gangguan kesehatan.

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, Bilik Sterilisasi menggunakan Ozon dan Chlorine Dioxide memiliki potensi untuk digunakan mengatasi kasus Covid-19 dengan aman.

Namun, syarat bilik sterilisasi harus dibuat dan dikontrol kualitasnya oleh tenaga ahli yang kompeten.

Kontrol kualitas dari bilik yang dimaksud adalah terkait dosis dan cara penggunaan yang benar, bahan-bahan disinfektan lain selain Ozon dan Chlorine Dioxide tidak direkomendasi karena dapat mengakibatkan efek samping yang fatal dalam jangka waktu dekat maupun panjang.

Dengan kondisi pandemi seperti saat ini, kata Fredy, tentu saja semua cara perlu untuk dikerahkan dalam mengatasinya.

 

VIDEO Realme 6 vs. Realme 6 Pro, Mending Mana?