Pulau Kembang, Wisata Kera Berbalut Ziarah di Sungai Barito
Perahu kelotok ukuran kecil itu mencabik-cabik gelombang air Sungai Barito. Si paman klotok-- sebutan juru mudi perahu bermesin tempal-- memacu dengan kecepatan sedang. Deru mesin tempel lamat-lamat mengecil ketika si paman klotok menepikan perahunya ke sebuah dermaga kayu.
Ia bergegas mencari posisi labuh di sela-sela perahu klotok lain yang lebih dulu tiba di lokasi. Sepuluh menit sejak bertolak dari sebuah dermaga di ujung Jalan Belitung Darat, Kota Banjarmasin, saya tiba di lokasi wisata Pulau Kembang ketika hari beranjak siang, Minggu (4/3/2018). Lokasinya tepat di tengah aliran Sungai Barito yang masuk administrasi Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Berdiri tepat di pinggir dermaga, petugas loket sudah menyambut para pelancong. Petugas mengutip duit karcis masuk Rp 7.500 per orang saat akhir pekan dan hari libur. Adapun di hari biasa, tarifnya hanya Rp 5.000 per orang. Beres menebus karcis, saya melangkah masuk dan menyusuri secuil area pulau seluas 60-an hektare itu. Pulau Kembang sudah ditetapkan sebagai lokasi wisata dan habitat kera ekor panjang berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 788/Kptsum12/1976.
Pelancong mesti melewati altar utama berkelir kombinasi merah-kuning, sebelum masuk ke lokasi hutan bakau dan tumbuhan lainnya. Sepasang patung kera jentan dan betina putih hanoman menyambut pengunjung di altar tersebut. Untaian bunga nampak menggantung di kedua tangan patung-patung kera itu.
"Ada orang yang berdoa dan mengalungkan bunga di kera. Kalau nazarnya terkabul, biasanya orangnya ke sini lagi membawa telur dan ketan," kata seorang penjaja makanan ringan di lokasi, Minah.
Telur dan ketan inilah yang nantinya diberikan ke kelompok kera sebagai ucapan terimakasih atas terkabulnya doa. Ada lima kelompok habitat kera di lokasi wisata. Kera-kera ini tak pernah akur bila ada anggota kelompok lain memasuki kawasan kelompok lainnya. Adapun populasinya 50-100 ekor setiap kelompok kera.
Tak ada penamaan khusus bagi setiap kelompok kera. "Nama kelompoknya enggak ada. Tapi ada kera yang suka ambil kaca mata, namanya kelompok kaca mata, ada kelompok sumbing, ganas,dan mata binsa,"kata Minah.
Untuk berkeliling, pelancong berjalan di atas titian beton di area habitat kera ekor panjang. Populasi kera sudah jinak, tak perlu cemas barang bawaan akan diembat si kera. Pelancong pun nampak tak canggung ketika memberi aneka makanan kesuakaan kera, seperti pisang, kacang, dan kue lainnya.
Puas menengok kera, saya melipir ke sebuah pondokan berdinding hijau-kuning di sebelah kanan altar utama. Di pintu masuk, terpampang papan bertuliskan: "Tempat ziarah, doa selamat, mandi anak, tapung tawar, dll." Alternatif pilihan itu mengundang rasa penasaran saya untuk singgah sejenak.
Di dalam pondokan, dua bak air ukuran besar berisi untaian bunga terletak di pojok pintu masuk. Seorang pria berkopiah dan berkaos putih plus dua ibu-ibu menyambut kedatangan saya. Mereka bergegas menawari mandi bunga. "Bayarnya seiklasnya saja, enggak bayar juga enggak masalah. Hari ini sudah empat anak-anak mandi tadi," kata Siti Makratulzanah, istri dari si juru kunci Abdul Sidik.
Menurut Abdul Sidik, banyak peziarah dan pelancong yang datang ke pondokannya. Mereka meminta restu atas suatu niat dan bernazar. Kelak bila niatan itu terkabul, kata Sidik, peziarah tadi akan kembali ke Pulau Kembang dengan membawa aneka sesaji seperti gula merah, ketan, telur, dan kelapa. Ketan dan telur ini yang diberikan kepada populasi kera yang mendiami Pulau Kembang.
Ada kepercayaan, kera-kera itu membawa keberuntungan karena memuluskan segala niatan. Sidik berkata, keyakinan semacam ini tumbuh dari legenda terbentuknya Pulau Kembang. Konon, kata Sidik, daratan Pulau Kembang bermula dari kandasnya kapal agresor Inggris yang mengangkut etnis Cina ketika hendak menaklukkan Kerajaan Kuin Selatan. Seorang Patih Kuin Selatan, Datu Pujung, menenggalamkan kapal itu karena berkukuh ingin menguasai Kerajaan Kuin Selatan.
Alhasil, banyak penumpang kapal tewas bersamaan dengan tenggelamnya kapal agresor tersebut. Lama-lama lokasi tempat tenggelamnya kapal ditumbuhi aneka biji-bijian dan penumpukan kayu. Biji-bijian ini kemudian berkembang biak menjadi pepohonan dan daratan pulau. Cerita banyaknya etnis Cina tewas di Sungai Barito pun menyebar dari mulut ke mulut.
Yakin atas peristiwa itu, mendorong etnis Cina keluarga korban melakoni ziarah kubur untuk mengenang jenazah yang tak diketahui rimbanya. Mereka pun membawa aneka untaian bunga dan memanjatkan doa di pulau tersebut. Kebiasaan berziarah dan berdoa sambil membawa bunga itu akhirnya membawa pada penamaan Pulau Kembang.
Adapun asal-usul ratusan kera bermula dari dua ekor kera jantan dan betina yang dibawa oleh utusan kerajaan untuk menjaga Pulau Kembang. Sepasang kera ini pun beranak pinak hingga mencapai ratusan ekor. Versi lain, kata Sidik, ada anggapan kera-kera itu jelmaan dari orang-orang yang tenggelam. Itulah sebabnya, banyak peziarah memanjatkan doa sambil membawa untaian bunga demi memuluskan niat. (Diananta)