Perancis vs Argentina: Messi dan Banega versus Dilema Deschamps

pada 6 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Argentina berhasil lolos dari lubang jarum. Tampil tanpa inspirasi saat ditahan imbang Islandia, tampil berantakan saat kalah dari Kroasia, mereka berhasil melangkah ke babak 16 besar setelah mengalahkan Nigeria 2-1 pada pertandingan yang paling menentukan bagi kelangsungan hidup mereka di Piala Dunia 2018.

Dalam pertandingan tersebut, Messi yang dalam dua pertandingan sebelumnya seperti tertidur, tiba-tiba bangkit untuk mencetak gol. Gol kemenangan Argentina juga lahir di menit-menit terakhir pertandingan dari kaki kanan pemain yang tidak disangka-sangka sebelumnya: Marcos Rojo.

Untuk itu, Gonzalo Higuain bangga dengan kemenangan timnya. Setelah pertandingan, iamengatakan,  “Anda tidak bisa menulis naskah yang lebih baik daripada ini.”

Menyoal Messi yang tiba-tiba bisa melepaskan beban berat di punggunggnya untuk sementara, Sampaoli, yang terlihat begitu tertekan saat Argentina tak berdaya di hadapan Kroasia, juga tak bisa menutupi kekagumannya:

“Sisi kemanusiaannya [Messi] luar biasa. Dia mempunyai perasaan, dia menangis, dia menderita, dia bahagia saat Argentina meraih kemenangan. Saya mengenalnya. Saya sudah melihatnya bahagia, sedih, di masa-masa krisis, di masa-masa positif. Orang-orang mengatakan bahwa dia tidak menikmati penampilannya bersama Argentina, tetapi dia menderita seperti para penggemar Argentina. Hal itulah yang kemudian membuatnya semakin hebat.”


Namun, Argentina harus segera melupakan semua kebahagiaannya itu. Jika masih menginginkan gelar Piala Dunia, mereka harus kembali bersiap, tidak boleh tidak. Pasalnya, malaikat maut yang menghadang Argentina di fase sistem gugur lebih kejam daripada sebelumnya. Perancis sudah bersiap di depan pintu 16 besar. Dan jika mereka berhasil melaluinya, Uruguay, Portugal, Meksiko, serta Brasil bisa menjadi lawan mereka di babak-babak selanjutnya.

Apabila penampilan Argentina di Piala Dunia 2018 -- terutama saat menghadapi Islandia dan Kroasia -- masih jauh dari harapan, penampilan Perancis hanya sedikit berada di atas mereka. Meski berhasil lolos ke babak 16 besar dengan status juara Grup C, anak asuh Didier Deschamps tersebut dibuat repot oleh Peru, Australia, dan Denmark.

Perancis hanya mampu menang 2-1 melawan Australia, menang 1-0 melawan Peru, dan ditahan imbang Denmark 0-0 pada laga terakhir putaran grup. Penampilan Perancis dalam tiga pertandingan kemudian mengecewakan sejumlah pengamat.

Sementara Stuart Jamesmengatakanbahwa "Perancis hanyalah sekumpulan individu brilian yang tidak mampu tampil secara kohesif", Simon Kupermenyebutbahwa Perancis "mandul, tidak mampu berkembang dari pertandingan ke pertandingan".

Meski begitu, Deschamps tak ambil pusing dengan semua itu. Pasalnya, di fase sistem gugur, dimulai dengan melawan Argentina, Perancis mempunyai peluang besar untuk melawan tim yang setara atau bahkan lebih kuat daripada mereka. Itu berarti, Perancis bisa bermain sesuai dengan keinginan mereka: mengandalkan serangan balik dengan memanfaatkan kecepatan para penyerangnya.

Deschamps yakin bahwa timnya mampu melangkah jauh di Piala Dunia 2018. “Kompetisi kedua [fase sistem gugur] dimulai sekarang,” kata Deschamps. “Kekuatan Perancis akan muncul dengan sendirinya.”

Formasi 4-4-2, Ever Banega, dan Lionel Messi    

Argentina sudah bermain dengantiga formasi berbedadi Piala Dunia 2018 sejauh ini. Saat bermain melawan Islandia mereka bermain dengan formasi 4-2-3-1, melawan Kroasia mereka bermain dengan formasi 3-4-1-2, dan saat bertandingan melawan Nigeria Sampaoli menerapkan formasi 4-4-2, yang kerap berubah menjadi 4-3-3 (Messi dan Di Maria sejajar dengan Higuain).

