Selain Ustaz Abdul Somad, Ribuan Orang Juga Ditolak Masuk Hong Kong

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Ustaz kondang, Abdul Somad, dilarang masuk Hong Kong ketika akan mengisi sebuah acara dakwah di kota itu pada Minggu (24/12). Dia langsung dideportasi tidak lama setelah tiba di wilayah otonomi khusus China itu. 

Dalam tulisannya di media sosial, Abdul Somad mengatakan sempat diinterogasi oleh pihak imigrasi Hong Kong. Tanpa alasan yang jelas, Hong Kong mengatakan tidak bisa menerima Abdul Somad di kota mereka. Tidak lama, dia diterbangkan kembali ke Indonesia.

Kasus yang menimpa penceramah asal Indonesia ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Hong Kong. Sebelumnya pada Maret 2015, dua orang ustaz Indonesia yang merupakan penceramah sekaligus ahli ruqyah juga ditolak masuk Hong Kong.

Mereka tidak sempat menginjakkan kaki di luar bandara, sudah dideportasi ke tanah air. Sama seperti Abdul Somad, keduanya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pihak imigrasi Hong Kong ihwal larangan masuk itu.

Namun sebelum kedua ustaz itu masuk ke Hong Kong, muncul selebaran tabligh akbar yang akan mereka isi. Dalam selebaran itu, terdapat lambang ISIS di sampingnya. 

Kepada media dua tahun lalu, salah satu ustaz itu, Sahal Khan, mengatakan selebaran itu telah diubah oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Pada selebaran yang asli, kata dia, tidak ada lambang ISIS di dalamnya.

Sahal membantah dia terlibat ISIS, dan Tuduhan keterlibatan mereka di kelompok itu juga tidak terbukti. 

Pemimpin Hong Kong saat itu Leung Chun-ying menanggapi selebaran tersebut, mengatakan ancaman terorisme di kotanya ditanggapi sangat serius. Kasus ini muncul di tengah laporan adanya pekerja Indonesia di Hong Kong yang bergabung dengan ISIS.

Studi think tank Institute for Policy Analysis of Conflict Agustus lalu menyebutkan ada 43 pekerja domestik asal Indonesia yang teradikalisasi di Hong Kong. Data ini memang terbilang kecil, namun membuat pemerintah Hong Kong waspada.

Dikutip dari South China Morning Post (SCMP) pada Agustus lalu, radikalisme di Hong Kong muncul setelah perang di Suriah pada 2011, dan meningkat pada 2013 ketika konflik memuncak.

Abdul Somad dan Sahal hanya sedikit dari ribuan orang yang ditolak masuk ke Hong Kong sejak 2013. Menurut data Departemen Imigrasi Hong Kong yang dikutip SCMP, Asia Pasifik adalah wilayah terbanyak kedua yang warganya ditolak masuk ke kota itu, setelah China daratan.

Pada 2012, hanya 5.833 orang yang dari Asia Pasifik yang ditolak visanya ke Hong Kong. Jumlah ini meningkat pesat antara 2014 dan 2015, dari 6.164 menjadi 11.491 orang.

Antara tahun itu, jumlah yang dideportasi ketika baru menginjakkan kaki di Hong kong mencapai antara 42.177 hingga 56.855 orang. 

Menurut konsultan keamanan dan mantan kepala polisi Hong Kong Clement Lai Ka-chi kepada SCMP, ada beberapa faktor seseorang ditolak masuk Hong Kong. Di antaranya adalah ancaman internasional, latar belakang, kebangsaan, dan riwayat perjalanan.

Dalam kasusnya, Sahal mengatakan seorang ustaz yang bersama dia ditolak masuk Hong Kong setelah fotonya di masa lalu yang memakai kaos ISIS tersebar kembali di internet. Padahal menurut Sahal, itu foto lama ketika ISIS belum mendeklarasikan kekhalifahan dan jadi ancaman dunia pada 2014.

Sampai saat ini, tingkat ancaman teroris di Hong Kong berada di level "menengah", artinya tidak ada info intelijen yang mengatakan kota itu jadi target serangan.

Laporan think tank juga menyebutkan, para simpatisan ISIS di Hong Kong bukanlone wolfyang bisa menyerang kapan saja. Tapi mereka membantu penyaluran dana dan perjalanan ke Suriah dari Hong Kong bagi pengikut ISIS lainnya.

Tapi Hong Kong tidak hanya menolak para ustaz atas tuduhan ekstremis atau radikal--yang tidak pernah terbukti. Kota itu juga sempat dikecam karena menolak masuk aktivis hak asasi manusia asal Inggris, Benedict Roger, Oktober lalu.

Dari sini diketahui, ancaman bagi Hong Kong tidak hanya radikalisme, tapi juga semua orang yang menyuarakan demokrasi dan hak asasi manusia. 

Hong Kong dikembalikan ke China pada 1997 setelah berada di tangan Inggris. Sejak saat itu, kota tersebut berada di genggaman Partai Komunis, walau memiliki sistem pemerintahan yang berbeda. 

Upaya reformasi dan demokratisasi dengan tuntutan pemilu yang adil tidak digubris China. Aktivis ditangkapi dan protes kerap berujung ricuh.

Alasan ketakutan akan terorisme bisa digunakan kapan saja oleh Hong Kong untuk mengusir orang-orang yang berpotensi mengganggu kendali pemerintahan China daratan.