Piala Dunia Perancis 1938 dan Blunder Kesebelasan Brazil
Penunjukan tuan rumah Piala Dunia kerap diiringi perdebatan dan kontroversi.
Pada Piala Dunia perdana di Uruguay, sejumlah negara Eropa tak mau datang ke Montevideo. Empat tahun berikutnya, giliran Uruguay, sang juara bertahan, yang membalas tak mau datang ke Italia.
Perhelatan Piala Dunia 1938 di Perancis pun ternyata memunculkan persoalan serupa. Kali ini, yangngambekadalah Argentina.
Argentina, bersama Perancis, memang mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia ketiga. Selain mungkin tergiur karena keuntungan finansial yang didapat Uruguay dan Italia sebagai tuan rumah, alasan lainnya karena dukungan penonton dianggap ikut membantu membawa keduanya menjadi juara.
Argentina, yang merasa jatah tuan rumah Piala Dunia harus digelar kembali di Amerika Selatan setelah sebelumnya dihelat di Eropa, tak menerima keputusan FIFA dan menarik diri dari keikutsertaan.
Argentina tak sendiri dalam hal ini. Uruguay dan Inggris masih tak mau berpartisipasi. Begitu pun dengan Amerika Serikat yang menolak melakukan laga melawan Hindia Belanda (Indonesia) di babak kualifikasi yang secara otomatis menjadikannya negara Asia pertama yang lolos ke putaran final.
Di Bawah Bayang-Bayang Perang
Selain karena alasan teknis, pada perhelatan kali ini banyak pula negara-negara yang absen karena alasan perang. Jepang, misalnya, tak jadi ikut karena tengah berperang dengan Cina dan Spanyol sedang dilanda perang saudara.
Namun, yang paling memilukan dari semuanya adalah nasib yang menimpa “Wunderteam” Austria. Tim semifinalis empat tahun lalu itu tak bisa tampil di Piala Dunia kali ini karena mendapati negaranya dianeksasi Nazi Jerman.
Menurut Clemente A. Lisi dalamHistory of World Cup 1930-2014(2015:32) yang menjadi pendorong Hitler menginvasi Austria karena ia mengagumi manuver Mussolini pada 1934 yang banyak menaturalisasi pemain. Empat pemain Austria memang lantas bermain untuk Jerman.
Namun, bintang tim Wunderteam, Matthias Sindelar, menolak untuk mengenakan kostum Jerman. Satu tahun kemudian, pemain berjulukDer Papierene(Manusia Kertas) ini—karena kemampuannya menerobos pertahanan lawan seperti selembar kertas—ditemukan tewas secara misterius (hlm. 33).
Tahun 1938 merupakan tahun yang muram. Selang setahun Nazi Jerman menginvasi Polandia yang menandai Perang Dunia II, dan sebelas bulan setelahnya Perancis pun ikut takluk. Piala Dunia baru bisa digelar kembali dua belas tahun kemudian pada 1950 di Brazil.
Seperti yang ditulis oleh Eduardo Galeano dalamSoccer in Sun and Shadow(2003:69), “Di Paris, di bawah bayang-bayang perang yang sebentar lagi tiba, di kota yang sedang memamerkan [lukisan]Guernicakarya Picasso yang mengutuk era kekejian, Piala Dunia ketiga tengah dibuka. Di stadion Colombes, Presiden Perancis Albert Lebrum menendang bola sebagai tanda kickoff: kakinya mengarah bola namun yang kena malah tanah.”
Menyia-nyiakan Leônidas de Silva
Turnamen dibuka pada 4 Juni 1938 mempertemukan Jerman versus Swiss di stadion Parc de Princes, Paris. Upaya susah-payah Hitler menginvasi Austria rupanya sia-sia setelah Jerman terpaksa angkat kaki di putara pertama. Bermain imbang 1-1 di laga pertama, membuat keduanya harus melakukan pertandingan ulang yang dimenangkan Swiss 4-2.
Laga lain di putaran pertama, Hindia Belanda kalah telak oleh Hungaria 6-0 dan Kuba secara mengejutkan menjungkalkan Romania lewat dua kali pertandingan. Italia, yang akan menjadi kampiun untuk kedua kalinya dengan mengalahkan Hongaria 4-2 di final, hampir saja tersingkir oleh Nowegia sebelum akhirnya bisa membalikkan keunggulan menjadi 2-1 di perpanjangan waktu.
