Perdebatan Pajak dari Tuyul dan Kuntilanak di Twitter

pada 7 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Ada perdebatan di Twitter sejak pagi tadi, soal apakah seseorang yang menghasilkan uang dari kegiatan yang dikenal pesugihan, atau mencuri uang menggunakan tuyul, perlu membayar pajak?

Pertanyaan dilontarkan seorang pengguna Twitter dengan akun @alvianoszta, Jumat (25/8). "Min, jika ada seorang pengangguran tetapi dia melakukan pesugihan/memelihara tuyul sehingga uangnya banyak, apakah dia kena pajak?" tanya Alvian. 

Pertanyaan itu tentu hanya kelakar, tapi ternyata direspons oleh admin @DitjenPajakRI. 

Jawaban Ditjen Pajak itu melahirkan tweet-tweet lain mencoba menjawab pertanyaan Alvian. Ada yang menjawab bahwa sumber pajak tidak mengenal halal haram, sehingga hasil pesugihan tetap perlu disetorkan pajaknya.

Begitu juga akun @HAFalach yang mencoba menyimpulkan bahwa maling dan penghasilan hasil kejahatan perlu dikenakan pajak. "Ini Indonesia... Berarti maling juga kena pajak dong? Rentenir juga kena pajak? Banyak juga ya obyek pajak di Indonesia," tulisnya berkelakar.

Kelakar berlanjut dengan usulan perlu adanya direktorat baru untuk mengurusi pajak yang bersumber dari alam gaib. Tapi akun lain mencoba menghitung pajak pesugihan.

Selain tentang Tuyul ada juga pertanyaan tentang pajak dari kuntilanak, yang lagi lagi direspons oleh @DitjenPajakRI maupun @kring_pajak. 

Pertanyaan serupa banyak muncul, tapi tentu semuanya adalah kelakar. Karena pada intinya adalah cara Ditjen Pajak mendekatkan diri kepada para wajib pajak untuk meningkatkan pemasukan pajak.

Soal pesugihan atau pendapatan dari hasil mencuri, tentu sebelum bicara kewajiban pajaknya, perilaku mereka adalah adalah tindakan kriminal yang dijerat dengan KUHP. Berbeda dengan kelakar satu ini:

 

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 1 dan 2 soal pajak sebagai berikut:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 2 Ayat 2 berbunyi:

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Secara sederhana, Ditjen Pajak juga sudah memberikan panduan soal pajak di sini.