Jika melihat hasil, Argentina memang terlihat lebih baik saat bermain dengan formasi 4-4-2. Saat itu, dilihat dari gol dan jumlah tembakan ke arah gawang yang mereka lakukan, anak asuh Sampaoli tersebut bermain bermain lebih efektif: Argentina hanya melakukan 9 kali percobaan tembakan ke arah gawang dan berhasil mencetak 2 gol. Bandingkan saat Argentina bertanding melawan Islandia dan Kroasia: mereka melakukan 37 kali [27 kali saat melawan Islandia dan 10 kali saat melawan Kroasia] percobaan tembakan ke arah gawang pada dua pertandingan tersebut, tapi hanya mampu mencetak 1 gol.

Saat menghadapi Perancis, Sampaoli bisa kembali menggunakan formasi tersebut. Pendekatan lini tengah Argentina saat bertanding melawan Nigeria juga bisa kembali diterapkan.

Saat bertahan empat pemain tengah Argentina bisa berdiri sejajar dan saat menyerang, terutama saat Angel Di Maria yang bermain di sisi kiri ikut maju ke depan, Enzo Perez yang bermain di kiri bisa merapat ke lini tengah, berdiri sejajar dengan dua gelandang tengah Argentina. Dengan begitu, saat Perancis melakukan serangan balik, lini tengah Argentina bisa membatasi pergerakan Antoine Griezmann yang seringkali menjadi pusat transisi serangan Perancis.

Ever Banega, yang tampil menonjol di lini tengah Argentina saat menghadapi Nigeria, bisa kembali menjadi pilihan utama. Kemampuan Banega sebagai pemain nomor 5, pemain nomor 8, dan pemain nomor 10 bisa sangat menguntungkan. Baik saat bertahan maupun menyerang, ia bisa mempermudah kinerja Javier Mascherano yang mulai lambat dimakan usia. Saat melawan Nigeria, Banega benar-benar dominan di lini tengah Argentina: ia melakukan 111 kali sentuhan, mengumpan 90 kali, melakukan tekel 3 kali, mencatatkan 3 kaliintercept, menciptakan 3 peluang, dan mencatatkan 1 asist.


Selain bisa membuat Argentina tampil lebih kreatif, Banega juga bisa mempermudah kinerja Messi. Saat menghadapi Islandia dan Kroasia, bermain sebagai pemain nomor 10, Messi kesulitan untuk memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap penampilan timnya.

Saat bertanding menghadapi Islandia, ia tampak berjuang seorang diri baik untuk mengkreasi peluang maupun dalam mengancam gawang Islandia. Haslinya: ia menyentuh bola sebanyak 116 kali, menciptakan 3 peluang, dan 11 kali melakukan percobaan tembakan, tetapi sia-sia begitu saja.

Ketergantungan Argentina tersebut kemudian memberikan jalan bagi Kroasia untuk mengalahkan Argentina: melalui pemain-pemain tengahnya, Kroasia, berusahan mengisolasi Messi. Pendekatan itu berhasil. Messi hanya menyentuh bola sebanyak 49 kali dan hanya 1 kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang. Argentina tak bergigi, Kroasia menang tiga gol tanpa balas.

Bersama Banega, Messi bisa kembali dimainkan sebagai salah satu penyerang Argentina. Dari posisi itu, ia masih bisa turun ke lini tengah seperti kebiasaannya, tetapi juga bisa lebih berbahaya karena berada lebih dekat dengan gawang lawan. Apa yang dilakukannya saat menghadapi Nigeria bisa menjadi bukti: Ia berhasil mencetak 1 gol hanya dari 2 percobaan tembakan ke arah gawang.

Selain itu, dengan bermain lebih ke depan, Messi juga akan jarang bersinggungan dengan Ngolo Kante, gelandang bertahan Perancis yang mempunyai kemampuan bertahan kelas satu.



Saatnya Kante, Pogba, dan N’Zonzi bermain Bersama

Perancis kemungkinan besar akan kembali bermain dengan formasi 4-2-3-1, formasi andalan mereka sejauh ini. Samuel Umtiti dan Raphael Varane akan kembali diduetkan sebagai bek tengah, diapit oleh Benjamin Pavard dan Benjamin Mendy. Nama terakhir memang baru sembuh dari cedera, tetapi kemampuan menyerangnya bisa memberikan opsi tambahan saat Perancis ingin menyerang dari sisi lapangan.

Jika di lini belakang Deschamps sepertinya tak kesulitan untuk menentukan komposisi terbaiknya, di sektor tengah, terutama di posisidouble pivot, lain cerita. Duet Pogba dan Kante mampu tampil bagus saat Perancis mengalahkan Australia dan Peru. Sementara Pogba sering muncul dari lini kedua untuk menciptakan perbedaan, Kante mampu melindungi garis pertahanan dengan baik.