Namun, pertandingan antara Brazil versus Polandia yang menjadi pertandingan terbaik di putaran pertama. Bukan saja karena banyaknya gol yang tercipta melainkan saling kejar dalam mencetak gol antara Leônidas de Silva dan Ernest Wilimowski. Brazil akhirnya keluar sebagai pemenang setelah melewati babak perpanjangan waktu dengan skor 6-5. Masing-masing Leônidas dan Wilimowski mencetak empat gol.
Dalam turnamen kali ini Brazil muncul sebagai kekuatan sepakbola yang diperhitungkan tidak seperti dua gelaran Piala Dunia sebelumnya. Leônidas sebagai bintangnya. Sering dianggap sebagai salah satu pemain superstar yang mula-mula, Leônidas, menurut Galeano, memperoleh lebih banyak kiriman surat dari fans daripada bintang film. (hlm. 72).
Kendati bukan yang menciptakan tendangan sepeda (bicycle kick) atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah tendangan “balik bandung,” pemain berkulit gelap ini merupakan pemain yang mempopulerkan tendangan akrobatik itu.
Memiliki banyak julukan mulai dari “Berlian Hitam,” “Manusia Karet,” dan “Penyihir Hitam,” aksi-aksi akrobatik Leônidas di atas lapangan mengundang decak kagum. Mengutip Jerry Weinstein dalam tulisannya berjudul “Leônidas de Silva” diGuardian, Brian Glanville menyebut Leônidas yang “secepat anjing greyhound, setangkas kucing, dan tampak bukan terbuat dari daging dan tulang sama sekali, melainkan karet. Tak pernah kelelahan mengejar bola, berani, dan selalu dalam pergerakan ... Ia menembak dari berbagai sudut dan posisi, mengimbangi tubuhnya yang pendek dengan kelenturan luar biasa, liukan tubuh yang absurd, dan aksi akrobat yang mustahil.”
Melaju ke babak perempat final, di Bordeaux, Brazil berhadapan dengan Cekoslowakia yang di putaran pertama menyingkirkan Belanda 3-0. Disaksikan dua puluh lima ribu penonton rupanya ini merupakan pertandingan brutal yang memakan paling banyak korban di Piala Dunia 1938, melibatkan adu jotos, tiga kartu merah (dua untuk pemain Brazil, satu untuk pemain Cekoslowakia), satu patah kaki dan patah lengan di antara dua pemain Cekoslowakia.
Di pertandingan itu, Leônidas mencetak gol kelimanya di menit ke-30 sebelum dibalas oleh Cekoslowakia lewat tendangan penalti di menit ke-64. Laga berakhir imbang 1-1. Di pertandingan ulangan, Leônidas kembali mencetak gol di babak kedua setelah Cekoslowakia unggul di babak pertama, sebelum disegel pemain debutan Roberto lewat tendangan voli yang tak bisa dihentikan kiper Cekoslowakia, Karel Burket.
Menang 2-1, Brazil untuk kali pertama melaju ke babak semifinal. Lawan yang sudah menanti di babak empat besar adalah sang juara bertahan Italia, yang sebelumnya menyingkirkan tim tuan rumah Perancis 3-1.
Brazil rupanya tak gentar dengan reputasi Itali. Buktinya mereka sudah memesan tiket pesawat ke Paris (kota tempat laga final akan dilangsungkan) sebelum laga semifinal yang digelar di Marseilles. Tak hanya itu, sang pelatih Ademar Pimenta bahkan menyimpan Leônidas untuk pertandingan final.
Kepercayaan diri Brazil yang kelewat tinggi itu akhirnya menjadi bumerang. Italia menang dengan skor 2-1 lewat gol Colaussi dan Giuseppe Meazza. Romeo mencetak gol untuk Brazil tiga menit menjelang bubaran.
Di perebutan tempat ketiga melawan Swedia yang dikalahkan Hungaria 5-1, Leônidas kembali diturunkan dan menyumbang dua gol untuk kemenangan Brazil 4-2. Ia menjadi pencetak gol terbanyak di Piala Dunia Perancis itu.
Andai saja Leônidas bermain melawan Italia.
Baca juga artikel terkaitPIALA DUNIAatau tulisan menarik lainnyaBulky Rangga Permana