Namun, duet Kante dan N’Zonzi juga tak kalah  bagus saat Perancis bertanding melawan Denmark.  Dua pemain tersebut berhasil mematikan Christian Eriksen. Selain itu, N’Zonzi juga mampu membuat Perancis tampil lebih kohesif. Sebuah penampilan yang tidak diperlihatkan Perancis saat menghadapi Australia dan Peru.


Karena kecenderungan Lionel Messi yang sering turun ke lini tengah, Kante dan N’Zonzi bisa dipertimbangkan untuk kembali dimainkan. Dibanding Pogba, N’Zonzi lebih disiplin menjaga daerah. Dengan begitu, saat Kante mempunyai tugas khusus untuk mematikan Messi, N’Zonzi masih mampu melindungi lini pertahanan Perancis.

Namun pendekatan itu bukannya tanpa risiko. Perancis bisa kehilangan tiga kemampuan Pogba yang sangat berguna saat Perancis melakukan serangan balik. Pertama, sementara N’Zonzi lebih statis, Pogba sering muncul dari lini kedua untuk mendukung serangan Perancis. Kedua, umpan-umpan jauh Pogba juga sering mengawali serangan cepat yang dilakukan oleh anak asuh Didier Deschamps tersebut. Ketiga, Pogba punya kemampuan tekel yang bisa sangat menentukan di pertahanan lawan, terutama saat lawan sedang berusaha membangun serangan dari bawah.

Faktor terakhir itulah yang membuat Perancis menang 1-0 saat melawan Peru. Pogba yang pernahmencapai rataan 2,5 tekel per game di salah satu musimnya bersama Juventus, berhasil merebut bola dari kaki pemain Peru yang sedang berusaha membangun serangan dari bawah. Dari sanalah Perancis akhirnya mencetak gol melalui kaki Mbappe. Melihat cara bermain lini pertahanan Argentina yang cenderung gampang goyah dan panik, mencadangkan Pogba membuat Perancis bisa kehilangan momentum seperti yang terjadi saat melawan Peru.

Deschamps mungkin bisa mengambil jalan tengah dengan memainkan Kante, Pogba, dan N’Zonzi secara bersamaan. Meski tetap bermain dengan formasi 4-2-3-1, Deschamps bisa mengubah pendekatan di lini tengahnya.  Saat menyerang skema lini tengah Perancis bisa berubah bentuk menjadi 1-2: N’Zonzi menjadisingle pivot, sementara Pogba dan Kante bermain sedikit di depannya. Dengan begitu, kemampuan Pogba dalam merebut bola di daerah lawan juga bisa dimaksimalkan. Ia bisa mengganggu peran Banega dan Mascherano dalam mengatur tempo permainan Argentina.


Jika komposisi tersebut benar-benar diterapkan Deschamps di lini tengah Perancis, Antoine Griezmann bisa dimainkan sebagai penyerang tengah. Selain karena kecepatannya yang dapat menguntungkan Perancis saat melakukan serangan balik, Griezmann sejauh ini memang lebih efektif saat bermain sebagai penyerang daripada sebagai pemain nomor 10. Bersama Atletico Madrid musim 2017-2018 lalu, ia berhasil mencetak 24 gol dan mencatatkan 12assistsaat bermain sebagai penyerang tengah. Sedangkan dalam tiga pertandingannya sebagai pemain nomor 10, ia hanya mampu mencetak 1 gol.

Tidak seperti Australia, Peru, dan Denmark, Argentina memang berpotensi menyulitkan Perancis. Namun cara bermain Argentina juga bisa merepotkan diri mereka sendiri. Pasalnya, anak asuh Sampaoli tersebut gemar melakukan penguasaan bola. Dalam tiga pertandingan, rataan tingkat penguasaan bola Argentina berhasil mencapai 62,3%, terbaik ketiga di Piala Dunia 2018 setelah Spanyol dan Jerman.

Catatan itu tentu saja bisa menguntungkan pendekatan Perancis yang lebih menekankan serangan balik. Dalam tulisannya di Guardian, Patrick Ubini mengatakan di bawah asuhan Didier Deschamps, Les Blues cenderung bermain cepat di lini depan, menekankan serangan balik, dan mengandalkan solusi individual daripada solusi yang bersifat kolektif dan sistematis. Jika kolektifitas itu bisa dinaikkan saja, Perancis bisa benar-benar berbahaya justru saat penguasaan bola dikendalikan Argentina.
Baca juga artikel terkaitTIMNAS ARGENTINAatau tulisan menarik lainnyaRenalto Setiawan